Sunday, July 27, 2014

Sajak-sajak Alex R. Nainggolan

Telapak Waktu

Kau adalah telapak waktu. Yang menjejak di tubuhku, sepanjang hari yang penuh duri. Kerumun mimpi yang tak usai kupunguti satu per satu. Namun kau terus melangkah, berharap tak kesasar bersama sejarah yang hambar. Di jalan yang gelap tanpa kertas peta, kau tarik lenganku dan memancung segala purnama yang hinggap di langit. Tapi orang-orang lebih senang merayakan luka dari pori-pori kulit mereka. Memasuki serapah yang dipenuhi ludah, atau segala tabiat jahat sebelum malam berangkat. Dan engkau masih terus menyobek hari yang tertanda dalam almanak. Seperti segala dosa dan sedih telah tamat. Di rimbun kota, aku dihinggapi cemas yang runcing di ujung rambut. Suara anjing yang terus melolong, dan kota yang telah menjelma jadi raksasa hitam. Namun tahun memang menua, jejaknya masih kau catat, di sebuah buku yang telah terjatuh di lorong gelap. Suara teriakan itu bergumul, memanggul semua jasad yang kehilangan kenangan.
Engkau adalah telapak waktu. Jejak tanpa muslihat, mendekapku dalam muram.

Edelweis, 2014


Gumam Puisi

Sejauh mana engkau pergi
Kota telah buta oleh cahaya
Kata menjadi rekah fajri
Yang melulu dihimpun sunyi
*
Mungkin tangis
Yang tak sempat direkam
Oleh gumpalan luka
Menggumul dari sisa cahaya
*
Aku dan kamu membaca
Sepanjang aksara
Yang tak juga
Jadi tua
*
Sepanjang puisi
Bara kata yang hampir mati
Kenangan terasa sunyi
Memanggil suara lain
Yang mungkin abadi
*
Langkah kaki
Terseret pergi
Wangi sunyi
Terbakar lagi

2014



Hujan Juli yang Dingin

Sepanjang hari, Juli tertempa hujan. Dingin abadi di jalanan, sementara orang-orang melangkah dalam puasa yang teduh, atau menanti siapa yang kelak jadi presiden. Hujan merantau di seluruh ruangan, merebut segala bayangan angin. Kaca-kaca berembun, kenangan membasah, airmata terus berjatuhan. Tubuh-tubuh berdesakan, mencari payung atau sekadar mantel hangat. Aku merapat ke masalalu, yang selalu saja buntu. Melangkah di antara genangan luka yang lama membatu. Juli terus membasah, di tiang-tiang listrik. Cemeti sunyi merebak, menapak tanpa jejak diusap air. Mengalir dari setiap pangkal kesedihan. Hujan belum juga berhenti. Dan kerumun orang masih menepi, bercanda dengan degup waktu yang makin nampak di dada.

Juli 2014



Kita
      - asrina        
     
Ingin kucabuti segala sedihmu. Sembilan tahun dan kita berangkat menjadi tua. Tapi selalu ciumanmu kutunggu, di batas pagi atau malam. Agar segala sesak di dadaku terdiam. Bukankah selalu ada pintu rumah yang terbuka; dengan tawa kanak-kanak setiap kali kita tiba? Maka akan kuredakan sesal yang kausimpan dari jalanan. Pernikahan ini akan melingkar di seluruh tubuh, sebab engkau bukan lagi dara yang kerap menunggu mekar mawar.
Ini musim hujan, yang selalu kauarsir dengan cemas. Bersama dinginnya yang muram, menghitung kelam demi kelam. Tetapi, aku akan selalu tiba untukmu. Bertahun-tahun meski berkerumun dendam dan demam. Merindukan selalu, pelukanmu yang rapat itu.

