Sunday, December 29, 2013

Sajak-sajak Humam S. Chudori

Jangan Kau Tanya

jangan kau tanya di mana kini aku ada
sebab aku tengah mencari keberadaan-Nya
yang belum kutemukan di peta mana
pada ribuan koleksi peta yang ada
dalam otak di tiap belahan kepala

jangan kau tanya ke mana aku mencari-Nya
sebab sedang kucaricari itu alamat
yang mungkin tak pernah tercatat,
namun coretan itu pasti ada
dan tersimpan di alam raya
tetapi entah di mana, di dasar bumi
di antara lipatan langit, di sudut bulan
di pelipis matahari, atau di pusar galaksi
bima sakti

jangan tanya untuk apa kuingin jumpa Dia
yang telah menitipkan padaku segalanya
ingin kuberdiskusi tentang anak istri
yang diamanahkan selama ini
yang kadang membuatku lupa akan Dia

2013


Kerinduan

ada malaikat bersijingkat di atas
rumah kita, berdentam-dentam suaranya
mendengar istri bertadarus, patah-patah
tangisnya. memilukan
rindu nenek yang mewarisi sawah
sepetak, tanpa hasil selain kekecewaan
meski bertahun-tahun terlewati

pupuklah kerinduan kita pada-Nya
pada malam ini
istriku!
daripada mengharap hasil lahan
yang nenek tinggalkan
pada kedua cucunya

dengar!
angin dan malam ikut mengamini
kerinduan kita pada-Nya
gelap malam juga melakukan
sunyi sepi mengharukan
tangis hening menyayat hati

2013


Terlambat 

sulit dijelaskan padamu
ketika terlambat pulang, kekasih
bagaimana aku menjelaskan
kami dipenjara hujan usai acara
menerbangkan buku puisi lima penyair
suamimu tak kirim sms
lantaran kehabisan pulsa
dan, uang tiada pula

2013


Belajarlah pada Ikan di Laut


belajarlah pada ikan di laut,
agar tak terpengaruh lingkungan
sebab mereka tak pernah asin
kendati hidup di air asin

belajarlah pada ikan di laut
nan tak patah semangat
berjuang keras di alam bebas
bertahan hidup dalam ganasnya
kedalaman lautan lepas

belajarlah pada ikan di laut
tangguh, tak pernah malas
berenang ke sana kemari
mencari rezeki yang disediakan
Yang Maha Pemberi

belajarlah pada ikan di laut
agar tahu diri kita, tak cari makan
di luar habitat, tak ekspansi ke sungai
mengerti rezeki air payau dan air tawar
bukan disediakan bagi mereka

tetapi,
mungkinkah masih bisa kita
belajar pada ikan di laut
ketika laut sudah tercemar limbah
dan ikan pun
menggelepar
terkapar
: mati sia-sia

2013


----------
Humam S. Chudori, lahir Jumat Kliwon, 12 Desember 1958, di Pekalongan, menempuh pendidikan SD, SMEP Negeri, SMEA Negeri (semuanya di Pekalongan). Tahun 1978 hijrah ke Jakarta. Tahun 1982 melanjutkan ke Sekolah Tinggi Publisistik (sekarang Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Jakarta. Mengambil jurusan jurnalistik. Buku puisinya: Perjalanan Seribu Air Mata. Menulis puluhan buku cerpen, novel, dan lainnya.


Lampung Post, Minggu, 29 Desember 2013

Saturday, December 21, 2013

Sajak-sajak Restoe Prawironegoro Ibrahim

Bercinta dengan Gelombang

Laut yang bercinta dengan gelombang
saban hari ada di sana
menunggu camar
tapi hanya batu karang yang setia menunggunya diam
meski berkali terus dipukul gelombang
berzaman-zaman menunggunya
setiap camar berniat terbang ke sana
ada suara asing hentakkan kesadarannya, instingnya
ketika hujan mengguyur pantai
angin hanyutkan rindunya ke laut lepas
lalu badai bertiup terbangkan cemburunya ke pulau terpencil
laut masih saja bercinta dengan gelombang
camar-camar meninggalkannya

Catatan, City Harlan, 25 September 2013


Sajak Anak Negeri

Harus sedalam apa lagi
lara menikam
bangsa ini

Harus sekeras apa lagi
jerit tangis menggema
di seluruh negeri

Harus berapa ribu lagi
nyawa ditumbangkan
terkubur tak bernilai

Mengapa curiga masih saja membakar jiwa
dendam tidak kunjung padam
kekerasan belum juga usai
hingga darah anak-anak negeri
mesti tercecer tak habis-habisnya

Mengapa begitu sulit saling mengasihi
padahal bukan sehari dua hari
hidup berdampingan
tidak juga sekali dua kali
tertawa dan menangis bersama
ditengah-tengah kebhinnekaan

Betapa langit pernah jadi saksi
kedamaian bumi pertiwi
milik kita dulu

Pedih
Perih
luka bangsa ini
sungguh harus diakhiri

Sudah saatnya bergenggam tangan lagi
menebar maaf mengayuh langkah
membangun bangsa kembali besar

Catatan, City Harlan, September 2013


Menyingsing Fajar

Menang, menang, dan menang lagi
pasti menang, harus menang
meski garang dan curang
hakim di pihak kami

golongan menang, rakyat senang
bukti, bukan urusan kami

Aduh, diterjang gelombang
haruskah lari?
sembunyi?
ataukah bertameng topeng?

Mahkamah Reformasi berkata:
berdasarkan daftar-daftar dosa
ternyata pemenang-pemenang pilkada sengaja memanipulasi konstitusi
mengintimidasi dan menyulap kotak-kotak suara
melakukan nepotisme, korupsi, dan kolusi serta suap-menyuap
maka dengan ini Mahkamah memutuskan:
untuk mengubur para pemenang-pemenang pilkada bersama buah karyanya

akhirnya gema ucapan selamat bertubi-tubi
Selamat jalan pahlawan polesan
Jangan kembali lagi
menyingsing fajar kejayaan

Catatan, Harlan City, 22 September 2013


Anak

Anak yang lahir
dari penderitaan
ialah puisi bernama kemanusiaan

anakkulah yang lahir dari sepi
anakkulah yang lahir dari sunyi
dibesarkan dongeng kehidupan
dan duka derita yang tak abadi

Catatan, Harlan City, September 2013


-----------
Restoe Prawironegoro Ibrahim, cerpenis dan penyair, tinggal di Jakarta.


Lampung Post, Minggu, 22 Desember 2013

Sunday, December 15, 2013

Sajak-sajak Muhammad Arfani Budiman

Percik Hujan
rintik gerimis bagai ritme
bagi roh kesunyian
getar dalam dadaku
menembus kelebat angin
bersama raut waktu
aku memahami hujan
sebagai isyarat rindu yang melengking
pada suara-suara geitir dalam jakunku
mengunyah ratusan mimpi
terekam sebagai potret luka
paling muram di sihir hujan
tersusun rapi dalam doa
menari bersama barisan kerinduan
memar dalam kuku waktu

2013



Gerimis Hitam

pekat waktu melaju
menuju pucuk-pucuk mahoni
kelebat angin menafsirkan ruh kesunyian
pecah di daun jendela, matahari meruap
menuju rongga langit sementara tebasan hujan
di tabir senja, melipat dedaunan,
menghitung gerimis hitam yang jatuh
di tanah basah, begitu juga lembaran usia
selalu berdegup ketika malaikat menggetarkan
loncengnya sebagai tanda maut selalu beringsut
menyelusup mendobrak jantung para hamba sahaya

2013


Lonceng

lonceng bergetar
sebagai isyarat rindu
rebah menuju hamparan tanah
seikat rindu terlempar menuju peleburan
awan bersayap menenun langit jingga
sementara kesunyian mengerang di tabuh gendang
pecah sebagai angin, menelusuri wajah malam
pada tangkai kenangan, bunga-bunga layu di siram gerimis hitam
lonceng bergetar sebagai penanda
ke pintu mana kita pulang
mengetuk peluru waktu
menembak riuh kata-kata

2013


Persembahan
: Dwi Sri

di malam jumat keramat
dupa menyala sebagai ritual
para petapa menyambut leluhur
bersenandung dalam rakaat hujan
kepada juru kesunyian
terimalah mantra padi-padi
sebagai dewi kesuburan
berkatilah sawah-sawah kami
yang mulia Dwi Sri

2013


Setelah Hujan

setelah hujan
menenggelamkan perasaan yang
tak selesai padamu, aku memetik mawar
yang mekar di sebuah taman
sebagai hadiah di hari ulang tahunmu
pada kelebat angin aku titipkan gemuruh cinta
yang tersusun rapi menuju matamu
rekah sebagi kata-kata
lebur sebagai doa
setelah hujan reda
ada yang bergetar seperti jarum jam
di raut waktu yang terus melaju
aku menyimpan senyummu
dalam lebam malam

2013


-----------------
Muhammad Arfani Budiman, lahir 6 Januari 1989. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia. Bergiat di ASAS (Arena Studi Apresiasi Sastra).


Lampung Post, Minggu, 15 Desember 2013


Sunday, December 8, 2013

Sajak-sajak Alya Salaisha-Sinta

Tentang Gerimis Sore itu
:Ais


/1/
sore itu aku melihatmu
duduk di samping lelaki
yang kau sebut Ayah

kau
lalu bercerita
tentang gerimis
yang membasahi
ujung rambutmu

bahkan
kau sempat memungutnya satu
untuk kau hadiahkan padaku
: lalu kuterima
jadi setetes air mata


/2/
gerimis sore itu
sedikit tak ramah

aku diamdiam
mengutuk musim
yang hampir mengacaukan
jadwal perjalananku

tapi kau bilang
tak boleh marah

sebab alam
sedang meluruhkan cerita
tentang masa kekanak
yang telah lama hilang

lalu kau
tibatiba mengajakku
menari di antara gerimis
memungut kenangan yang berserak
lalu menyusunnya lagi
menjadi selembar catatan


/3/
langit sore itu
meluruhkan gerimis
yang jatuhnya tegak lurus
seperti jarum menghujam perlahan
ke kulitkulit bumi

lalu kepada
tetes yang paling tajam
aku luruhkan wajahmu ke dalamnya

hingga suatu hari nanti
kutemui wajahmu berguguran
seperti hujan…

Cikarang, 19 November 2013




Surat untuk Ibu

ayahku
sudah duduk di atas sepeda
-seperti harihari sebelumnya-
menungguku menyelesaikan
selembar surat untuk
sarapan Ibu pagi ini
walau yang kutulis selalu sama
-resep nasi goreng ikan teri-
ayah tak pernah bosan mengantar

siang nanti
giliran kakakku
yang menulis surat untuk Ibu
entah apa yang ditulisnya
tapi kulihat dia sempat
mengumpulkan embun tadi pagi

malam nanti
ayah yang akan menulis surat
tak lagi tentang nasi goreng atau embun
mungkin tentang rindu
yang selalu ayah gantung di pintu kamarnya

kali ini
ayah tak ikut mengantar suratnya sendiri
sebab kemudi sepeda ayah
sudah sangat hafal, di mana alamat Ibu

Cikarang, 19 November 2013



------------
Alya Salaisha-Sinta, lahir di Jombang, 26 Maret 1986. Menulis puisi dan mengikuti lomba baca puisi sejak di bangku kuliah di Politeknik Negeri Lampung (Polinela). Sejumlah puisinya dimuat di berbagai media dan antologi bersama.


