Sunday, December 28, 2014

Sajak-sajak Laela Awalia

Selama Hujan Datang
Aku selalu membiarkan jendela terbuka ketika hujan
; angin
karena anginnya membawa aroma kerinduan
; juga bau hujan
ia selalu saja menggoda seperti perempuan
; kemudian suara gemericiknya
hampir-hampir membuat aku lupa dimana aku berpijak

seperti malam ini,
perempuan yang kunamakan hujan
datang tanpa mengetuk pintu depan
wajahnya seperti kemarin malam
tak tampak mata
hanya senyum
sepenuh wajah sepenuh senyum

tiba-tiba ia bilang;
    aku akan tinggal disini malam ini. angin sedang sibuk mengantar dendam
pada seseorang. aku takut pulang sendirian. apa kau punya tempayan?

aku hanya punya sebuah kolam
tak terlalu besar memang
tapi kurasa cukup untuk sekedar membuatmu rehat sebentar
di samping kamar, di bawah jendela yang beratap teritisan
kau bisa bermain bersama ikan-ikan
juga berhelai-helai daun durian yang berguguran –aku belum sempat bersihkan, maaf-

tak tampak mata
hanya senyum
sepenuh wajah sepenuh senyum
perempuan yang kunamakan hujan tersenyum melihat kolam
berlarian mengejar ikan
menari bersama guguran daun durian

ooo

aku selalu membiarkan jendela terbuka ketika hujan
; angin. karena anginnya membawa aroma kerinduan
; lalu bau hujan
; kemudian kolam di bawah teritisan

ooo

sudah berapa lama hujan ini datang?

(aku mendapati diriku menatap jendela yang terbuka selama hujan datang. airnya jatuh memenuhi kolam di samping jendela. ikan-ikan berlarian, terkadang bersembunyi di bawah daun durian yang gugur dan dengan kebetulan atau tidak, jatuh ke kolam. dua hari belum kubersihkan...)

Natar, 18 November 2014



Secangkir Malam

Selamat malam, akasia
secangkir kopi hitam telah kuseduh semenjak senja membingkai dirinya lewat jendela
harusnya kau datang lebih awal
agar kau bisa menikmati sekumpulan asap tipisnya melewati bibir cangkir yang warnanya tak lagi putih itu
bukankah kau suka menatapnya berlama-lama?
kau bilang kau serasa menatap perempuan sedang menari
kau datang terlalu larut, akasia
ada apa?
Ooo

sebenarnya telah aku kabarkan kedatanganku lewat angin yang semilir masuk dalam beranda rumahmu
aku akan terlambat pulang, aleya
sebab tapakku semakin rapuh
sedang perjalanan terus menjauh
kau pun tahu ini musim tak juga turun hujan
hingga debu mengaburkan pandanganku
ah, ini hanya alasan, kau pasti bilang begitu
tapi benar, aleya
ooo

apa kau tak sadar aku telah menunggumu beberapa musim, akasia?
hingga secangkir kopi yang kuseduh sejak senja membingkai dirinya lewat jendela itu tak lagi berasap putih
ia tenang
setenang malam yang pelan-pelan merajut mimpi bersama rembulan
kau datang terlalu larut, akasia
kau selalu punya alasan

Natar, 3 Oktober 2014


-----------------
Laela Awalia, lahir di Natar, Lampung Selatan, 5 April 1986. Puisi dan cerpennya dimuat di beberapa media massa dan antologi bersama. Buku puisinya: <i>Nyanyian Awan dan Hujan<p> (bersama Angga Adhitya Prasojo, 2010).


Lampung Post, Minggu, 28 Desember 2014

Sunday, December 21, 2014

Sajak-sajak Yuli Nugrahani

Ruang Tawang

Kuntum-kuntum awan
meriap dalam peziarahan
dan tarian kaki lipan
menghisap pandangan.
Aku menguburkan kenangan
pada hujan pada dedaunan
pada kerlip masa lalu
pada hasrat bertalu.
Selagu kulepas langkah
sekata kuhempas batas
terpisah dalam pelukan
terurai dalam pemakluman.
Secuil kusimpan
di ukir peraduan
di balik kelambu
di sesak rindu.

Hajimena, September 2014


Di Telapak Tanganmu

Pagi menggenang
beriap mengirim embun tua
tanpa pelupuk mata
lidahku menjangkau surga
mencicip khamar murni berlaksa
dari tubuh terlumat
dari aliran keringat
suaraku menjangkau dunia
sebatas kau berada
dalam hati tersengat
dalam jiwa yang penat.