Juli 2014


Bermain dengan Hujan

Bukankah itu adalah hujan yang kautemui waktu kanak dulu? Dengan tubuh kecilmu berlari sepanjang jalan, hingga tubuhmu kuyup, kulitmu mengerut. Tanpa cemas. Dan itulah kenangan yang panjang, meski engkau meriang, menahan gemetar tubuh yang dibalut dingin. Gigimu gemeretuk, mengetuk mimpi yang binar. Nampak pijar matamu selalu berdenyar, sepanjang hari.
Kini engkau jalani lagi ingatan itu, namun tubh yang dewasa tak sanggup menampung segala riang hujan. Tubuhmu ngilu dan dihajar influenza berat. Kau coba mengingat; ternyata kilap hujan lebih kuat. Tak bisa kautampung hingga rampung di tempurung kepalamu. Hanya ingatan pada selimut hangat atau jalanan yang terus membasah dalam kecambah hujan.

Kebon Jeruk, 2014


-----------
Alex R. Nainggolan, lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di Jurusan Manajemen FE Unila. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di berbagai media dan antologi bersama. Bukunya: Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, 2012), dan Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, 2012).


Lampung Post, Minggu, 27 Juli 2014


Sunday, July 20, 2014

Sajak-sajak Isbedy Stiawan ZS

Perjamuan Siang

siang yang garing ketika aku pamit, entah untuk kembali atau
benarbenar kulupakan seluruh percakapan. juga segelas jus alpokat,
jamuan siang dan kenangan yang berserak di meja itu. "tapi kuingin
suatu waktu kita ulangi pertemuan ini, lebih intim lagi," kata seekor
cicak yang tibatiba jatuh di meja makan ini

hari amat melepuh. kutinggalkan sisa bibirku di mangkuk jamuan,
setelah kau cicicipi sedikit demi sedikit seperti kaunikmati soto betawi;
"biarkan aku simpan jika masih sisa untuk kuhampar lagi pada
jamuan siang berikutnya," kataku, seperti yakin kelak ada
perhelatan lagi. sebuah pesta besar merayakan kemenangan

siapa yang datang ketika perjamuan hampir selesai?

30 Juni 2014



Jam Melompat-lompat di Dalam Perutku

jam yang melompat-lompat di dalam perutku semakin lambat
seperti perempuan penari gemulai tangannya mengelus sabarku

perjalanan akan selalu lama, butuh waktu tak sekejap. apalagi
untuk pulang disambut riang. sungai susu, taman buah dan bunga,
bidadari cantik yang hanya hidup di kahyangan, adalah ratu
di sini

jika bidadari cantik menemani, sungai susu akan membuatku
selalu muda, atau taman bunga dan taman buah (anggur) agar
aku mabuk hanya padamu, bahkan jamuan selezat apa pun
dihidangkan kekasihku, akan kukatakan "aku sudah tak lagi lapar."

karena puasaku kukadokan hanya padamu. cukuplah kau menerima,
aku kehilangan lapar dahaga

aku selalu berada di senja

1 Juli 2014



Kau Janjikan Pertemuan Ini

aku terjaga, tapi kaukah yang membangunkan? mengusir pergi
selimut, melarungkan bantal dan tempat tidurku, serta mendamparkan
di bukit jauh yang tandus. seperti mengjngatkan aku pada perahu nuh
yang terdampar juga di bukit ini seepas air raya. menghayutkan
keluarga dan umatnya karena khianat atas surat-surat ilahi

tak ada lagi perahu nuh di bukit sunyi dan tandus ini. kau bangunkan
aku setelah banjie besar. dan kau mengjakku bercakap, kau kisahkan
orang-orang abai dan banal. malam sepi -- di sini hanya berdua: aku
menjadi murid di hadapanmu yang guru. kuikuti surat-suratmu, satu
persatu kueja hurupnya. bagaimana bisa aku mengejanya?