Lampung Post, Minggu, 8 Desember 2013

Sunday, December 1, 2013

Sajak-sajak Budhi Setyawan

Lukisan Penari (1)

aku tak kuasa menera
asal usul dan alamatmu
sedemikian kilat engkau keluar
dari sebalik cermin langit
tempatku berkaca untuk
menanyakan gerak kupu kupu
di antara aroma nektar yang
menguar menyerbu

aku tak sanggup menerka
apa rerumpun kata yang hendak
kau terbitkan pada sendi jelajah
para pemburu takjub yang
bertumbuhan di kanal kanal
kenangan dan harapan
yang melintasi wilayah wilayah
percakapan sepi

pada lentik gerik
dan runcing kerlingmu
aku menafsir siluet siluet
kehidupan yang penuh dendang
yang acap dilumur ratap radang

    2013



Afeksi (1)

engkaukah yang melambatkan putaran jarum di arlojiku.
lalu malam menjelma labirin yang dipenuhi kerlip kesepian.
dan jarak menjadi kanvas yang teramat luas, sedangkan
belum muncul juga: tentang apa yang hendak digoreskan
oleh kuas yang terburu terpukau warna.

engkaukah yang telah menjadi arlojiku, yang melingkari
nadi gerakku. wajahmu serupa nebula yang terus mengitari
pergelangan, membuat lintasan orbit di sekeliling taman
degupku. kautebarkan aroma rempah ke udara malam,
sehingga bertumbuh desir kegaiban berbalur nujum
perjamuan.  

    2013 





Berburu Maafmu
                                   : yuni kurniasari 
masih kusimpan getar tarian bibirmu
menyapu kanvas malam
yang mengirimkan suar nyala paling madu

kemeriahan yang ritmis
mekar di taman bergantung
pada kedalaman matamu yang lembayung

kuda andong yang gemar mengukur jalanan
tumpukan durian memompakan manis tebaran
serta keramaian jamu kranggan yang tak lekang
oleh gerah tahun tahun yang nyalang berlepasan

becak di perempatan
menafsir usia kesepian
kemarau gigilkan roda ban
pada lintasan penantian

ada degap kepiluan patung pemain biola
merunut kelok panjang pengakuan kelahiran
di kolong sayup lagu kebangsaan negeri yang pucat

aku yang dikerubut racun metropolitan
memutus tali emas dalam erupsi nanar
dan kini aku sendiri yang terkapar
oleh serapah percakapan diam jalanan perkotaan

telah kukunyah petikan karma darimu
hingga menjadi roman temaram di alur aliran sungai
yang mencari muara ke langit

entah bila,
dapat kusadap sari kata darimu
buat membasuh kekelaman ruang napasku

    Purworejo, 2010



Cemara Tujuh

aku terkenang tujuh tubuh
yang meninggi mengusap langit
ilusi dialiri bulir sepoi sore
bersama denting gamelan dan kicau burung
mengirimkan keharuan zaman
ke jantung matahari tembaga

rerupa bunga padma
menjadi lelampu di rantingmu
di seberang kekar pilar pilar dan
lembar selasar yang tergelar
merawi takzim agung balairung
memeram riwayat renung

dalam khusyuk kembara
berkali aku menyunting auramu, hingga
mengepul rindu. amuk risau menderu.

2012



----------------
Budhi Setyawan, lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 9 Agustus 1969. Tulisannya dimuat di banyak media nasional dan daerah. Sekarang aktif di kegiatan bulanan Sastra Reboan di Bulungan, Jakarta Selatan, serta sebagai penggagas dan ketua Forum Sastra Bekasi.


Lampung Post, Minggu, 1 Desember 2013

Sunday, November 24, 2013

Sajak-sajak Adri Sandra

Gema

hanya suaramu dari jauh, jarak yang memisahkan
menggulung ketiadaan, di sini harapan tetap bertiup
meniti kabut di jurang-jurang lembahku, dalam dan redup

mungkin suatu kali; kutemukan juga tempat di mana engkau merakit waktu
membakar daun-daun kering yang menumpuk dalam diri
memamah abu menyuburkan darah dan lambung
"kau lihatkah? aku menandu kehidupan di depan cerminmu!"

hanya sekilas; lantun suaramu membentur dinding malam
gema yang kusadap di gelombang gelap
suatu saat, dua bayangan berbaris mengeja-eja kehidupan

kemarilah! jarak itu semakin dekat
dan daun-daun gugur dihela jari-jari suaramu
ke sebuah negeri yang mungkin tak kau kenal.

Ujung Tanjung, 2013



Jurang

mata burung yang mengapit gunung itu, berpijar di rongga hatiku
angin yang bising, ia serahkan daun-daun gugur ke bumi
"masih adakah tanah lembab di dirimu?" daun jendela musim
tertutup dalam rimba-rimba batu

di sebuah jurang, riwayat itupun mumbul bersama kabut
tentang Anggun Nan Tongga, Cindua Mato; aroma bunga-bunga
semakin jauh mengembara dari tanah negerimu

tapi kearifan, selalu mengurung tanda-tanda
nyala api, asap yang tak menjadi awan, abu yang ditaburkan
membeku di lidah-lidah akar
dan di kaki gunung itu, dibangun panorama, riwayat zaman
mekar tumbuh dalam racun cendawan

mata burung yang mengapit gunung itu, menyala di ruang mataku
di tanah dirimu yang kering, lengking perang, dada dan paha-paha wanita
menempeli setiap sudut hutan gunungmu
"inilah riwayat dan kisah-kisah baru," ujarmu

di sisi lembah, aku mengemas rangka-rangka cerita itu
bersama ribuan burung
dalam jubah waktu, detik-detik tak lagi kuhitung

"ah, aku bingung dengan zamanmu
yang membangun berjuta-juta jurang
dalam dan gersang!"

Ujung Tanjung, 2013



Jalan


seperti ada yang tertinggal, mungkin kau juga merasakan
peristiwa, tanda-tanda dan kearifan berlayar dalam angin
lalu kita menanam peradaban pada sebuah ruang yang terlupakan
dan pohon-pohon itu mengering, tanah tak lagi menyuburkan

inilah negeri kita; segala yang bergerak ke setiap sisi
membangun rumah dalam batin sendiri
jarak terentang dilantun sipongang yang mati

"aku di sini!" ujarmu
"aku di sini!" ujarku

setiap waktu, langit menangisi bumi
saat angin melipat seluruh jalan
yang pernah kita lalui.

Ujung Tanjung, 2013

 
-------------
Adri Sandra, lahir di Padangjapang, Payakumbuh, 10 Juni 1964. Menulis sejak 1981, prosa dan puisi. Buku puisinya: Luka Pisau (2007) dan Cermin Cembung (2012). Karya-karyanya dimuat di beberapa media massa. Puisi-puisinya terangkum dalam 29 antologi puisi bersama. Pemecah tiga rekor Muri dalam sastra Indonesia.


Lampung Post, Minggu, 24 November 2013




Sunday, November 17, 2013

Sajak-sajak Heri Maja Kelana

Penambang Karst

baju yang ia pakai tak pernah
istimewa. begitu pula dengan
pekerjaan yang ia lakukan. tangannya
hangat, kaki dan batunya selalu semangat
menaiki tekstur gunung batu.

ada yang sebenarnya ia kehendaki, namun
sulit dilakukan. ia hanya ingin bahagia
tak pernah lebih dari itu

dilain waktu, ia memikul batu serta
membawanya ke rumah. “batu ini bagus
istriku” tersenyum ramah. waktu akan
menjadi batu. menjadi sesuatu
yang bisa saja berharga. bisa juga tidak

ia memahat batu itu sambil
berbicara pada istri dan anaknya
“untuk kuburanku nanti”



Tandur

(sebelum lupa karena terlalu
bahagia, sebaiknya tidur sejenak)

percayalah, akan ada indung padi
yang ranum meski tanpa sesaji. sebab
selalu ada yang dilupakan setiap kali
mencangkul. istrimu serta senyummu
yang menyusut

tuhan adalah tanah dan air ini,
menumbuhkan helai demi helai
daun padi, menumbuhkan anak-anak
padi

sebab padi adalah waktu untuk setiap
waktu yang berhenti

sejenak


Kepada Perajin Tikar

terima kasih, aku ingat kembali
bagaimana cara merapikan
keindahan kenangan


Kepada Seorang Pengendali

belum pernah aku melihat seseorang
yang luar biasa peduli akan rakyatnya. sekali pun
dalam wayang. atau film atau drama atau

pada suatu kesempatan di desa terpencil
di ujung jawa barat. ada yang berbicara pelan
padaku, suaranya radio rusak. aku

bulan yang kehilangan malam. dua belas jam
berada di pasar. wajah-wajah berputar, memilin
cerita dari bau amis ikan, sayuran yang mulai
layu. laguku sandal jepit dan suara orang-orang
yang saling tawar menawar. semua

orang berbicara, tapi tak saling mengenal
apakah ini film atau cerita drama atau lakon wayang?

apabila kau tak pernah datang ke sini
ke pasar ini, ke ujung jawa barat
maka kusampaikan padamu salam
hangat dari sini. setelah itu

aku hanya ingin mencintaimu. ini puisiku
untukmu para pengendali


Morse

bila saja kedipan itu matamu
maka aku akan sangan paham dan
mengerti


The Road

sebenarnya aku tidak tahu jalan ini
maka selalu tersandung, selalu menginjak
apa saja yang tidak pernah aku tahu

jalan ini semakin menyempit, kakiku dan
kepalaku terasa semakin besar
tanganku menggapai apa saya yang terlihat
namun aku selalu tersandung
sebab aku tak tahu jalan ini

juga kenangan


-----------
Heri Maja Kelana, lahir 14 Januari 1986. Sekarang aktif di Institut Sastra Cikalong dan mengasuh di Rumah Baca Taman Sekar Bandung. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media lokal dan nasional.
 

Lampung Post, Minggu, 17 November 2013

Sunday, November 10, 2013

Sajak-sajak Fatih Kudus Jaelani

Senandung Biji Kopi
                : Bunda

di setiap subuh yang basah
tanganmu tak akan pernah mengalah
memetik tubuhku, mencium daunku
sampai petang datang menyerang
membekukan akar-akar harapan
yang sabar menyimpan kenangan

dengan keranjang setinggi punggung
seperti harapan panjang dan agung
kau memilih warna paling merah
paling besar menyimpan gairah
sedangkan tubuhku yang lain
kau biarkan menunggu, mengamati
waktu belajar untuk kembali

bila aku telah memenuhi keranjangmu
pertanda pagi telah mencuri matahari
kau lihat ilalang menguning
maka hidupku akan dibakar dan digiling

telah kuikhlaskan segalanya untukmu
seharum aromaku saat dihidangkan
di atas meja panjang, di pinggir kolam
saat pagi mengundang dingin yang dalam

Lombok, 2013


Musim Layang-Layang

kami tandai angin di pohon kelapa
batang-batang tebu dan boneka padi
juga burung kecial kuning
yang bila mereka bernyanyi
musim kanak-kanak bakal dimulai

benang sepanjang kelok ke rinjani
kami gulung pada kaleng tak berisi
anak-anak bambu kami tebang
kami rajut dengan sabar jadi bagan
lalu kami kumpulkan anak  jeliwang
kami sambung jadi tubuh yang ringan

murahnya harga kesenangan kami
layang-layang masa kecil ini
kami kenang pada musim harga tinggi

Lombok, 2013


Musim Kelereng

kami hanya senang bila dapat menjengkal tangan
mendekati keberadaan lawan di pinggir lubang
meski terkadang saat berada di tempat sempit
kami terpaksa harus diam-diam melebarkan kaki
untuk mendapat letak pukul yang pasti.
betapa lebih senangnya lagi, bila hasil pukulan kami
membuat tanda serius di tubuh musuh

sampai musim permainan ini berakhir
sungguh kami tak pernah mengerti
ketika terjatuh ke lubang yang sama berkali-kali

Lombok, 2013


Gadis Meliwis

bulan terang bertandang ke pelabuhan
menerangi ingatan pada tubuhmu
seakan memandang sisa kesedihan
di tengah pelayaran panjang

cahaya itu bertebaran bersama harum malam
menyulap wajahmu menjadi tempat istirah
bagi lelah yang kehilangan angin dan arah

terkadang di bawah pohon ketapang
aku merasakan kecupan yang tak sengaja kau sisakan

bersama kepulangan para nelayan
ketika langit pagi menyimpan sisa bulan
kupandang laut ini sangat bersih untuk dikenang
bersama tubuhmu di malam yang tenang


Lombok, 2013



Takdir Kerikil

sungai yang sabar adalah ibu
mengandung batu sebelum dipalu
melihat masa depan yang kelak
menggelincir kecil di telapak kaki
oh, jangan lupakan tubuhku ini
yang tak dipandang bila sendiri

Lombok, 2013


-------
Fatih Kudus Jaelani, lahir di Pancor, Lombok Timur, 31 Agustus 1989. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Hamzanwadi Selong. Aktif mengelola Komunitas Rabu Langit, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis puisi dan telah disiarkan di sejumlah media cetak dan beberapa antologi bersama.


