Sunday, January 25, 2015

Sajak-sajak Rarai Masae Soca Wening Ati

Keindahanku

Angin dari barat,
selendang merah
berayun begitu cepat.

Tapi tiba-tiba hanya suara
yang perlahan mengecil.
Menjadi sangat kecil, 
Bisikan-bisikan yang menakjubkan.

Tubuhku menari
Walau aku tidak mengerti
apa arti tarian ini.

Cahaya-cahaya malam, 
sebuah lilin yang dapat menghiburku
Tapi hujan terlalu cepat turun
Lampu padam dan menjadi senyap

Aku memimpikan negeri yang sangat jauh 
Berlayar meninggalkan kota gelapku
Suara-suara teriakan memanggil namaku.

Aku terus berjalan sambil membawa senyumku
Dan bila saja kau percaya, bahwa sesungguhnya
aku yang membantumu menyentuh yang indah



Buku Tua tentang Indonesia

Ada gaun putih kaku di bangku kayu
Bangku yang bertahun didatangi hujan dan kemarau
Ada seekor burung kecil hinggap di depan rumah panggung
sementara di kejauhan, lonceng gereja berdentang memecah sunyi

Kain hitam yang menutupi wajahku
adalah langit yang memeluk malam
Bangunan-bangunan tua yang sering kudatangi
adalah pohon-pohon hijau tempat burung-burung
membangun sarang, bertelur, dan belajar terbang
mengenal dunia, juga mengenal sayapnya sendiri

Di tanah yang subur ini
Kuhirup aroma dupa yang merebak
Dari candi dan pura
Kulihat lilin-lilin dinyalakan di permukaan danau
Dan seorang wanita berkerudung merah
Berdoa di pinggirnya

Buku-buku tua yang diwariskan para leluhur
Adalah buku yang sama dengan buku yang berjatuhan
dari mimpi ibu Pertiwi
Kata-katanya bermunculan, membentuk kalimat
Menjadi upacara-upacara adat dan lautan kenangan

Lalu anak-anak membacanya di bawah pohon
di antara gelak tawa, petak umpat, dan permainan congklak
dan usai salat subuh para penyubuk1) kecil
akan menggangguku dengan topeng sekura2)

Tapi kini di antara rimbun bakau, kulihat ombak yang lampau
ombak yang pernah melayarkan perahu kecil
perahu yang membawa teman-temanku menjauh
ke dunia maya, dunia tanpa peta

Dan lewat sajak ini
aku terus menyeru mereka kembali
Ke bumi dimana pertiwi menanti

Istana Kepresidenan Bogor, 9 Agustus 2014


1) Para bujang atau anak laki-laki yang menggoda teman perempuan dengan menggunakan sarung untuk menyamarkan diri mereka
2) Topeng khas Lampung yang biasanya dikenakan pada pesta topeng setelah Idulfitri




Mata yang Menjauh dari Teduh

Mata yang menjauh dari teduh
Senyum yang hilang dari wajah

Aku sendiri, tanpa ingin dan angan
Sepatu lama kuletakkan di depan pintu

Di lapangan cokelat anak-anak bermain
Bertelanjang dada di bawah matahari merah

Peluh menjadi keluh

Aku tertegun membayangkan diriku
Kepayahan dilanda rindu, berlari di bawah hujan

Mengejar permainan yang telah tak ada


--------
Rarai Masae Soca Wening Ati, siswa Kelas IX SMP Global Surya, Bandar Lampung. Prestasi terakhirnya, setelah menang di tingkat provinsi, ia meraih juara pertama Lomba Cipta Puisi SMP dalam Festival Lomba Seni Siswa Nusantara (FLS2N) tingkat nasional (2014).


Lampung Post, Minggu, 25 Januari 2015

Sunday, January 18, 2015

Sajak-sajak Riki Utomi

Segalanya

segalanya akan terbilang saja ketika kau
mengingat satu persatu tentang luka.
gores lurus, pikir berarus, bintik yang ketus
membungkus paling halus ke tiap tidurmu.

segalanya mungkin terbuang, satu demi satu.
di segala arah yang pupus. kita mencoba
meronta. pahit dan manis di makan bersama.
tawar dan asin di minun bergema. hal itu
membuncah sampai kita tak ada.

(selatpanjang, 2015)


Titik Malam

di titik malam adalah energi paling teguh
merambat pikirmu. apa saja mencoba menyesuaikan
segala bentuk kata-kata. aku dan kau membuncah,
menjengah untuk dapat memasuki ruang paling indah.

ke titik malam mungkin sentuhan yang tak dapat
lagi berkata. kata-kata pupus, hanyut, dan entah
kemana. hanya akan dapat kita aduk dalam hati.
menyetelnya selaras tik-tok jarum jam yang dingin.
lalu membuangnya ketika datang pagi.

lewat titik malam adakah yang kau risaukan lagi.
setelah aku menempuh seluruh ruang pikirmu.
mempretelinya satu demi satu hingga tak bersisa.
kau makin menjauh. menyepai ke dalam malam,
mengunci di gelapnya.

(selatpanjang, 2015)


Pedang Kayu

bocah itu menyulap kayu menjadi pedang. di genggamnya
dengan yakin bahwa hari-hari seperti perlawanan melawan
kezaliman. pedang kayu dalam genggam itu menjadi nyata
dalam pikirnya; kelak dapat meminum darah, memakan
pikir yang jengah.

melintas saja deru mobil kilat, menyilau mata. ketika pintu
terbuka, bocah itu langsung menghadang; “serahkan kuasa
kalian!” lengkingnya bagai anjing. seraya menghunus
dengan yakin, sedang pedang kayu di genggamannya itu
hampir patah. matanya tajam—mata elang—menghunus
ingin memakan.

