Sunday, April 12, 2015

Sajak-sajak Firda Wati

Kepada yang Abadi pada Pohon Akasia

kepada para tunas yang baru mengenal cahaya
tersimpan rahasia kuntum akasia
yang datang dari lubuk semesta
di mana muasal cuaca berjumpa

akasia berbunga
dalam kenangan gadis-gadis remaja
ketika memekarkan kelopak
yang mereka sebut kebebasan

di dasar tanah
akar akasia berjanji pada hara
“akan kami kukuhkan sebuah puisi”
sebelum datang kemarau
yang kelak membuat mereka tertatih

kepada mineral-mineral
yang menempuh perjalanan
di dalam batang
yang selalu merasa pasti
akan sebuah tujuan
tumbuhkanlah ranting-ranting puisi
bagi burung-burung
yang ingin membangun rumah

bunga akasia akan tetap mekar
menatap matahari
dan sekali waktu menggugurkan
ribuan puisi yang tak kuasa menjadi abadi

Bandar Lampung, Desember 2014



Kepada Salju

Sepatutnya kau berbahagia
Ketika tubuhmu berangsur membeku
Juga ketika hendak mencair

Sebab di tubuhmu
waktu memberi kesepakatan sendiri
tentang sesuatu yang sementara
dari kesepakatan sebuah musim

bocah-bocah akan memuntahkan keriangan
cinta sepasang remaja akan membuatmu mendidih
kesabaran para orang tua akan membuatmu bermakna

sehampar warna putih
berayun-ayun di udara
menyapa cuaca
juga seorang perempuan tua
di balik kaca jendela
yang menunjuk sesuatu
di langit

Bandar Lampung, Desember 2014



Jawaban di Rahim Ibu


kapan kita akan kembali bertemu
tanyamu sambil dengan cemas memungut
daun-daun gugur di tepi jalan itu

akankah daun yang diterbangkan angin
sampai ke tepi telaga sebuah kota
akankah sampai pada tujuan
pada selarik alamat di segulung peta

ketika langkahmu mulai menjauh
rinduku patah tak terkayuh
langit berwarna tembaga
membiaskan cahaya di mata
para wanita yang kujumpai
sepanjang jalan pulang

ujung jalan di balik tanah
tak akan mempertemukan kita
sebab kita sendiri
menyusuri aliran air kita sendiri
menuju tanjung-tanjung harapan
mengayuh suka-duka dalam lautan waktu

kita disatukan oleh serbuk-serbuk puisi
yang sesungguhnya tak pernah ada
kita menyusun debu-debu di tubuh kita sendiri
merintih, lalu membasuhnya kembali

kita terlunta menerka-nerka jawaban
yang tertinggal di rahim ibu

Bandar Lampung, Januari 2015


--------------
Firda Wati, lahir di Liwa, Lampung Barat, 3 Juli 1995. Mahasiswa semester IV Fakultas Syariah IAIN Raden Intan.


Lampung Post, Minggu, 12 April 2015

Sunday, April 5, 2015

Sajak-Sajak Oky Sanjaya

Waktu

adalah punggungku
yang baru saja selesai dikerok istriku
memerah dalam kesuntukan
merekah dalam aroma balsam

adalah pagi hari
dan berita tentang negaraku
dan telor mata sapi
dan kopi

adalah argumentasi
adalah pergi



Tempat

jika tuhan adalah kata, maka tuhan berada dalam ketakberhinggaan kata-kata
jika tuhan adalah makna, maka tuhan berada dalam ketakberhinggaan peristiwa
jika tuhan adalah peristiwa, maka tuhan berada dalam ketakberhinggaan konsep
jika tuhan adalah konsep, maka tuhan berada dalam ketakberhinggaan prinsip
jika tuhan adalah prinsip, maka tuhan berada dalam ketakberhinggaan kepribadian
jika tuhan adalah kepribadian, maka tuhan berada dalam derajad kemanusian
jika tuhan adalah kemanusian, maka tuhan kehilangan derajadnya sebagai tuhan
namun jika tuhan 0 derajad kemanusian, dan tuhan adalah 0 manusia, maka
Tuhan adalah segala-galanya 1.



Sandal dan Kepergianku

1
Sandal, aku telah kembali memakai sepatu.  Aku kenakan kembali seragam hari Rabu, dan kacamata bertangkai kuning mengkayu itu.

Pagi sekali, aku kembali meninggalkanmu. Meninggalkan rumah kontrakan dan tanaman.

“Pastikan. Pastikan.” katamu.

Pagi sekali, aku memastikan buku-buku pelajaran itu, - laptop, absen, dan hasil koreksian ujian.

Aku memastikan kepergian.

2
Setiap kepulangan, katamu, ada istirahat dan pintu gerbang yang terhambat. Ada kisah cinta siswa yang selintas lewat. Ada ingatanku mengenai subbab-subbab.

Dan keinginanku untuk kembali melepas sepatu.

Sandalku, aku kembali mencoba memahamimu. Memahami waktu, dan lekuk sintalmu. Memahami keperluan, dan kekuranganku hari Rabu.

“Meskipun kau akhirnya mengangkatku, memindahkan maksud, dan menutup pintu? Apakah berarti, berhenti sejenak, menjinakkan amarahku? Kau hampir saja menghindar dari rumah.”

“Tidak. Aku hanya mencakupkan maksud dan penipuan itu.”

3
Selepas sepatu, kita pergi bersantai di teras depan. Menghadapi “lidah mertua”, yang entah kapan akan kuning tebal. Kita lupa hari, kapan kita benar-benar menanamnya. Lihatlah!, tanaman kita kembali bertambah tunas. – sepertinya, jika tunas itu benar-benar tumbuh, kita seperti telah – melunasi sesuatu.

“Aku mengerti. Tetapi, bisakah kita, hanya memikirkan kita?”



Dialogis Genesis

Radin, kerbau itu, bukanlah perkara yang baru turun gunung, melainkan anggapan kita untuk mencintai saudara. Seperti aku, yang tidak memiliki posisi apapun dalam kondisi ini. Tetapi hak, tetaplah hak. Sedangkan kewajiban telah lama tunai. Pajak datang tanpa diminta.  Maka, selamatkanlah segalanya atas nama rakyat.  Rakyat yang begitu mencintaimu. Keadilan ada diujung lidahmu. Meski akhirnya terjadi pula, kau tewas diracun. Saat angin Kuripan gersang. Saat tumbuhan merambat, menambat hatimu untuk bersembunyi. Saat pelor yang bersarang mulai membuat ngilu tulangmu. Saat impian-impian bertualang terbang. Saat kami, benar-benar menemukan, engkau, “Allahuakbar, hinji Radin kham.”.


---------------
Oky Sanjaya, lahir di Sanggi, Tanggamus, Lampung, 13 Oktober 1988. Menulis puisi sejak 2006 melalui Klinik Sastra Bintang Pelajar Lampung Post yang diasuh Udo Z Karzi. Buku puisinya: Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan (2009).


Lampung Post, Minggu, 5 April 2015