Lampung Post, Minggu, 10 November 2013



Sunday, November 3, 2013

Sajak-sajak Alex R. Nainggolan

Tiba-tiba

tiba-tiba, engkau datang
membawa pagi yang lama hilang
dari tubuhku
memelukku dengan birahi yang masih sesegar embun
dan aku lupa tentang usia
yang lama berkerumun

tiba-tiba, engkau menghilang
meninggalkan malam yang cemas
dan aku terlepas dari kenangan
lalu aku merasa begitu tua
sepuh tumbuh di dalam tubuh

Edelweis, 2013



Hujan Pagi

hujan pagi menembus bening kaca
terasa juga sampai di badan
di dalam kamar
aku mengisap tubuhmu lagi
usia menggelepar
aku yang terkapar
kenangan terus berlayar
tanpa kabar

hujan pagi merawat kenangan
aku merayapi tubuhmu
menyisir cemas yang bergemuruh
melepas jarum-jarum akupunktur
yang bertahun menyekapku
dalam sunyi

hujan pagi memberat di kepalaku
hamparan berita menusuk bagai duri
dan aku tak pernah bisa membacanya
sebagai tawa

2013



Ke Pantai

ke pantai
jejakmu landai
menghitung lipatan sunyi
yang berkawah di matamu

ke pantai
tubuh yang lepai
keriap angin
ombak yang subur
asin laut
yang sungut
larut di tepi lidah

percakapan kita tak pernah sampai
bukankah acap kukoyakkan ingatan padamu
setiap kali biru laut
berkelir
di matamu
yang jauh
kalut berebut
ombak terus bergerak

ke pantai
kerumun orang
asing yang terbelah
dan cintamu begitu kekal
tak bisa kupenggal

2013


Malam Memberat

malam memberat
belum pukul 24
lambaian waktu
seperti angin pantai
hanya ada selat
bayangan laut berkarat
juga telapak kakimu
yang maki legam
lau malam hari

tak ada pelampung
bagi pikiran yang ling-lung
hanya mata kita bertemu
jauh di pangkal pantai

2013



Sepanjang Anyer

sepanjang anyer, sepanjang pasir
langit yang memanjang
jarak yang meradang
aku menyeret langkah
menjauhi gelisah
tapi hanya ada serak suara, denyar muik
atau sisa gelas kosong di kepala

sepanjang anyer, jalanan pasir
ingatanku berdesir
namum ombak terus mengalir
menyicipi malam
dan memagut laut yang buncah
mengingat daendels sang gubernur jenderal
berapa banyak yang pernah terkapar di sini?
hanya ada sebuah hotel
temaram village
atau kapal kayu mengapung
tak bisa kutempuh kelabu
yang menelusup di kepalamu

2013



Di Carita

di carita, mungkin masih ada kata
yang bertahun lalu kauapungkan
ke kirab laut
aku memungutnya
merenangi pulau-pulau kenangan
dan berselancar lalu terapung
di banana boat

di carita, ada cerita
juga luka kata
yang melulu biru
di kejauhan laut
namun tahun kita acap berlumut
kalut dan disekap kabut

suatu ketika,
engkau pernah berucap
sebelum angin laut
merebut
lesap di genangan pengap

dan kau menjelma pelampung
merampas murung

di carita, hanya ada debur ombak dan angin
bekas pasir di remah baji
dan sejumlah kenangan sungsang
yang hampir tenggelam

2013


--------
Alex R. Nainggolan, lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di Jurusan Manajemen FE Unila. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di berbagai media dan antologi bersama. Bukunya: Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, 2012), dan Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, 2012).

Lampung Post, Minggu, 3 November 2013

Sunday, October 27, 2013

Sajak-sajak Fitri Yani

Raja Guntur Bumi Penihing1)

di lom janji, nyak rila nutuk niku
di uncukni bumi paling ngison
ngandanko kemuarian
tutukan anak-umpu jemoh saway

wat pak anakku laher di bahway:
Pesanggah Temunggung Gedung
Wisesa betungga Ratu Serambak
Dewa Marga
Karya
pisah tian kaduni mid sukau, krui, rik kalianda
Wisesa nguyunko kita di bahni pesagi
betungga Ratu Serambak
laher muneh umpu-umpu kita

kidang, tulung tanyako jama badanmu, ragahku
jama junjungan anak umpumu
lagi aga diingokko tian kudo
ragah rik bebai tuha
sai lapah jaoh ngusung isi kerajaan Banten
lagi aga mupakat kudo
sunyin keturunan jama keturunan Bahway

mani waktu sapa sai pandai
mutusko sunyin ingoan kak medomko mata

di lom janji
nyak rila nyerahko diri jama niku, raja pusaka
nyin nanti anak-umpu kita paham
api artini jadi tutukan
api artini nguyunko lamban.

2012

1) Raja Guntur Bumi Penihing yado de Raja sai berasal jak Banten, menurut cerita tumbai, sekitar tahun 1663, kerajaanni mid Liwa daleh ngebangun kerajaan di Bahway, salah satu keturunanni ya de Raja Wisesa, sai keramatni maseh wat sampai tanno. Jak keturunanni Raja Wisesa laher raja-raja sai sampai tanno wat di Kutaraja, Liwa.




Kemumu

sang degok way di unggak bulung
kemincak kedugok di bah pampang
kekati langui di pingger-pingger kulam
batu alom dibi manom

way di bulung kemumu
di bah sinar bulan bara
numpang liyu
kadu ya gugor di batu alom
mak dapok mesaka aga tigaga

kak rakakni radu jadi talos
kambang-kambang radu melayu
kemumu nganakko tunas baru

2013




Munggak-Medoh

kik niku halian
lapahanmu nutuk renglaya
sai jak bahni
medoh mid sabah-sabah
teliyu mid siring-siring
taru di lawok jaoh
munggak luot mid langik
kambor di hantara burung-burung
diurau-urau angin
mid rang sai mejaoh jak lawok
kaduni lebon gugor jadi wayni terai

kik niku terai
suratanmu gugor munggak-medoh
mak taru-taru, mak ngilu waktu
gugor di bulung lidang
jadi kambang di bebatan
ngeratongi bumi
nyinggahi rang-rang
sai senangong renglayamu

kik niku bebatan, garisanmu tilapahi
jak unggak jak doh, jak tumbai jak tanno
nerima tiilik-ilik, buserah tiratongi rik tilijungi
kekala wat sai tedaya, kekala wat sai pehalu

rua arah rua tawok rua uncuk
mid-muloh, radu-makung
debingi-derani, alom-andak
lawok rik langik, di hantarani
way-way ngehuap
gugor muneh di bebatan
luncat-luncat injuk kambang

2013


--------------
Fitri Yani, laher di Liwa, 28 Februari 1986. Pepira puisini timuat di lom media cetak rik antologi puisi. Pernah nutuk Pertemuan Penyair Nusantara V dan VI, Ubud Writers and Readers Festival (2011), Temu Sastrawan Indonesia IV (2011), Festival Puisi dan Lagu Rakyat Antar-Bangsa Pangkor, Malaysia (2012). Buku kumpulan puisi bahasa Lampungni sai ampai aga terbit judulni Suluh.


Lampung Post, Minggu, 27 Oktober 2013

Sunday, October 20, 2013

Sajak-sajak Riki Utomi

Sunyi Batu

tak ada bahasa mungkin yang berdiam
di kepalamu. hampa bertambah ragu.
pelupuk matamu hanya dapat membuang
waktu. dan hari-hari beranjak begitu saja
tanpa mau tahu bahwa kau memendam pilu.

digerak tubuhmu sepertinya hanya angin
yang tahu. berderu desas-desus teguk ngilu.
memendam di dinding sanubarimu. kau
menjadi gagu menerawang semua itu. di
batas-batas detik jam bagai rambu-rambu
yang mencekat hidupmu.

(telukbelitung, agustus 2013)


Wajah di Sebuah Teluk

akan kukabarkan sebuah puisi pada raut wajahmu.
dengan menitik-nitik melodi rancu, kita masih
berdiri di hamparan teluk yang membisu.

di wajahmu tersimpan sudi untuk dapat kami
melangkahkan kaki. tak ada kata biar, walau
musim beranjak pergi.

di sebuah teluk yang tak henti disapu angin.
kami menapak dengan tingkah yang berpacu
melewati mimpi.

segala sesuatu yang mungkin datang, selalu
jauh kami membuang. menelikung, menjulang
kata untuk membuang arti-arti lain di teluk itu.

(telukbelitung, agustus 2013)


Ruang Singgah

hanya tipis dinding seperti kulitmu, kami melepas
beban kata yang tercekik di medan laga. hanya sunyi
menganga, bagai lubang gelap pada tubuhmu, mungkin
kau anggap bekas luka yang selalu menyimpan bau
mesiu dari mulutnya.

ke ruang singgah, hanya kuncup sunyi memekakkan
telinga. daur ulang hidup seolah menjadi siklus bagi
tawaran hidup yang sempat menjengah bahwa kau
belum lepas dari ikatan jejak hidup.

pada ruang singgah bergelut kisah membuncah.
lihatlah pada sisi dindingnya. raut curam luruh
mengeram bau peluh. pada plafonnya, ringkih
ruas tulang mengaduh menyesak menggasak gaduh.
pada pintu depannya, menjerit mengabarkan luka
menganga. membanting rongga-rongga dada
pada alur hidupnya.

(telukbelitung, agustus 2013)


Sulaman

aku ingin menyulam kata-kata di atas tubuhmu.
dicampur pernik warna-warni kehidupan agar
tidak lagi bosan atas manisan yang itu-itu saja.
sebab gaung mulutmu tidak membuat ngilu getir
tubuhku yang gagu.

sulaman kata-kata itu hanya mampu berdenyut
disela sisa-sisa waktu, menjelang sore, atau
seperempat siang diterik asing yang tak pernah
kita lakukan. semua hanya menjadi kenangan
dan rutinitas hidup atau sebatas memori yang
hangat diam-diam belum sempat terpukau.

(telukbelitung, agustus 2013)


Melodi Malam

betapa angin berayun pelan-pelan. menelusuri
dinding-dinding pikir kita. ada hal-hal telah
terpuruk untuk coba kau meraba, namun lekang
entah ke mana.

pelan-pelan ada ucap merayap ke kupingmu.
memcoba membuat ucap pada hari-hari yang
menurutmu sembilu. runtut ujung jari, pagut
bibir mungil menari. lalu hanya sedikit mata
mencuri dari ruang yang terkunci.

sampai pengujung melodi malam semua terdedah
kebanyak wadah tumpah. meraba demi seinci arti
bahwa kita masih saja tertengadah dari ungkap
keluh-kesah yang tak sudah-sudah.

(telukbelitung, agustus 2013)


------------
Riki Utomi, lahir di Pekanbaru, 19 Mei 1984. Kini bergiat di Komunitas Rumahsunyi. Tinggal di Selatpanjang, Riau.


Lampung Post, Minggu, 20 Oktober 2013

Sunday, October 13, 2013

Sajak-sajak Mohamad Baihaqi Alkawy

Surat Lalat
tubuhku jengat, mengisap sari-sari segala yang busuk
semisal bangkai ucapanmu

kibaskan tanganmu, maka aku akan terbang ke arah
tak dikenal. sebab aku paling lihai berkelit atas setiap jebakan
maupun umpatan yang sejatinya telah tercium dari jauh.

apakah kau murka bilamana ujung lidahku menggerayangi
kesibukanmu menjalankan rencana.
sebab kesibukanmu adalah kebusukan bagiku.

tunggulah sayapku akan terpanggil oleh angin ke arah
segala yang lamat-lamat. 

tapi kau terlampau tak percaya bahwa keruh tubuh yang selalu
tumbuh melepuh adalah muasal dari yang terasa. tak nyata.

begitu pula halnya tubuh yang legam ini memintamu sejenak
kembali pada diri.

2013



Ahad
hari ini bukan suasana jumat, melainkan ahad
sebab tak ada aroma tuhan merasuk ke ujung hidung
hanya saja terpatri si buah hati menari di ujung jari.

di pancuran, sepagi ini rambutmu basah-merekah
menenangkan desir air jatuh di wadah berukuran dua kulah
yang hanya membasahi tubuhmu saja. tubuh tenang hari ahad
menutup sederet nama tuhan di gelombang dada yang gemetar
menyebut si buah hati berulang-ulang, melebihi getar alunan
nama Tuhan di setiap hari-hariku sayang.

air biru telah membasuh hijau matamu di depanku
gemericik aliran air seperti zikir para pertapa menunggu
wangsit dari langit.

hari ini, sekali lagi bukanlah jumat, melainkan ahad.
dan segalanya tumpah bersama namamu yang
kudaras setelah salat.

2013



Pendaki


sematkanlah sifat binatang jika kau menemukanku telentang
membayangkan keinginan di puncak keresahan, tersulam oleh
beberapa lembar kabar bahwa kita telah mengkhatam abjad
bintang dan segala yang kita temukan di antara butir perasangka
kacang ketika ia memendam biji dalam cangkang.

atau bilamana kau menemukanku memangu ke arah masa lalu
ke setiap simpang yang semakin merenggang tak sepurwarupa
namun apatah aku ini jika kesekian kalinya kau temukanku patah
dan latah menimbang bimbang yang terlampau datang,
barangkali hanya sekedar lewat untuk meyakinkan keinginan
yang tak berketetapan dan melekat kiamat. jadi pernak
berhias diri supaya tampil percaya diri.

sematkanlah aku sifat binatang bilamana kau menemukanku pergi,
tapi bukan sebagai pendaki lagi.

2013 



-------------
Mohamad Baihaqi Alkawy, lahir di Toro Penujak, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 9 Mei 1991. Menulis puisi dan artikel di berbagai media dan antologi bersama. Bukunya, Tuan Guru Menulis, Masyarakat Membaca (dalam proses terbit).


Lampung Post, Minggu, 13 Oktober 2013


Sunday, October 6, 2013

Sajak-sajak Restoe Prawironegoro Ibrahim

Tentang Wanita, Surga Siang dan Malam

Jangan katakan wanita
sekadar bunga
sebuah taman ia
yang berubah surga
saat dikunjungi:
siang dan malam

di atas taman ada langit
keterbukaan
menelan letih deritamu

di tengah taman ada sungai
: menderaskan arus gairahmu
saat bercakap melunasi
utang sepi panjangmu,

Jangan katakan wanita
sekadar bumi
sebuah semesta ia
yang berubah surga
saat disentuh
lewat tangan dan batinmu
Di luar semesta ada
zikir panjang dan menyatu
dengan tarikan napas
dan penciptaan
yang belum selesai
: ciptakan juga ketenteramanmu
dengan penyatuan
   
Di tengah semesta ada
gerak, melibat-libat
kehendak mengaduk-aduk
harapan dan kecemasan
dan meliuk-liukkan
waktumu.

Jangan katakan wanita
sekadar sepi
sebuah matahari ia
yang berubah surga
saat dipuji
lewat senyuman
sehabis tugasnya usai.

Di sekeliling matahari
banyak matahari
memanaskan ruang
agar segalanya
mampu hidup dan tumbuh
bersama kehadiranmu

Jangan katakan wanita
sekadar daging
sebuah roh suci
yang mengajakmu mengembara
ke seluruh surganya surga
ketika kau aku haknya.

Jakarta, Saung – Sastra Kalimalang Bekasi, 15 Agustus 2013



Tentang Kita

Kita telah akrab bersahaja
menekuri hari-hari impian
yang datang dan pergi jauh.
Kita sudah tak lagi punya kecewa
karena kita telah lepas dari bahagia.

Kita tidak lagi punya harap
sebab selalu datang yang hampa.
Kita tidak lagi punya tempat
di mana semua ruang telah padat.
Kita tidak lagi punya cinta
karena cinta telah merata.
Kita besok akan pergi tinggalkan waktu
mencari damai yang hilang.
Kita besok akan tinggalkan rasa
untuk berlari mencari rasa.
Tapi jangan lagi kita bertanya-tanya
tentang arti dan warna-warna rupa
namun kita telah lebur ke dalamnya

Kepada roh-roh yang bicara
berilah makan kami sepotong roti
buat konsumsi di hari jadi kami.
Dan satukan kami
dalam napas-napas yang lepas

Jakarta, Saung – Sastra Kalimalang Bekasi, 15 Agustus 2013



Tentang Dosa itu

Kita adalah tikus di pagi hari
Dosa itu kita sendiri
dosa itu…
dua biji mata
yang digantung
di setiap persimpangan jalan
di gedung-gedung bioskop
di sekeliling alun-alun
Kita adalah tikus di pagi hari
Dosa itu kita sendiri
dosa itu…
dua biji mata
tempat untuk menggambar rok mini
celana mini
bibir mini
alis mini
rambut mini
bulu ketiak mini
pinggul mini
kaos oblong mini
betis mini

Kita adalah tikus di pagi hari
Dosa itu kita sendiri
dosa itu buatan kita sendiri
yang dicetak di pagi hari
sebelum makan
sebelum tidur
sebelum mencuci gigi

Kita adalah tikus di pagi hari
makan lalat-lalat hinggap
tidak peduli senandung Mesjid
tidak peduli tembang-tembang sufi
terus ………….
makan lalat-lalat hinggap

Kita adalah tikus
Bukan “manusia”
Kita adalah tikus di pagi hari
yang tak mau mencuci mata
dengan  air wudhu’
dengan lembaran-lembaran Tuhan
dengan syair-syair Jibril
dengan Surat Yassin
dengan Surat As-Sajadah
dengan Surat Al-Waqi’ah
dengan surat panggilan laut
untuk berlayar menuju Ka’bah
panggilan langit
untuk terbang menuju Allah
panggilan semut
untuk masuk ke lubang kubur.

Kita adalah tikus di pagi hari
Dosa itu kita sendiri
dosa itu…….
dua biji mata
milik kita sendiri
seperti mata tikus di pagi hari
yang tak mau melihat fajar
yang terang
yang menulis Surat Yassin
                         Surat As-Sajadah
                       Surat Al-Waqi’ah
Kita adalah tikus di pagi hari
Dosa itu kita sendiri
dosa itu……….
dua biji mata
tempat tikus menggambar rok mini
celana mini
bibir mini
alis mini
rambut mini
bulu ketiak mini
pinggul mini
kaos oblong mini
betis mini

Kita adalah tikus di pagi hari
Dosa itu kita sendiri
buatan kita sendiri
milik kita sendiri

Jakarta, Saung – Sastra Kalimalang Bekasi, 15 Agustus 2013


------------
Restoe Prawironegoro Ibrahim, penyair yang lahir dari Surabaya kini aktif di SK-Bekasi. Karya-karyanya cerpen, esai, dan lainnya menghiasi media lokal dan nasional.

    
Lampung Post, Minggu, 6 Oktober 2013

Sunday, September 29, 2013

Sajak-sajak Alizar Tanjung

Batu Asahan Mengasah Mata Cangkul

pada tumpul mata cangkul, mataku, kau batu asahan
kau asah hidupku, serupa hidup petani yang bangun
pagi hari, kau tajamkan yang tumpul, biar lunak
tanah yang keras.

air basahan batu asahan itu juga yang memoles
tubuhku, berkarat telah mengkilat, tajam telah
bersepuh, kini sepuh milikku, padamu tubuh susut
di tajam mataku.

(Rumahkayu, 2013)


Hujan Desember

di musim hujan Desember, daun berguguran di ladang,
murai berhenti berkicau, engkau terukakan cangkul
ke tanah, musim hujan ini musim meneruka,
menanam tampang kentang, menyemai benih cabai.

makin kasar garis tanganmu saat buruh di kota
di detik yang sama meneriakkan perlawanan
jangan kempeskan perut kami, pada garis tanganmu
sungai mengalir mengaliri perih,
jatuhnya di tangkai cangkul.

di kota pada tempat yang berbeda, di musim hujan
di detik yang sama, orang pinggiran berbicara
air ini telah sampai batas leher kami, besok
menutupi ubun kepala.

(Rumahkayu, 2013)


Kota Tua Batangarau

aku menelusuri jalan ini, kiri-kanan gedung tinggal
peninggalan Hindia-Belanda, jendela pecah,
pintu dirantai, dinding yang dijalari bunga,
tenggerek bersuara nyaring dari dalam, jauh di depan
jejak pelabuhan masih bernada.

pikiranku menuju masa lampau di gedung ini,
bau alkohol menyeruak dari gelas dan botol
miliki Hindia-Belanda di hari pesta, anak-anak
kulit putih bernyanyi riang menjelang berangkat
sekolah.

tiba-tiba gedung ini telah kosong, kemerdekaan
mengosongkannya.

(Rumahkayu, 2013)


Puisi yang Aku Cintai

seperti, "daun yang mencintai batang, menggugurkan
dirinya, agar batang bertambah tumbuh kembangnya,
daun menjadi pupuk, pupuk menjadi makanan batang,
sirna dirinya."

aku mencintai puisi, puisi mencintai aku,
aku datang kepadanya dengan sayang,
dia serahkan dirinya kepadaku dengan sayang,
aku belai rambut puisi yang hitam, lalu memerah,
lalu memutih, puisi sambut tanganku yang halus,
lalu kasar, lalu keriput, aku cium bibir puisi,
puisi terima lidahku yang harum, hambar, busuk.

kami saling cinta, aku menikahi puisi, pengantinku
bergaun, ungu, merah jambu, jingga, ke kamarku
kubawa dia, "kita melahirkan anak puisiku sayang,
karena cintaku padamu tumbuh berkembang."

puisi melahirkan satu anak
aku berikan seratus bakal anak, puisi melahirkan
seratus anak, aku berikan seribu bakal anak, puisi
melahirkan seribu anak, aku gugur dan dan cintaku
yang bernama puisi tumbuh berkembang, semusim,
seabad, seratus abad, seribu abad.