(selatpanjang, 2015)


Dilema

dilema kita sekarang adalah:
tangan menghapus kejujuran.
hati ditumpas ketimpangan.
bibir dipoles kehinaan.
mata menculas menekan tajam.

dilema kita berujung pada:
daun yang bergoyang dengan
gigil menguning tubuhnya;
apakah kau terasa? debar
hatinya dan getar gelegar,
apakah kau bersedia?

dilema kita menukik pada:
kata-kata tajam, menusukmu.
sepi enggan mengungkap
apapun. kau menggigit jari.
menyumpah mengapa kau
terlahir hari ini.

(selatpanjang, 2015)


Kita Ada, Waktu Menjelma


kita ada, kalaupun tidak, aku menemanimu
sampai kau hilang. titik-titik gerimis yang gugur
adalah kata-katamu mengguyur hati, larut
begitu saja tanpa kita tahu.

lalu, seperti apa harus kumaknakan hari-harimu?
padahal kau tahu waktu begitu lesap. dia memoles
segala yang ada dan kau pasti lenyap entah kemana.

(selatpanjang, 2015)


---------------
Riki Utomi, lahir di Pekanbaru, 19 Mei 1984. Menggerakkan wadah kreatif kepenulisan Cahayapena. Sejumlah puisinya terangkum dalam antologi bersama. Buku fiksinya: Mata Empat (2013).


Lampung Post, Minggu, 18 Januari 2015

Sunday, January 11, 2015

Sajak-sajak Beni Setia

Body and Soul

peluit kencang,
kereta berangkat. kau
menuju kubur

tak sempat lagi
melambai, perpisahan
dipastikan dengan

takdir. tak sempat
pamit, dan dipastikan
pisah. terpecah

2014


Rain Forest

gerumbul rumput
air di tepi telaga—
petang menyeret

kabut, menutup
ruang dengan kelambu
—bayangan perdu

—: tegakkan pohon
senyap. embun membeku
pada pelupuk

2014


Sirath Al-Mustaqim

diam ataupun
bergerak: runcing pisau
membelah tubuh

terbelah lagi,
sakit lagi, dan utuh
lagi. menyeberang

rentang sembilu—
jembatan rasa salah
dan penyesalan

2014



Hell's Zone


ini kutukan
dibangkitkan kembali
: ruh diujudkan

juga sakit dan
virus dalam sekujur
tubuh. berkali

mati dan hidup—
tanpa awal tak kenal
akhir. siksaan

2014



7 In 7

tak ada sabtu,
tak ada minggu. tidak
kenal liburan

jumat ataupun
senin sama semata
—dosa melulung—

siksaan sesal
ada di balik pintu
: tobat tertutup

2014



Aids
dalam lipatan
terdalam si kelamin
tersimpan virus

—hiv. lantas
terjagakan orgasme
: kamu terjangkit

2014


---------
Beni Setia, pengarang


Lampung Post, Minggu, 11 Januari 2015

Sunday, January 4, 2015

Sajak-sajak Edi Purwanto

Nekropolis

dan bayi-bayi pun terlahir
serupa anak panah yang lesat
ciptakan manusia-manusia
penghuni sudut kota
rerumah dan tanah lapang
tak lagi ada
angkara adalah menu harian
yang terhidang di atas meja
siap disantap kapan saja
sejarah baru pun tercipta
atas matinya sebuah kota

2013



Dongeng Ibu

di halaman depan rumahnya
seorang ibu menyuapi anaknya
lantaran buah hati tak gairah menyantapnya
ia pun bercerita

bila engkau tak mau makan
kelak ayammu akan mati sia-sia
anak kukuh pada pendiriannya
lahirlah cerita kedua

bila engkau tak mau makan juga
nasi ini akan menangis meratapi nasibnya

2013


Hilang Silsilah 2


dalam baur pesta pora
tetamu bercengkerama penuh suka
sanak saudara cerita asal mereka
agar tak salah tutur mesti dikata

linglung
bingung ucapkan kata
yang pantas disematkan pada mereka
sebagai ikatan tali saudara

2014


Pepes Patin

seekor patin padat berisi tubuhnya dimutilasi
dilumuri ramuan aneka rempah
diselimuti hijau kemangi
dikafani daun pisang

didih air bergejolak dalam panci terus menemani
hingga tubuh matang mengundang lidah penuh gairah

2014




Elegi Sempalung, Patil, dan Ambon

kami adalah anak-anak
yang terlahir dari seorang ibu bernama damar
kini kami piatu lantaran ibu mati
dibunuh mesin-mesin bernyanyi merdu

2014



Pengabdi  Sejarah


tak banyak yang bisa kuceritakan
tentang masa lalu negeri ini
semisal lewat puisi atau aneka referensi
sebab aku adalah pengabdi
yang hanya dapat bercerita
lewat sapuan kuas
dan cat warna-warni
di atas kanvas ini

2014



Ngidam

rindu meruah
sampai di ujung lidah
pada buah mewujud gairah

sungguh
bukan napsu hamba serupa itu
semua lantaran pinta sang raja dalam istana
sebentar lagi turun ke dunia

2014


-----------
Edi Purwanto, lahir di Sindangsari, Natar, Lampung Selatan, 7 Juli 1971. Menyelesaikan pendidikan sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung. Saat ini mengabdi di SMA Negeri 2 Negerikaton, Pesawaran.


Lampung Post, Minggu, 4 Januari 2014