"bacalah!" perintahmu. "jika kau mampu mengenal hurup-hurup itu,
kau akan faham tanda di dalamnya. seperti kau mengenal lekuk
tubuh semesta ini."

tapi aku tak membaca kisah perahu yang terdampar setelah air raya
surut dan orang-orang menuruni lambung kayu itu, kecuali langit
masih mendung dan aku mengendus bau kematian
di lantai ini. aku tersedu, teringat masa lalu yang pekat dan berlumpur

          -- aku melangkah dalam gelap. aku berenang di kolam lumpur --

"Tuhan, kaukah yang menjanjikan pertemuan sepertiga malam ini?" aku tersedu

1 Juli 2014; 01.40




Aku Merantau

aku merantau, dari rumah ke masjid
dari kenyang ke lapar-dahaga
aku kunci mulutku agar tak terucap
caci dan fitnah dari lidahku

aku tulangkan lidahku
agar tahu arti ucapan

ramadhan kau ajarkan...

2014


----------
Isbedy Stiawan Z.S., menulis di berbagai media massa. Sastrawan kelahiran Tanjungkarang, Lampung ini, telah menerbitkan sejumlah buku cerpen dan puisi. Terbaru kumpulan cerpen Perempuan di Rumah Panggung (2013) dan kumpulan puisi Menuju Kota Lama (2014).


Lampung Post, Minggu, 20 Juli 2014

Sunday, July 13, 2014

Sajak-sajak Soeyanto Soe

Doa yang Kupanjatkan Diam-Diam

Dan biarlah mimpi
berbulir sepi,
Tatkala butiran rindu
menetes dari retak dinding masa lalu
Ia selalu menerpa wajah dan jiwaku

Sedamai percik hujan
merenggut rona silam
Lalu melesat memanah masa depan
dengan membungkus rindu-dendam

Maka, meski rindu
dan sepi kadang bersatu
Mereka tak harus berkelindan waktu
Agar kelak kau tahu Bahwa pada hari ini
Aku bersimpuh memanjatkan doa terbaik yang aku punya!

Lampung, 2014


Perjalanan 1

Ketika aku menengadah pulang
Kulihat wajahmu berganti warna
berpendar tak berjiwa

Ribuan tanda tanya hinggap di rambutmu
Kau sibak dengan lengan gemetar
pucat dan dingin
Seketika ingin kuraih bahumu
Merangkul tubuhmu agar kita beriring bersisian

Namun hentakan kakimu begitu kokoh
Menghujam tanah memaku bumi
Menyatukan aliran amarah
Menuju kawah hatimu yang memerah

Bara itu menemukan pijakannya!
Aku harus mundur beberapa tepi
Agar tak lebur dalam magma yang penuh api
Dan aku harus memanggil hujan
Lewat cintaku yang memintal ribuan awan

Lampung, 2014



Perjalanan 2

Janganlah engkau menjadi jahat
Ketika seluruh perapian mengelilingi tubuhmu
Kibaskanlah mereka
dengan kerudung hatimu yang paling wangi dan bersih

Ingatlah bahwa kesucian itu selalu kutanamkan padamu
Selalu ada dalam detak jantungmu
Meski engkau kerap lupa
karena serbuk kopi pahit yang lebih sering kau baca

Sementara parfum dan cinta
biasanya kau letakkan di bibir meja
Sehingga tiap kali kau gundah
Yang terlempar adalah cangkir, sendok, dan gerabah

Janganlah engkau menjadi jahat
Cinta itu sesungguhnya tak melaknat
Ketika seluruh perapian mengelilingi tubuhmu
Bersandarlah
Dekap kerudungmu setelah kau kibaskan
dan tuliskan rasamu lewat tinta yang tersenyum...


Perjalanan 3

Di pagi dingin penuh kabut
Kehangatan di puncak bukit hijau ini
hanyalah berasal dari sisa bara
api unggun yang tak lagi mengerucut

Pagi
Hampa
Sepi

Lamat-lamat kuteringat ocehan garangmu kemarin:
"Jangan samakan aku dengan mantanmu!
Aku bukan dia; dia bukan aku!"
Tanganmu menepis pelukanku
Mengusirku pergi dan tak ingin kukembali

Cinta kita ingin kau injak-injak lebur
Hanya karena aku salah ucap kata-kata
Bukan salah hati salah jiwa

Tidakkah kau tahu kata-kata kadang berlapis-lapis makna?
Tidakkah kau tahu jiwaku bersujud tiap kali kuucap namamu?
Tidakkah kau tahu hatiku bersimpuh utuh untukmu

Kutak tahu sekokoh apa cintamu
Sedangkan cintaku padamu sangatlah jelas:
Dia seperti rumpun bambu
Yang selalu tumbuh dan merimbun
Yang takkan hilang hanya dengan sekali tebas
Dengan pedang yang maha tajam sekalipun!

Duhai kekasih,
Kutinggalkan dulu engkau yang sedang geram meradang
Agar kelak saat kita jumpa nanti
Rindumu tak lagi terlilit amarah semerah api

Aku pun perlu waktu untuk menyendiri
Di padang bukit yang begitu dingin saat pagi

Gunung Padang, 2014


-----------
Soeyanto Soe, lahir di Tanjungkarang, Lampung, tahun 1970. Ia mengikuti pendidikan S-1, S-2, dan S-3 semuanya dalam bidang ilmu komunikasi, mulai dari Komunikasi Pemasaran (di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta), Manajemen Komunikasi (di Universitas Indonesia, Jakarta), hingga Komunikasi Politik (di The University of Melbourne, Australia). Saat ini, ia koordinator Tim Citra Indonesia, sebuah konsultan komunikasi pemasaran.


Lampung Post, Minggu, 13 Juli 2014

Sunday, July 6, 2014

Sajak-sajak Hazwan Iskandar Jaya

Puncak Malam

Kegelapan tak mudah diterka maunya
Ketika keringat gugur di padang renta
Mengharap pendar cahaya membasuh luka
Bulan dan bintang yang gemetaran di cakrawala
: kita menasbihkan kata di kening senja

Masih ingat ketika cakar, geram, dan aum mencucup bibir kita
Dan dengkur kereta menghantar sampai stasiun purba
Kita hanya terdiam, memikirkan sunyi yang tiba-tiba
Menyergap suasana
: kehampaan di akhir kisah yang tercengang di jendela

Aku, kau dan nasib berebut tempat di atas kertas merona
Ingin menuliskan prasasti tua
Dan mengabarkannya pada kegelapan
Yang tak mudah diterka maunya

Yogyakarta, 2014


Puncak Rahasia


Dan apabila telah datang kabar dari rimba sunyi
Orang-orang pun mendurjanai janji
Dalam semangkuk hasrat dan segelas puji
: Tapi dia telah dikhianati lidahnya sendiri!

Begitulah pelajaran pertama dimulai
Dan mungkin kisah-kisah lain menyertai
Menjadi budak dari saban perangai
Meniti buih dari bulir mimpi di padang pantai
: semua telah terkuak dan terkoyak! Ahai…

Yogyakarta, 2014



Puncak Entah Berantah

Negeri ini adalah entah berantah
Pemimpinnya pun entah berantah
Rakyatnya juga entah berantah
Pedagangnya entah berantah
Birokratnya entah berantah
Guru-gurunya entah berantah
Muridnya entah berantah
Orang tuanya entah berantah
Anak-anaknya entah berantah
Lakinya entah berantah
Perempuannya entah berantah
Suaminya entah berantah
Istri-istrinya entah berantah
Hakimnya entah berantah

Kita semua terjebak di negeri
: entah berantah!

Yogyakarta, 2014



Puncak Senyap

makam
apakah tempat kembali
sebelum senja
menimpali?

Nisan
Apakah pertanda prasasti
Setelah gurat takdir
Merengkuh diri?

Kembang
Apakah warna-warni
Usai sembahyang
Lalu mewangi?

Air
Apakah mengaliri musim
Ketika dahaga bermukim
Menumpas akhir?

Doa
Apakah mustajab
Dalam gema zikir
Meremah serpihan azab?

Yogyakarta, 2014




--------------------
Hazwan Iskandar Jaya, lahir di Palembang, 27 Agustus 1969. Beberapa karya tulisan berupa puisi, cerpen, esai, dan opini pernah dimuat di berbagai media dan antologi bersama.
 


Lampung Post, Minggu, 6 Juli 2014