(Rumahkayu, 2013)


Hitam Rambutmu

pada ujung kuku, pada sentuhan itu, pada belaian
lima jemariku, pada puncak hidungku, pada angin harum
aroma rambutmu yang melesat ke dadaku,

mengingat warna rambutmu yang menghangatkan
di tepi kota, di pelabuhan pertemuan dan perpisahan
segelap hitam yang tidak mau mengalah,

aku lakon cinta yang tidak kalah dengan perpisahan,
sepi memang bermain dalam kenangan, tapi kenangan
menghidupkan seteguh burung laut yang terbang
sepanjang tahun dan tahun berikutnya.

kapal itu telah berlayar sepanjang pulau dan air yang surut
ke tengah lautan, ke palung yang menyusuri tubuhnya
sendiri,

dan kau di dalamnya sewarna hitam rambutmu
yang makin aku cinta, aku mesra, aku abadikan dalam
sajak ini meski sajak ini sajak terakhir untukmu.

(Rumahkayu, 2013)


----------
Alizar Tanjung, sedang menyelesaikan S-2 di IAIN Imam Bonjol Padang. Karya-karyanya dipublikasikan di koran lokal dan nasional.


Lampung Post, Minggu, 29 September 2013

Sunday, September 22, 2013

Sajak-sajak Darojat Gustian Syafaat

Segala Sesuatu Menjadi Dekat 

kurenungi waktu yang begitu singkat
segala sesuatu menjadi dekat
bila kita mengakhiri pergulatan
dalam pikiran sendiri
sebab itu hanya ilusi dari bayang-bayang
kenangan yang menyimpan cintaku

keabadian bukan cuma milik sendiri
di ladang hati yang mulai kerontang
biarkan rumput-rumput liar terus menjalar
mengingatkanku pada camar mencari jalan keluar
sekian lama tersesat dari gerbang kepalsuan

ya, demikianlah mendepa jauhnya jarak
terasa dekat bila kita menggunting waktu

2011


Kabar Tak Terucap 

mengeja hari lewat waktu yang terus mengalir
dari celah-celah sunyiku, ada serangkum rindu
memanggilku dengan suara merdu
senantiasa kau tahu bahwa aku sedang menunggu
sebuah kabar yang tak terucap dari lisan-lisan
kepalsuan dan kekakuan tentang arti hidup

lalu kuterjemahkan mimpi (juga rahasia) yang dulu
sempat aku pancangkan di langit-langit doa
agar titik kepasrahan menyusuri labirin hati

ah, kabar apakah yang bisa terdengar pada desau angin
dalam malam sedingin ini, tak mampu lagi aku mencacah
duka menjadi kata yang tak terbaca dan terucap

pada akhirnya kucecapi segala nikmat yang datang
menyambutmu dari kepekaan rasa
agar dinding tahajudku penuh pahatan doa
menjelma cinta abadi dari rautan mimpi

2012


Mimpi yang Terpetakan

pada akhirnya kutemukan kembali tanda mimpi
yang dulu tersesat di sepanjang jalan sepi
membiarkan diriku asing pada wujud nyata
hingga aku semakin dalam tenggelam
pada ritus kesunyian

membangun kembali puing-puing mimpi
tiada dinding dan tirai doa
merupakan ilustrasi tanpa akhir
jika tak terpancangkan sebuah alamat
di jalan-jalan itu, hingga mimpi terpetakan

menapaki setiap jejak langkah menuju
arah peta yang telah tertulis dari kekosongan
sebagai awal dalam mengakhiri derita
sebab setiap mimpi menjelma mimpi lain
menjadi ratusan fragmen rahasia

menghayati setiap alur cerita dari sebuah mimpi
ibarat membaca skenario selalu tak terduga
antara nyata dan tiada
ia senantiasa bermetamorfosis dalam kehidupan

bahwa sesungguhnya: mimpi yang terpetakan
menjadi pijakan awal dalam menafsiri
isyarat-isyarat rahasia pada tepi
pemahaman tentang mimpi
yang tak pernah aku tuntaskan dulu

2012


Perempuan Daun Jati

daun jati kunikmati
betapa langit petapa begitu biru
terbukalah segala isyarat di pintu abadi
mengakhiri pesan para musafir yang berlalu

daun jati selalu terbentang untukku
yang terkubur dari mimpi, yang kini
kutempuh dengan jalan baru
sungguh indah tempat berteduhku di sini

di mana bumi penyair ditegakkan
bersama zikir daun jati
melintasi waktu yang menggenang
sebab aku tenggelam dalam muaramu

2013


Doaku, Selalu Ada

ulang tahunmu
doaku mengalir pada siang, pada malam
menembus waktu yang abadi di celah batu
sebelum subuh senantiasa bergemuruh

doaku tak henti mengurai sunyi
jejak-jejakmu kuhitung
bersama sembah sejiwa
di antara roda kehidupan

di sini, doaku selalu ada
saat denting hamdalahku
bergema memuncaki segurat rasa
hari-harimu selalu terbilang
sebab segalanya hadir: cinta

2013

----------------------
Darojat Gustian Syafaat, alumnus Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura. Aktif menulis sejak 2001. Kini menjadi pengasuh Pusat Pendidikan Islam Al-Faatih, Desa Jatimulyo, Jatiagung, Lampung Selatan.


Lampung Post, Minggu, 22 September 2013

Sunday, September 15, 2013

Sajak-Sajak Masduri

Persimpangan Waktu

Sejarah mencatat gerak waktu
Catatan pinggir kelahiran kata-kata
Wujud dari gerak diri yang mengabadi
Sebuah andai setiap napas
Kejadian yang digarap setiap pemenang

Surabaya, 24 Juli 2013


Catatan Malam

Aku menulismu dalam catatan terang
Meski gelap sejak sore tadi menyelimuti diri
Bersetubuh dengan narasi panjang impian
Aku bukanlah pendusta yang berkeliaran tanpa pikiran
Banyak hal yang ingin digarap sepanjang halaman
Namun kantuk sesekali menggelapkan asa
Tak kuasa tubuh tunduk pada bantal-bantal keterasingan
Dari yang nyata menjadi maya

Aku menulis catatan sebagai gambaran keinginan
Yang terus beranjak dari otak ke hati
Badan terasa kurus kerontang menahan keras suara kelopak mata
Sakit kepala menyertai langkah napas
Mengajakku berteduh meski sejenak terlelap
Mungkin dengan begitu esok kembali bergairah
Menggerakkan segenap asa langit impian
Sebab terlanjur besar keinginan
Aku tetaplah aku
Sampaikan kapan pun berlari
Menuju keagungan impian
Membangun asa
Sebuah Menara Kehidupan

Surabaya, 14 Juli 2013


Nestapa Seorang Pengelana

Sejak berangkat berjalan
Tatih harta meninggalkan sunyi
Sebab kami tak punya kelebihan materi
Makan pun sesekali mengutang
Meski tantangan terasa berat
Tapi apalah daya ketiadaan memaksa derita

Kami belajar berharap pada negara
Barangkali mampu menegakkan keadilan
Mengurangi beban hidup lewat pendidikan
Segenap usaha dan kekuatan terus kami bangun
Agar terpilih sebagai juara kemenangan
Nasib baik pun memihak
Mematahkan langit yang tinggi
Hingga layar diri bermuara di Surabaya

Tetapi sayang kini kami banyak dipermainkan
Basa-basi mulut serigala memaksa duka lara
Sejak berbulan lalu dusta terlalu banyak
Hingga kami merasa muak
Sementara mereka selalu berkata tentang sabar
Seperti bahasa langit tanpa salah

Mereka tak pernah mengerti yang terluka
Nasib derita pengelana kampung kelahiran
Bertaruh nasib di Surabaya
Menenun asa ketinggian derajat
Sembari berharap ada baik di depan mata

Lalu sampai kapan kami harus menunggu?
Jika kata dusta dan jarak menggorok jurang

Surabaya, 25 Juli 2013


Keringat Siang

Pagi belum bisa kutaklukkan
Sebab terbitnya terlanjur dini bagi mata
Nostalgia malam yang terjaga dalam harap
Meski letih bergemuruh
Kubayar tugas keseharian siang hari
Peta jalan ikatan baju-baju dan kaus
Menanam kembali harum esok lalu
Gerak tubuh yang membau

Keringat mengucur dalam panas
Siang benar-benar beringas
Menyantap kulit perih
Kugulung setiap tatapan tangan
Kulahap setiap ingatan kata
Lalu mematri diri dalam ikhlas
Untuk terus menikmati jalan waktu
Semberi tersenyum dengan semangat kemenangan

Surabaya, 19 Juli 2013



Narasi Ramadan

Ramadan lalu sepertinya baru kemarin
Tetapi kini Ramadan datang kembali
Satu tahun terbentang catatan sejarah
Narasi pertemuan Ramadan ke Ramadan

Aku seperti tertunduk malu
Menatap lekat-lekat wajah langit
Kesaksian impian yang selalu kujamah setiap hari
Tetapi kini setahun berlalu
Banyak dusta dibangun di atas api
Membakar segenap imaji dalam diri

Meski begitu waktu tetaplah waktu
Jalan sejarah yang menandai kehidupan
Masih banyak jalan sejarah yang mesti dipetakan
Jalan panjang kehidupan dari narasi kampung kelahiran
Aku masih terus akan berdiri tegak
Menatap langit dengan sejuta bintang, awan, dan matahari
Di sana masih sangat jelas atap-atap masa depan

Meski begitu tempat tetaplah tempat
Kesaksian jalan hidup yang dijumpai
Masih banyak tempat sejarah yang mesti singgahi
Seluas mata memadang dalam lautan lepas
Ada banyak cerita yang mesti terus dibangun
Sebab mata memandang dunia begitu luas
Di sana masih sangat jelas ruang-ruang masa depan

Jelajah waktu dan tempat
Adalah kehidupan yang nyata
Lebih nyata dari seribu narasi yang diceritakan
Karena yang ada terus mencipta dari ruang dan waktu berbeda

Surabaya, 10 Juli 2013

-----------
Masduri, penggagas Laskar Ambisius (LA) IAIN Sunan Ampel Surabaya. Lahir di Jadung, Dungkek, Sumenep, Madura. Tulisannya tersebar di berbagai media lokal dan nasional. Puisinya Kalau Mereka terpilih sebagai juara I dalam lomba cipta puisi yang diadakan oleh Anjangsana Komunitas Srambi Sastra (AKSS) Ciputat (2012). Menulis antologi puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (2010), Dialog Tanean Lanjeng (2012), dan Presiden untuk Presidenku (2012).


Lampung Post, Minggu, 15 September 2013

Sunday, September 8, 2013

Sajak–Sajak Sunardi K.S.

