Sunyi Batu
tak ada bahasa mungkin yang berdiam
di kepalamu. hampa bertambah ragu.
pelupuk matamu hanya dapat membuang
waktu. dan hari-hari beranjak begitu saja
tanpa mau tahu bahwa kau memendam pilu.
digerak tubuhmu sepertinya hanya angin
yang tahu. berderu desas-desus teguk ngilu.
memendam di dinding sanubarimu. kau
menjadi gagu menerawang semua itu. di
batas-batas detik jam bagai rambu-rambu
yang mencekat hidupmu.
(telukbelitung, agustus 2013)
Wajah di Sebuah Teluk
akan kukabarkan sebuah puisi pada raut wajahmu.
dengan menitik-nitik melodi rancu, kita masih
berdiri di hamparan teluk yang membisu.
di wajahmu tersimpan sudi untuk dapat kami
melangkahkan kaki. tak ada kata biar, walau
musim beranjak pergi.
di sebuah teluk yang tak henti disapu angin.
kami menapak dengan tingkah yang berpacu
melewati mimpi.
segala sesuatu yang mungkin datang, selalu
jauh kami membuang. menelikung, menjulang
kata untuk membuang arti-arti lain di teluk itu.
(telukbelitung, agustus 2013)
Ruang Singgah
hanya tipis dinding seperti kulitmu, kami melepas
beban kata yang tercekik di medan laga. hanya sunyi
menganga, bagai lubang gelap pada tubuhmu, mungkin
kau anggap bekas luka yang selalu menyimpan bau
mesiu dari mulutnya.
ke ruang singgah, hanya kuncup sunyi memekakkan
telinga. daur ulang hidup seolah menjadi siklus bagi
tawaran hidup yang sempat menjengah bahwa kau
belum lepas dari ikatan jejak hidup.
pada ruang singgah bergelut kisah membuncah.
lihatlah pada sisi dindingnya. raut curam luruh
mengeram bau peluh. pada plafonnya, ringkih
ruas tulang mengaduh menyesak menggasak gaduh.
pada pintu depannya, menjerit mengabarkan luka
menganga. membanting rongga-rongga dada
pada alur hidupnya.
(telukbelitung, agustus 2013)
Sulaman
aku ingin menyulam kata-kata di atas tubuhmu.
dicampur pernik warna-warni kehidupan agar
tidak lagi bosan atas manisan yang itu-itu saja.
sebab gaung mulutmu tidak membuat ngilu getir
tubuhku yang gagu.
sulaman kata-kata itu hanya mampu berdenyut
disela sisa-sisa waktu, menjelang sore, atau
seperempat siang diterik asing yang tak pernah
kita lakukan. semua hanya menjadi kenangan
dan rutinitas hidup atau sebatas memori yang
hangat diam-diam belum sempat terpukau.
(telukbelitung, agustus 2013)
Melodi Malam
betapa angin berayun pelan-pelan. menelusuri
dinding-dinding pikir kita. ada hal-hal telah
terpuruk untuk coba kau meraba, namun lekang
entah ke mana.
pelan-pelan ada ucap merayap ke kupingmu.
memcoba membuat ucap pada hari-hari yang
menurutmu sembilu. runtut ujung jari, pagut
bibir mungil menari. lalu hanya sedikit mata
mencuri dari ruang yang terkunci.
sampai pengujung melodi malam semua terdedah
kebanyak wadah tumpah. meraba demi seinci arti
bahwa kita masih saja tertengadah dari ungkap
keluh-kesah yang tak sudah-sudah.
(telukbelitung, agustus 2013)
------------
Riki Utomi, lahir di Pekanbaru, 19 Mei 1984. Kini bergiat di Komunitas Rumahsunyi. Tinggal di Selatpanjang, Riau.
Lampung Post, Minggu, 20 Oktober 2013
tak ada bahasa mungkin yang berdiam
di kepalamu. hampa bertambah ragu.
pelupuk matamu hanya dapat membuang
waktu. dan hari-hari beranjak begitu saja
tanpa mau tahu bahwa kau memendam pilu.
digerak tubuhmu sepertinya hanya angin
yang tahu. berderu desas-desus teguk ngilu.
memendam di dinding sanubarimu. kau
menjadi gagu menerawang semua itu. di
batas-batas detik jam bagai rambu-rambu
yang mencekat hidupmu.
(telukbelitung, agustus 2013)
Wajah di Sebuah Teluk
akan kukabarkan sebuah puisi pada raut wajahmu.
dengan menitik-nitik melodi rancu, kita masih
berdiri di hamparan teluk yang membisu.
di wajahmu tersimpan sudi untuk dapat kami
melangkahkan kaki. tak ada kata biar, walau
musim beranjak pergi.
di sebuah teluk yang tak henti disapu angin.
kami menapak dengan tingkah yang berpacu
melewati mimpi.
segala sesuatu yang mungkin datang, selalu
jauh kami membuang. menelikung, menjulang
kata untuk membuang arti-arti lain di teluk itu.
(telukbelitung, agustus 2013)
Ruang Singgah
hanya tipis dinding seperti kulitmu, kami melepas
beban kata yang tercekik di medan laga. hanya sunyi
menganga, bagai lubang gelap pada tubuhmu, mungkin
kau anggap bekas luka yang selalu menyimpan bau
mesiu dari mulutnya.
ke ruang singgah, hanya kuncup sunyi memekakkan
telinga. daur ulang hidup seolah menjadi siklus bagi
tawaran hidup yang sempat menjengah bahwa kau
belum lepas dari ikatan jejak hidup.
pada ruang singgah bergelut kisah membuncah.
lihatlah pada sisi dindingnya. raut curam luruh
mengeram bau peluh. pada plafonnya, ringkih
ruas tulang mengaduh menyesak menggasak gaduh.
pada pintu depannya, menjerit mengabarkan luka
menganga. membanting rongga-rongga dada
pada alur hidupnya.
(telukbelitung, agustus 2013)
Sulaman
aku ingin menyulam kata-kata di atas tubuhmu.
dicampur pernik warna-warni kehidupan agar
tidak lagi bosan atas manisan yang itu-itu saja.
sebab gaung mulutmu tidak membuat ngilu getir
tubuhku yang gagu.
sulaman kata-kata itu hanya mampu berdenyut
disela sisa-sisa waktu, menjelang sore, atau
seperempat siang diterik asing yang tak pernah
kita lakukan. semua hanya menjadi kenangan
dan rutinitas hidup atau sebatas memori yang
hangat diam-diam belum sempat terpukau.
(telukbelitung, agustus 2013)
Melodi Malam
betapa angin berayun pelan-pelan. menelusuri
dinding-dinding pikir kita. ada hal-hal telah
terpuruk untuk coba kau meraba, namun lekang
entah ke mana.
pelan-pelan ada ucap merayap ke kupingmu.
memcoba membuat ucap pada hari-hari yang
menurutmu sembilu. runtut ujung jari, pagut
bibir mungil menari. lalu hanya sedikit mata
mencuri dari ruang yang terkunci.
sampai pengujung melodi malam semua terdedah
kebanyak wadah tumpah. meraba demi seinci arti
bahwa kita masih saja tertengadah dari ungkap
keluh-kesah yang tak sudah-sudah.
(telukbelitung, agustus 2013)
------------
Riki Utomi, lahir di Pekanbaru, 19 Mei 1984. Kini bergiat di Komunitas Rumahsunyi. Tinggal di Selatpanjang, Riau.
Lampung Post, Minggu, 20 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment