Selama Hujan Datang
Aku selalu membiarkan jendela terbuka ketika hujan
; angin
karena anginnya membawa aroma kerinduan
; juga bau hujan
ia selalu saja menggoda seperti perempuan
; kemudian suara gemericiknya
hampir-hampir membuat aku lupa dimana aku berpijak
seperti malam ini,
perempuan yang kunamakan hujan
datang tanpa mengetuk pintu depan
wajahnya seperti kemarin malam
tak tampak mata
hanya senyum
sepenuh wajah sepenuh senyum
tiba-tiba ia bilang;
aku akan tinggal disini malam ini. angin sedang sibuk mengantar dendam
pada seseorang. aku takut pulang sendirian. apa kau punya tempayan?
aku hanya punya sebuah kolam
tak terlalu besar memang
tapi kurasa cukup untuk sekedar membuatmu rehat sebentar
di samping kamar, di bawah jendela yang beratap teritisan
kau bisa bermain bersama ikan-ikan
juga berhelai-helai daun durian yang berguguran –aku belum sempat bersihkan, maaf-
tak tampak mata
hanya senyum
sepenuh wajah sepenuh senyum
perempuan yang kunamakan hujan tersenyum melihat kolam
berlarian mengejar ikan
menari bersama guguran daun durian
ooo
aku selalu membiarkan jendela terbuka ketika hujan
; angin. karena anginnya membawa aroma kerinduan
; lalu bau hujan
; kemudian kolam di bawah teritisan
ooo
sudah berapa lama hujan ini datang?
(aku mendapati diriku menatap jendela yang terbuka selama hujan datang. airnya jatuh memenuhi kolam di samping jendela. ikan-ikan berlarian, terkadang bersembunyi di bawah daun durian yang gugur dan dengan kebetulan atau tidak, jatuh ke kolam. dua hari belum kubersihkan...)
Natar, 18 November 2014
Secangkir Malam
Selamat malam, akasia
secangkir kopi hitam telah kuseduh semenjak senja membingkai dirinya lewat jendela
harusnya kau datang lebih awal
agar kau bisa menikmati sekumpulan asap tipisnya melewati bibir cangkir yang warnanya tak lagi putih itu
bukankah kau suka menatapnya berlama-lama?
kau bilang kau serasa menatap perempuan sedang menari
kau datang terlalu larut, akasia
ada apa?
Ooo
sebenarnya telah aku kabarkan kedatanganku lewat angin yang semilir masuk dalam beranda rumahmu
aku akan terlambat pulang, aleya
sebab tapakku semakin rapuh
sedang perjalanan terus menjauh
kau pun tahu ini musim tak juga turun hujan
hingga debu mengaburkan pandanganku
ah, ini hanya alasan, kau pasti bilang begitu
tapi benar, aleya
ooo
apa kau tak sadar aku telah menunggumu beberapa musim, akasia?
hingga secangkir kopi yang kuseduh sejak senja membingkai dirinya lewat jendela itu tak lagi berasap putih
ia tenang
setenang malam yang pelan-pelan merajut mimpi bersama rembulan
kau datang terlalu larut, akasia
kau selalu punya alasan
Natar, 3 Oktober 2014
-----------------
Laela Awalia, lahir di Natar, Lampung Selatan, 5 April 1986. Puisi dan cerpennya dimuat di beberapa media massa dan antologi bersama. Buku puisinya: <i>Nyanyian Awan dan Hujan<p> (bersama Angga Adhitya Prasojo, 2010).
Lampung Post, Minggu, 28 Desember 2014
Aku selalu membiarkan jendela terbuka ketika hujan
; angin
karena anginnya membawa aroma kerinduan
; juga bau hujan
ia selalu saja menggoda seperti perempuan
; kemudian suara gemericiknya
hampir-hampir membuat aku lupa dimana aku berpijak
seperti malam ini,
perempuan yang kunamakan hujan
datang tanpa mengetuk pintu depan
wajahnya seperti kemarin malam
tak tampak mata
hanya senyum
sepenuh wajah sepenuh senyum
tiba-tiba ia bilang;
aku akan tinggal disini malam ini. angin sedang sibuk mengantar dendam
pada seseorang. aku takut pulang sendirian. apa kau punya tempayan?
aku hanya punya sebuah kolam
tak terlalu besar memang
tapi kurasa cukup untuk sekedar membuatmu rehat sebentar
di samping kamar, di bawah jendela yang beratap teritisan
kau bisa bermain bersama ikan-ikan
juga berhelai-helai daun durian yang berguguran –aku belum sempat bersihkan, maaf-
tak tampak mata
hanya senyum
sepenuh wajah sepenuh senyum
perempuan yang kunamakan hujan tersenyum melihat kolam
berlarian mengejar ikan
menari bersama guguran daun durian
ooo
aku selalu membiarkan jendela terbuka ketika hujan
; angin. karena anginnya membawa aroma kerinduan
; lalu bau hujan
; kemudian kolam di bawah teritisan
ooo
sudah berapa lama hujan ini datang?
(aku mendapati diriku menatap jendela yang terbuka selama hujan datang. airnya jatuh memenuhi kolam di samping jendela. ikan-ikan berlarian, terkadang bersembunyi di bawah daun durian yang gugur dan dengan kebetulan atau tidak, jatuh ke kolam. dua hari belum kubersihkan...)
Natar, 18 November 2014
Secangkir Malam
Selamat malam, akasia
secangkir kopi hitam telah kuseduh semenjak senja membingkai dirinya lewat jendela
harusnya kau datang lebih awal
agar kau bisa menikmati sekumpulan asap tipisnya melewati bibir cangkir yang warnanya tak lagi putih itu
bukankah kau suka menatapnya berlama-lama?
kau bilang kau serasa menatap perempuan sedang menari
kau datang terlalu larut, akasia
ada apa?
Ooo
sebenarnya telah aku kabarkan kedatanganku lewat angin yang semilir masuk dalam beranda rumahmu
aku akan terlambat pulang, aleya
sebab tapakku semakin rapuh
sedang perjalanan terus menjauh
kau pun tahu ini musim tak juga turun hujan
hingga debu mengaburkan pandanganku
ah, ini hanya alasan, kau pasti bilang begitu
tapi benar, aleya
ooo
apa kau tak sadar aku telah menunggumu beberapa musim, akasia?
hingga secangkir kopi yang kuseduh sejak senja membingkai dirinya lewat jendela itu tak lagi berasap putih
ia tenang
setenang malam yang pelan-pelan merajut mimpi bersama rembulan
kau datang terlalu larut, akasia
kau selalu punya alasan
Natar, 3 Oktober 2014
-----------------
Laela Awalia, lahir di Natar, Lampung Selatan, 5 April 1986. Puisi dan cerpennya dimuat di beberapa media massa dan antologi bersama. Buku puisinya: <i>Nyanyian Awan dan Hujan<p> (bersama Angga Adhitya Prasojo, 2010).
Lampung Post, Minggu, 28 Desember 2014