Kita Temukan Keindahan

ketika angin menghempas tirai jendela
di sana kita saksikan tarian
mulai menerobos kamarmu
atas nama keindahan
di sana kita temukan kenyamanan yang mulai terasakan

ranting-ranting yang hampir kering tumbuh tunas
ketika angin menghempas
mempertegas indahnya tarian
di sana masih kita temukan sebenarnya keindahan

ketika angin masih bisa kita rasakan
apalagi yang perlu kita ragukan
tak perlu ada kecemasan
sebab angin yang mengajari keculasan masih menyapa


                                           
Yang Sering Kita Anggap Sepele

yang sering kita anggap sepele
tumbuh pohon kemungkinan
berdaun lebat merepotkan
berton-ton beban tersangga sempoyongan

di mana buah
akar cemas pada angin ganas
tumbuh benih kelalaian
di rimbun hutan
betapa akar keruwetan

yang sering kali kita anggap sepele
mari kita ambil umpama tempe
ternyata betapa sulit sebenarnya
mempererat kedelai demi kedelai

yang seringkali kita anggap sepele
dari piaraan cinta dewasa
kita seringkali salah duga
menjadi duka merata


                   
Kita Seringkali Sembunyi

ketika siang ke mana sesungguhnya bintang-bintang
pikiranku tak bisa menjangkau terbang
mengapa malu pada terang
cahaya matahari seringkali ditakuti
kita pun seringkali sembunyi
tanpa disadari

apakah langit semata milik awan
gampang berganti rupa beriringan
tetapi mendung sesungguhnya lebih menguasai
kita seringkali kerepotan
meski pun hujan belum tiba
ke mana kita
bisa tertunda

ketika siang ke mana pula sesungguhnya bulan
yang seringkali menjadi dambaan
terhadap matahari
kita seringkali sembunyi
tanpa disadari

         

       
Petasan

yang gampang meledak seringkali disukai
petasan itu contohnya
meski pun yang semula indah
tak akan bisa kembali disatukan

dan orang-orang menyulut petasan
segera meninggalkan
menyelinap di antara kerumunan

gelegar petasan
apakah kesenangan atau kebanggaan
karena orang-orang terkejut
dengan wajah-wajah kecut

yang gampang meledak seringkali digemari
suara-suara itu melambung ke udara
menyulut angkara

              
----------
Sunardi K.S., lahir di Jepara, menulis berbahasa Indonesia dan Jawa di berbagai media cetak. Antologi puisi berbahasa Jawa tunggalnya berjudul Wegah Dadi Semar 2012.


Lampung Post, Minggu, 8 September 2013

Sunday, September 1, 2013

Sajak-sajak Tarpin A. Nasri

Dengan Niat yang Tebu

Dengan niat yang tebu dan tekad yang mawar
Aku ingin mencintai dan menyayangimu
Seperti cinta dan sayangnya Adam kepada Hawa
Yang rela, tak takut dan tak ragu meski harus lengser dari sorga
Dan kemudian menjadi penduduk bumi yang melahirkan kita...

Bratasena Adiwarna, 2012—Brajaselebah, 2013


Untuk Menandai Hari Ibu

Untuk Menandai Hari Ibu melihat apa yang telah engkau
Lakukan untuk hidup, serta untuk pekerjaan dan masa depanku
Maka tekadku adalah membuatmu terukir mawar di mataku
Terpahat melati di pikiranku, bersemayam tebu di hatiku
Berdetak mantap di jantungku, menyatu kental di nyawaku
Dan mengalun pasti di napasku, Bunda...

Bratasena Adiwarna, 2012—Brajaselebah, 2013



Telah Kutulis Puisi Untukmu

Telah kutulis puisi untukmu dari lubuk samudera hatiku yang terdalam
Semoga dirimu tak mabuk setelah menikmati kelezatan dan kegurihannya
Karena itu sungguh bukan puisi anggur merah yang membuat pikiranmu oleng
Harapanku semoga engkau mampu membongkar kunci pintu dan jendela hatiku
Karena aku ingin menyemaikan cintaku yang melati atas seizinmu, Dinda...

Bratasena Adiwarna, 2012—Brajaselebah, 2013   


Berulang Kali Engkau Hadir

Berulang Kali engkau hadir dalam mimpiku
Sehingga tidurku menjadi sangat tebu
dan begitu bangun senyumku pun diserbu lebah
Pertanyaan anggurnya adalah: apakah ini petunjuk melati
bimbingan mawar atau arahan langit dari-Nya agar aku mencintaimu
dengan kapur, serta mengasihimu seperti kesetiaan ombak kepada pantai

Bratasena Adiwarna, 2012—Brajaselebah, 2013


Sajak Sejak Kukenal Dirimu

Sejak kukenal dirimu, namamu langsung kupahat di benakku
Lalu ku ukir niat mawar di hatiku yang paling melati

Maka engkau pun kemudian mengaorta di sungai darahku
Serta berlayar di lautan napas dan samudera nyawaku
Dan itu indah mantap terjadi setelah engkau menggedor jantungku
dengan senyummu yang sangat tebu

Sekarang hanya dirimu yang bertakhta di mata beningku
Bagaimana dengan diriku dalam tarian hidupmu, Dinda?

Bratasena Adiwarna, 2012—Brajaselebah, 2013


Telah Kusediakan Tempat Khusus Untukmu

Telah Kusediakan tempat khusus dan istimewa di ruang hatiku
Dengan disertai kebersihan mawar dan keharuman melati
Silakan jika engkau ingin menabur cinta, kasih, sayang, dan rindu di sana

Telah kuizinkan pula napas dan jantungku
Jika engkau ingin mengalun, berpacu, dan berdetak di sana

Dan telah kubiarkan dengan tulus jika napas dan nyawaku disusupi
Oleh hidup dan masa depanmu jika engkau percaya aku bisa jadi imammu...

Bratasena Adiwarna, 2012—Brajaselebah, 2013


Telah Kupahat dan Kuukir Namamu

Telah Kupahat dan kuukir namamu di hati dan di benakku
Telah kualirkan cintamu di darahku, telah kupompa sayangmu
Di detak jantungku, telah kulayarkan kasihmu di napasku
Telah kusemai rindumu di nyawaku, dan telah kujadikan kesetiaanmu
Sebagai segalanya. Kuharap engkau tahu semua itu, Dinda...

Bratasena Adiwarna, 2012—Brajaselebah, 2013


Sajak Tempatmu di Hatiku

Adalah tempatmu di hatiku, di jantungku, di pikiranku
Di mataku, di darahku, di napasku, di nyawaku
Dan kupastikan semua itu tak bisa digantikan oleh siapa pun!
Jika kemudian kita berpisah karena maut
Aku sudah berdoa amat mawar kepada Tuhan: aku tidak
Minta bidadari dari sorga, karena aku ingin
Tetap dipersatukan kembali denganmu, Dinda...

Bratasena Adiwarna, 2012—Brajaselebah, 2013


------------
Tarpin A. Nasri, lahir di Subang, Jawa Barat, 10 Desember 1967. Saat ini bekerja sebagai head of corporate communications tambak udang modern terpadu ramah lingkungan PT Central Pertiwi Bahari, Lampung. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di berbagai media.


Lampung Post, Minggu, 1 September 2013



Sunday, August 25, 2013

Sajak-sajak Dodi Saputra

Nyanyian Paruh

Tepat di rindang kanopi
Bersahutan rimbun pagi
Paruh acap kali melengking tinggi
Merayap pada embun sekejap
Hingga resonansi tulang sanggurdi
Sungguh hati terlanjur mati.

Ulak Karang, 2013


Bukan Aku


Bukan aku ingin dipuji
Bukan pula tinggi hati
Namun angin terus berlari
Memasuki rumah-rumah
Tanpa pintu dan jendela kayu

Ulak Karang, 2013



Malam Terakhir

Rintik dan gemercik menggelitik
Memudar setiba deru sang guru
Jabatan, pelukan hangat itu
Menyeru kaki-kaki bisu
Jalan berpeluh terlalu jauh
Sungguh,
Hingga persuaan terbarukan
Pada pucuk ranum berdaun jarum
Menepis sinaran penguasa siang
Tersenyum garang.

Ulak Karang, 2013


Meniti Bilah Bambu

Pada ujung senja tanah ini
Kerumunan paruh merapat jauh
Lekuk-lekuk lemah sepanjang galah
Menenggelamkan jejak-jejak safah
Lihatlah!
Mereka tengah meniti bilah bambu
Halus bersama semilir angin sendu.

Gunung Pangilun, 2013


Sungai Lepas

Seberangilah sungai-sungai itu
Merintis jalan pintas meretas
Batas-batas penantian
Gelap-gelap mata melepas
Kapal-kapal karam tercengkeram.

Gunung Pangilun, 2013




Aku


Aku Ingin melangkah dari rumah-rumah tak sudah
Sungguh kuresah
Termakan suguhan basah
Padahal dari penghamba Tuhan
Bukan pula penguasa hutan,
Negeri penganut awan dan bangsa hujan

Jati, 2013


Infus

Tetes demi tetes penghidupan
Membasuh selang berdenyut pelan
Menusuk kulit-kulit malu
Wajar,
Wajah itu semakin pudar

Kerumunan mata dan mulut-mulut menganga
Sempatkan hidung menikmati
Setabung tersisa dan jari-jari hijau pucat
Sesekali cekikan jakun
Menatap langit-langit pekat berkelebat

Jati, 2013


------------
Dodi Saputra, lahir di Mahakarya, Pasaman Barat, Sumatera Barat,25 September 1990.


Lampung Post, Minggu, 25 Agustus 2013

Sunday, August 18, 2013

Sajak-Sajak Riza Multazam Luthfy

Gergaji

mata lengkung perut gunung
sayat kemaluan hingga apung

punggung pipih lidah nyermimih
lahap keberanian berderap lirih

dari rangka ini
kalian mafhum sudi
mana harga diri
mana waktu akut
menjaring selusin maut

Yogyakarta, 2013


Piring

tidak selamanya gebok nikmat
menyumpal lambung paling rentan
takkan selalu garam, cabai, tomat
menggiring riuh gaduh meja makan

sesekali perlu kami iris-iris usus kalian
ujung jantung kami luluhlantakkan

santet negeri seberang
sihir bebuyut para danyang
siap melesat penuh garang

Yogyakarta, 2013


Garpu

ke arah liat betis kami
lapar mereka tekun mengintai

pada ulet jari-jari kami
menggantung ribu payung mimpi

padahal di sekeranjang malam
di segantang remang
akan kami saji-hidangkan
duri lembut pagut kelezatan
ke relung paling tenggorokan

jika nyawa tertelan regang
oh, maafkan, maafkan
kami hanyalah mambang
terusir dari lembah keinsafan

Yogyakarta, 2013


Gelas

silakan rendam dengan air
kaki hingga leherku
yang hidmat kikir

moga racun kerontang menyusut
terurai lambung cacing perut
supaya subur senantiasa tumbuh
berkecambah di liang tubuh

tapi, butuhlah waspada
pada gerhana berbiji celaka
cuil kaca bersigap melumat
tiap mulut yang menganga

Yogyakarta, 2013


---------
Riza Multazam Luthfy, sastrawan, cerpennya tergabung dalam antologi Negeri Sejuta Fantasi (2012). Ia adalah ahlul ma’had Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang. Sedang melanjutkan studi di program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.


Lampung Post, Minggu, 18 Agustus 2013

Sunday, August 4, 2013

Sajak-sajak Isbedy Stiawan Z.S.

Menunggu
akan patah tiang-tiang listrik ini
tapi kujaga tubuhmu agar tetap benderang
karena lampu itu ada pada matamu, sayang

kalau jalan-jalan tak memberimu pulang, sayang
akan kubuat garis hanya ke haribaanku
talang ini telah menunggu mata air
yang kutimba dari kata-katamu:

--menyejukkan--

jika kau masih bertahan di situ, sayang
akan kukirim mantra agar kau tahu
ke mana kau lelap:

ke diriku di tepi ranjang
kau akan langkahi bayang-bayang

20 Juli 2013


Berumah di Tubuhmu

kaukira aku tak tahu
segala kerjamu di belakangku
sementara aku di dalam kakimu
menjadi benderang bagi matamu
di pucuk telunjuk saat kau menunjuk
di kedua bibirmu untuk menyejukkan
saat kau mencium

: aku telah lama berumah
di lahan tubuhmu!

17 Juli 2013


Grafitti

di setiap wajah yang kautemui, kau buat abadi
dengan sebaris kata-kata; seperti selalu
kubaca nama-nama dan lambang hati
di pucuk bukit rahma

apakah kata-katamu kemudian jadi saksi
bikin patung-patung lelaki
menunggu para perempuan di taman
dan menembaki hingga mati?

kata-katamu kini selalu kubaca
di setiap dinding lelaki—segaris kalimatmu
juga kueja di setiap tubuh perempuan—
seperti grafitti di dinding alam

tak terbaca pada masa silam...

di kamar-kamar yang terkunci
namamu dan lambang hati
penuh dan berdarah

: lukamukah?

16.07.2013



Segala Kenangan

segala kenangan akan pupus
seperti ciuman yang putus
tapi inginku padamu bagai
gelombang tak pernah
henti walau tiba di pantai

dan selalu pulang ke laut sambil melambai

inginku padamu tak pernah padam
seperti malam merindukan terang
Kekasih, aku ingin menciumMu
tanpa putus-putus!

*Masjid Nurul Ulum IC Rajabasa Raya, Bandar Lampung 15/7/2013


Pagi Ini, Tentang Ceritamu

"akulah pangeran," kata lelaki itu

tetapi ia lupa di kepalanya tak ada
lagi mahkota, juga kursi singgasana
telah lama patah;

seorang perempuan mengabarkan,
cerita tentang kisah pangeran
yang mati di tangan pembantunya
dalam sebuah kudeta

begitu fasih perempuan itu mengisahkan;
teringat banyak sekali para lelaki
tersungkur oleh bibir perempuan

sebuah cerita ditulis lalu didendangkan
sebuah kisah diceritakan untuk didengarkan

tapi, adakah pembunuhan
oleh bibir perempuan?

pagi ini, tentang ceritamu
masuk ke hatiku
--begitu cinta aku padamu--

13 Juli 2013

______________
Isbedy Stiawan Z.S., lahir dan besar di Tanjungkarang (kini Bandar Lampung). Karya-karya puisi, cerpen, esai dimuat di pelbagai media lokal dan nasional. Buku puisinya, antara lain Aku Tandai Tahilalatmu, Lelaki Membawa Matahari, Lukisan Ombak, Kota Cahaya—100 Puisi Pilihan, Anjing Dini Hari, Taman di Bibirmu, Dongeng Adelia, sedangkan kumpulan cerpen seperti Perempuan Sunyi, Dawai tak lagi Berdenting, Bulan Rebah di Meja Diggers, Hanya untuk Satu Nama, Seandainya Kau Jadi Ikan. Selain berkhidmat di Dewan Kesenian Lampung, sehari-hari di Lampung TV.


Lampung Post
, Minggu, 4 Agustus 2013

Sunday, July 28, 2013

Sajak-sajak Fitri Yani

Granula Rindu Suatu Malam

bulan separuh menggantung di langit kota
lelaki negro memandangnya begitu lama
ia merasakan dirinya lebur dalam gelap
persembunyian begitu terjaga
buah-buah malam berputar dan jatuh
berulang-ulang ia melafalkan sebuah doa:
semoga aku kembali

sebuah lagu pembebasan melintas di telinganya
cuaca di dalam dirinya berubah hangat
ia memejamkan mata
ada sentuhan yang masih dirasakannya
tangan lembut seorang teman dalam penjara

sepuluh meter dari tempatnya berdiri
beberapa pekerja pabrik melangkah gontai
tak ada tegur sapa di malam selarut itu
tak ada teman berbagi minuman
sepanjang hari yang berat

di ujung sebuah gang mereka menyebar
membentuk titik-titik hitam  di kejauhan
melintasi sebuah bahasa sederhana:
berilah kami rindu dan jalan untuk pulang

sebuah lagu selamat ulang tahun mengalun
dari sebuah kompleks perumahan
bulan separuh menggantung di balik awan
lelaki negro tertidur di seberang pasar swalayan.

Tanjungkarang, 21 Juli 2013




Potret Musim Panas

musim panas menjadi tua
pohon-pohon kurus, parau dan layu
para perempuan di rumah bordil
berdansa dan menyibak sepi
dari mata yang kering

pagi menghilang dalam rasa kantuk
matahari bersinar begitu lambat
burung-burung layang terbang
di atas atap-atap rumah bata
para lelaki penyendiri memasang wajah bahagia
berkicau-kicau tentang hujan di surga

embun berbulir di jaring laba-laba
lalu lesap tanpa tanda apa-apa
sementara di depan maut
potret cuaca akan tetap ada.

Juli, 2013



Catatan Seorang Aktor

bintang-bintang tidak dekat
langit kian melebarkan kekosongannya
seekor kucing tidur seperti patung
di kursi taman

kami akan latihan lagi
untuk sebuah pertunjukan drama
menghidupi gedung pertunjukan
yang kini seperti lelaki tua yang koma

dingin datang lapis demi lapis
baju hangat kami terasa semakin tipis
lembab seperti subuh hampir habis

kertas-kertas berserakan di lantai putih
nafas kami berpacu
seperti jalinan pertanyaan dan jawaban
kalimat-kalimat mengambang
dibacakan berulang-ulang

kami ingin membentuk sebuah dunia
hidup dan mati di dalamnya
agar perut-perut kosong kami
berjarak dengan kenyataan
agar suara-suara di kepala kami
selaras dengan keyakinan

teriakan-teriakan tak terdengar
di telinga yang pura-pura sibuk
membangun dialognya sendiri
kalimat-kalimat kosong
yang mereka namai meditasi

lampu-lampu menyala
udara di luar bertiup dingin
baju hangat terasa semakin tipis
percakapan-percakapan kami
mengendap di dingin bulan Juli.


21 Juli 2013


Insomnia
malam hanya sepotong kertas karbon
hitam ditembusi cahaya
lubang demi lubang seperti lentera
di balik tirai

di bawah mata bintang dan bulan
mataku tak bisa terpejam
terjaga dari segala arah
gambar-gambar berjalinan dalam sebuah peristiwa
berulang-ulang
seperti sebuah adegan film picisan
merekat dalam bingkai ingatan

kenangan saling berdesakan
di wajah dinding muram
masa depan bermunculan
sebagai gambar yang ragu

aku kebal pada semua jenis obat tidur
kebosanan kian menyala berlarut-larut
setiap gerakan seakan melarikan diri
dari ruang satu menuju ruang lain

sepanjang malam
terdengar gesekan biola dari tetangga
merayap dengan kicauan nada menyedihkan

semua orang terjaga dan lampu-lampu menyala
semua orang bekerja dalam pengulangan belaka
menaik-turunkan celana memilih-milih busana
orang-orang bermata rabun dan kosong
mengganti topeng seakan waktu selalu menipu

di kamar ini aku seakan ingin dicuci otak.

Juli, 2013


-----------
Fitri Yani, lahir 28 Februari 1986. Alumnus FKIP Universitas Lampung. Puisi-puisinya tersiar di berbagai media cetak dan antologi. Diundang pada Pertemuan Penyair Nusantara V dan VI, Ubud Writers and Readers Festival (2011), Temu Sastrawan Indonesia IV (2011), dan Festival Puisi dan Lagu Rakyat Antar Bangsa Pangkor, Malaysia (2012). Buku puisinya Dermaga Tak Bernama (2010).


Lampung Post, Minggu, 28 Juli 2013

Sunday, July 21, 2013

Sajak-sajak Abdul Wachid B.S.

Menjelang Subuh Itu
- Ustad Jefri al-Buchori


terakhir dia tersujud mencium akar
terhadir dia kembali kepada sumber
tidak lagi dari sumur dia bersuci
tetapi menapaki pelangi dia mendaki

pada akhirnya
di akar kelapa itu
kembali ke dalam tanah
berumah di dalam tanah

sampai mengerti arti lemah
justru dia melangkahi tangga-
tangga dunia dengan gagah
menuju khotbah sejatinya

Jumat, 26 April 2013


Bertandang Ke Kali Bening
     Banyumas lama
Aku terkagum dengan tanah yang meninggi
Tempat bersemayam Pendeta Dorna
Tetapi justru itu Syekh ar-Rumi bersemedi
Sehingga batu-batu mengucurkan mata air cinta

Mengalirlah menjadi Kali Bening
Betapa bahwa orang-orang yang suka bertapa itu
Terkesima menyaksikanmu tanpa ragu
Bertapa pula di pertapaan Sang Dorna yang

Manusia datang manusia mati
Tetapi bagi Batu Kiblatmu semua arah berserah
Manusia datang manusia mati
Hanyalah menjawab tanya gelisah

Sujudkanlah di Batu Pasujudan itu
Seperti Sunan Giri dan Sunan Kalijaga yang
Juga mendoakanmu setelah sujud-sujudmu yang lalu
Seperti orang-orang yang meniru lelaku, sayang

Tidak sampai kepada arti apalagi makna cinta
Belum lagi aku merasai kehadiran
Tersengat hidungku oleh bauan dupa
Terkaget aku oleh doa-doa yang bercampur Jawa

Dan ketika kuturuti tangga-tangga
Ada cahaya api seperti dilemparkan dari udara
Dan aku tahu ada senjata bermata dua
Satu memberi terang kemana kiblat berhikmat doa

Satunya semoga tidak menjadi senjata makan tuan!
Amin.

Purwokerto, 17 Oktober 2011



Seorang Anak Terlahir dari Rahim Doa
seorang anak terlahir dari rahim doa
matanya satu pejam yang lain membuka
tanpa tangis ketika terbuka mata dunia
lidah kelu sepertinya tidak akan menjadi kata

seorang anak terlahir dari rahim doa
kakeknya menggosok lidahnya dengan
cincin mantra, di setiap adzan menggema
disentuhlah kedua matanya, disalaminya

marhaban bi habibiy
wa qurati 'ainiy
Muhammadan ‘abduhuu
wa rasuluhu

maka, perlahan-lahan dunia membuka
lahan-lahan yang semula tidak sedia kata
pelan-pelan tumbuhlah bahasa
menjadi puisi tanah-tanah mendaki hingga

rumah cahaya

apalah yang dicongkak dengan dagu mendongak
bila bahasa dan pandang mata menegak
semata-mata karena dinafasi oleh doa
sehingga di dalam mimpi dia terbang tinggi, dunia

bisa dipandang ke mana arah
hendak dikepakkan sayap-sayap yang
turun naiknya ketinggian sampai berserah
jarak mampu dilipat hanya dengan, Hyang

di dalam hati ada energi yang
tidak henti-henti memompa menjadi gema
menjadi sampai, kepada tanah kehidupan yang
nyata lebih baik dari hari kemarin

amiin

Yogyakarta, 26 juni 2013


------------
Abdul Wachid B.S., lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Achid alumnus Sastra Indonesia Pascasarjana UGM (Magister Humaniora), jadi dosen-negeri di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.


Lampung Post, Minggu, 21 Juli 2013

Sunday, July 14, 2013

Sajak-sajak F. Moses

Beringharjo*

aku menunggumu di pasar Beringharjo
bersama nostalgia tak lekang
masih kuingat dan kukenang
dalam sehisap kretek tepat di pelipiran "bangjo"

penyair gelisah
sejumlah orang bercakap tentang kemahsyuran dan penyinyiran sebuah kota
musisi jalanan yang belum malas beraksi
juga beberapa pasang kekasih muda yang merencanakan gaun pengantin dan bertukar buku  dan kaset lama

aku menunggumu di Beringharjo
berkhayal dirimu menggenggam sejumput cerita tentang kabut kaliurang dan
pendaman magma kesetiaan merapi

aku menunggumu di Beringharjo
kelak kita jimpit dan menyimpannya rapi-tepat  di saku ingatan

aku menunggumu di Beringharjo
tepat di bawah awan putih berlangit biru
"Langit seperti permukaan agar-agar," kelak kubilang padamu

aku menunggumu di Beringharjo
sebentar kita memilih atau sekadar melihat pakaian serta beberapa pernik
untuk membuat makin malas berpulang

*)Pasar tua di Yogyakarta sejak tahun 1758

                                                      Yogya 210413


Di Sebuah Bordes

akhirnya kita pun menunggu sinyal kedatangan kereta Bogowonto
"rencana besok kita tiba di suatu kota, di mana ingatan bersiap mengoyak-merajam kenangan penuh seluruh," katamu

Harusnya kau di sampingku, bersaksi bagi  derit dan sinyal yang terus memusar-melaju derap  waktu
"Kelak kita tak akan pernah mampu melupakan perjalanan ini," tambahmu lagi, "dan kelak bila kerinduan memanggil, kita pun makin memahami tentang kesembuhan dari menanggung sebuah kenangan

dan kita pun tahu, segala tempuh kita bersama, selagi kau di sampingku; segala ngarai
pun tubir, bukanlah labirin perjalanan ini.Kecuali ingatan, ia adalah kita yang tak akan pernah sanggup untuk saling melupakan

                                                    Jakarta-Yogya, 190413



Jelma

segala puisi bagi kemuliaan
sebagaimana kau dan aku pernah tahu
: kita adalah puisi yang menjadi daging
segala frasa di benakmu
ialah kalimat menjelmaku
: “puisi gembira memang obat paling mujarab
tapi semangat patah mengeringkan tulang                                                      
                                    Bandung, 2013



Hujan di Teras Rumahmu

turun kata-katamu rintik-rintik
kamu bilang titik
aku bilang koma
orang tuamu tanda seru
hati kita tanda kutip
tanpa pernah titik dua
    di luar masih tanda tanya
semoga hujan mendinginkan iman puitika kita
amin
                                    Bandung 2013


------
F. Moses, kelahiran Jakarta, 8 Februari 1979. Menulis puisi dan cerpen. Kadang bikin penelitian sastra. Sedang menyelesaikan cerita anak “Karma Si Gunam”, adaptasi Kutai-Tenggarong untuk diterbitkan. Anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung. Di antara dua kota: Lampung dan Jakarta.


Lampung Post, Minggu, 14 Juli 2013

Sunday, July 7, 2013

Sajak-sajak Tarpin A. Nasri

Sepagi Ini Sudah Diguyur Hujan

Sepagi ini Bumi Centralpertiwi Bahari sudah diguyur hujan
Kakinya yang runcing-tajam menimbris-nimbris mengarsir cakrawala
Dan tambak udang itupun masih dipayungi arakan mendung yang kian menipis

Jika tidak ingat pada kewajiban kerja dan harus mencari nafkah
Tetap di kamar dengan selimut hangat adalah yang kenikmatan yang lezat
Sehingga mimpi tebu yang belum tuntas siapa tahu bisa ditamatkan…

Bratasena Adiwarna, 2012-Braja Selebah, 2013


Sajak Camar yang Berkepak

Wahai camar CAMAR yang berkepak di atas hamparan laut biru tanpa awan
Tak sanggup aku untuk melupakan dia yang di sana
Tapi puisi cinta, sajak kasih, nyanyian sayang dan tarian rinduku
Ada yang meminta dengan air matanya untuk tidak dibagi dengan siapapun
Untuk itu: mari kita lakukan yang terbaik untuk hidup kita
Bukankah begitu yang terindah dan yang tergurih diantara kita
Sehingga tidak ada yang menarikan belati di hati masing-masing, Dinda?

Bratasena Adiwarna, 2012- Braja Selebah, 2013



Sajak Aku Ingin Mencintaimu

Aku ingin mencintaimu dengan seluruh kesucian mawar
Seperti cinta kumbang yang tak pernah mendustai manisnya madu
Tapi masalahnya adalah: aku sudah punya dermaga
tanpa kabut dan tanpa badai untuk kasih, sayang dan rinduku
Maka bagiku yang tercantik dan terindah adalah cukup mengenalmu

Bratasena Adiwarna, 2012-Braja Selebah, 2013



Di Bumi Bratasena Hujan Masih Terus Berguguran

Di Bumi Centralpertiwi Bahari sampai lewat tengah hari
butit-butir bening yang berguguran belum juga ada tanda-tanda untuk berhenti
Karena hari ini adalah hari Sabtu masuk kamar dan tidur adalah pilihan yang terbaik
: Semoga engkau hadir dalam tidur siangku dengan sejuta tebu yang anggur
Sehingga tidurku kembali berselimut dan bermandikan kemesraanmu, Dinda…

Bratasena Adiwarna, 2012- Braja Selebah, 2013


Sejuta Tanya Berhamburan

Kekasihku, lebih dari sejuta tanya berhamburan dari kepalaku menuju-Mu
Ada satu tanya tebu yang menggodaku amat mawar
: apakah bidadari-Mu itu memang harus kucintai?
Sedangkan kasih, sayang dan rinduku sudah punya pelabuhan yang syah
Yang dibangun dengan syahadat, mas-kawin dan saksi-saksi

Kekasihku…kuharap ini adalah murni tarian yang menggoda
Dan aku mohon kepada-Mu agar aku bisa membentenginya
dengan perisai kehormatan dan dengan tameng kesetiaan
yang tidak mudah tunduk dan terkoyak oleh guguran kristal air mata…

Bratasena Adiwarna, 2012- Braja Selebah, 2013


Sajak Mungkinkah Terjadi
Kuingin mencintaimu seperti cintanya semut kepada gula
Kuingin menyayangimu seperti sayangnya raga kepada jiwa
Kuingin mengasihimu seperti kasihnya ombak kepada pantai
Kuingin merindukanmu seperti rindunya kemarau kepada hujan
Kuingin bersamamu seperti bersamanya kumbang dengan madu
Tapi mungkinkah semua ini terjadi, Dinda? Mengingat antara
engkau dan aku tidak hanya terhalang status—tapi kita juga berbeda kiblat

Bratasena Adiwarna, 2012-Braja Selebah, 2013


--------
Tarpin A. Nasri, lahir di Subang, Jawa Barat, 10 Desember 1967. Kini bekerja di Divis Corporate Communication PT.Centralproteina Prima dan ditempatkan di PT.Centralpertiwi Bahari, Lampung. Selain  gemar menulis sajak, pencandu karya sastra yang kini berdomisili di Braja Selebah, Lampung Timur, juga doyan menulis cerpen, novelet dan novel. Tulisannya banyak dipublikasakan di berbagai media.


Lampung Post, Minggu, 7 Juli 2013

Sunday, June 30, 2013

Sajak-sajak Ahmad Yulden Erwin

Amsal Keluarga Bahagia

Aku menunggumu, adikku, di tepian rawa itu
Lelehan waktu pada kalender, detik-detik biru
Tumbuh di lipatan awan, kau tak hadir di situ.

Kakakku mujair, ah, kadang suka melompat
Tiba-tiba, sebuah sirkus natural, lebih cepat
Mengejar kilau sisik ungu hingga kecipak air.

Datukku selalu mengalir, meski tanpa gerak
Seperti pertapa stroke di puncak Mahameru
Terjaga ia melihat langit di bawah tumitnya.

Ibuku elang raja terbang di bawah lebat hujan
Sekilat cahaya syamsi menukik ke sungai tawa
Ah, ia sambar tubuh kakakku dengan cakarnya.

Lebih lengang tinimbang malam itulah keluarga
Bintang kejora, di kening langit, menelan bulan
Di tebing selatan: hatiku matang ditanak cuaca!

Bapakku sehelai rambut kini terhidang di meja
Makan, seharian bekerja akhirnya cuma semaput
Di usus lima ekor anaknya: keluarga yang bahagia.



Hidup Normal

Efisien dan kukuh
bagai cangkang kerang,
Dari atap gedung lantai
sepuluh, segalanya
tampak bagai mosaik
dan meluas, sebelum runtuh.

Bolak-balik mengejar
mandi, memeras cangkir
di ember cucian, mimpi
tercuci di selokan, tanpa air.

Tahan dalam tekanan,
Tanpa keluh, seperti
seorang pelari jarak jauh
melintasi sepinggan tulang ikan.

Hidup mulai normal kembali
pagi ini, perjanjian kerja
telah direvisi, seperti biasa,
Molotov dan pentungan polisi.

‘Ketatkan lambung anda,
Bandara siap mendarat
di pesawat kenaikan harga.’

Ujung sepatu kirimu
terlepas solnya — pintu
menganga — dan tertawa.



Keluar
Keluar! Hidung perlu udara segar
Menghirup harum hening padang
Cahaya, di ranum puting semesta
Lidah mesti menyesap embun pagi
Berkilau selengkung mata capung
Lesap ke hijau rimbun dedaun turi
Telinga perlu menangkap kicau 
Kenari, di pucuk ranting pelangi
Bagai mata bajing lapar, lihatlah
Keningmu kini bergetar menyulur
Ke ladang-ladang hati bagai napas
Bagai akar bagai tunas bagai awan
Gelisah tenang utuh ragu percaya
Jatuh bangun sebagai tanda sebagai
Makna sebagai hantu sebagai kisah
Sebagai madu di lidah pahit cuaca
Keluar! Penari! Keluar! Lihatlah:
Lututmu meluas menjelma semesta.



Robot

Robot bunga matahari itu bersinar
Di tengah padang kata-kata. Larva
Kuning membentangkan sayapnya,

Meringkik kepada cahaya. Penyair
Hitam menjemput gelap ke dalam
Pelupuk matanya. Robot kumbang

Hinggap di petal padma. Jemarimu
Mulai bersinar seperti lampu sorot
Mengejek kerling satori bodhisatwa

Usai menatap bintang fajar. Pikiran
Gelisah berputar bagai roda karma;
Kerut keningmu berdenyut lembut,

Semesta seringan bulu. 30 abad lalu
Melingkar dalam jejaring ketiadaan,
Lelaki begini belum mampu melihat

Dusta dharma di depan biji matanya;
Kini kucipta tulpa robot bermata biru
Agar dapat kaulihat semesta mimpiku.



Tiga Kilasan Gaya John Kuan

1.
Ini bukan soal tiga pon jerami, barangkali
Cuma cahaya tiga lampion, atau mirip senyum
Peramal Tao dengan sebotol arak di bahunya
Lalu pergi: jalan itu, kerikil itu – ia melangkah
Lurus, pelan – sesekali bayangnya bisa menoleh

2.
Tiga koi merah bersisik perak di kepala
Berkilat di kolam dekat kuil; jembatan itu lama
Ditinggalkan – hanya sesekali gema genta
Dicuil jadi sarapan bangau lukisan – mereka
Sebut itu gugus awan: jembatan Joshu yang lain

3.
Koko telanjang dada di bawah bulan petik
Kecapi – sebelum lubang cacing putih memilin
Ujung telunjuk Juzhi pada touchscreen – mungkin
Kita pas berpisah frekwensi di ruang yang sama
Begini saja mestinya sudah cukup jadi jalan pulang


-----------
Ahmad Yulden Erwin, lahir di Tanjungkarang. Beberapa puisinya  diterbitkan di berbagai media massa, juga dalam beberapa antologi puisi bersama di antaranya: Memetik Puisi Dari Udara (1987), Jung (1994), Daun-Daun Jatuh Tunas-Tunas Tumbuh (1995), Festival Januari (1996), Refleksi Setengah Abad Indonesia (1995), Dari Huma Lada (1996), Mimbar Penyair Abad 21 (1997), dan Cetik (1999).


Lampung Post, Minggu, 30 Juni 2013