September, 2014


Jentera 

Aku menyimpan tubuh dalam lipatan jemarimu
terayun bersama mantra bersama dupa
bersama harum jalapa di ujung senja
melesapkan pandang pada mata membelu
tertawan tawa merekah di sayap belalang
ikut bergerak di lengkung ilalang
o, jiwa berkehendak, lepaslah menggalah awan
o, masa berarak, jangkaulah pikiran tua terseduh impian
o, semesta, o, gelenyar, o, sang pencipta surga
tangan tertangkup segala puja
kaki tersimpuh kerinduan
hasrat berkeriap melekatkan nestapa
pada raga tanpa rupa
pada suka tanpa suara
utuh berpeluh
wangi dalam putaran.

2014


Sebuah Jeda

Siang menyerahkan mata
lewat secangkir teh
dalam serpihan hangatnya
dalam riang meleleh
kaki-kaki yang lunglai
menumpang langkah
di antara senyap menderai
di ujung sula di pangkal cula
andai bisa membeli lupa
andai pintu tak pernah terbuka
andai tasnim berhenti bicara
pun tetap akan ada tanda
karena jurai cemara
telah terjangkau dalam bayang
karena tungkai lelara
tetap semarak laksana biang
bagi timbunan kata
bagi sebuah jeda
tak ada yang salah
saat yang tertinggal hanya lelah.

September, 2014


Saat Rawan


menjelma
sore meringkuk di batang sawi
dengan setengah cangkir kopi
tanpa gula, tanpa senda
sembunyi.

September, 2014


---------------
Yuli Nugrahani, lahir tahun 1974, tinggal di Hajimena, Lampung. Aktivis bidang justice and peace. Mulai memublikasikan puisi tahun 2013. Selain puisi, ia juga menulis prosa yang dimuat di berbagai

 

Lampung Post, Minggu, 21 Desember 2014

Sunday, December 14, 2014

Sajak-sajak Fitri Yani

Di Bangku Penumpang

saat langit membiarkan pintunya terbuka
dan fajar melangkah
dengan kaki-kaki yang rapuh
duduklah ia di bangku penumpang
roda-roda berderit di dadanya
ribuan kalimat susun-menyusun di matanya

langit memandang hampa
pohon-pohon memipih di ujung cakrawala
wajah seorang wanita melintas di kepalanya
wajah yang samar dan penuh memar
hingga ingatannya surut ke suatu sore
di lorong gelap
ke seorang lelaki yang mencuri suaranya
tepat tiga hari sebelum ia melihat warna awan
berubah merah
dan darah mengalir dari landai pahanya

kini di bangku penumpang
wajahnya lengang dan berkabut
lepas dari ikatan yang ia namai keluarga
lepas dari tangan-tangan yang membelai
sekaligus mencengkramnya

di bangku penumpang
dengan wajah penuh hujan
ia lafalkan nama-nama masa depan
yang kelak akan tumbuh di rahimnya.

(Tanjungkarang, Agustus 2014)



Kenali1

kami hamparkan bunga-bunga sekala2
dari hutan para moyang
kopi dan lada
rumah dan kebun kami kerap terbakar
tubuh anak-anak kami
dijadikan tumbal
dan pakaian wanita kami
dikoyak-koyak penyamun
kami menarikan tarian sekura3 senantiasa
bagai ulat di dalam buah nangka
bagai ludah merah penyirih tua
agar kalian menyaksikan dari jauh
rumah-rumah panggung
yang kehilangan tangga
ladang-ladang kopi
yang kehilangan tanahnya sendiri.

2014

1 Kenali: nama daerah di Lampung Barat
2 Sekala: tumbuhan hutan yang bunganya menjadi lambang mahkota pengantin perempuan
3 Sekura: pesta adat di bulan Syawal, saat orang-orang mengenakan topeng dari kayu atau kain


Cukuplah Asmara

bila bahumu matahari pukul delapan pagi
pinggangku rumah berkabut di pinggir hutan

bila dadamu badai laut cina selatan
tanganku angin hijau di atas rerumputan

bila punggungmu kota yang hampir mati
bibirku taman yang selalu ingin dikunjungi

bila bayangmu mercusuar malam hari
tubuhku cahaya kapal yang menari-nari

bila harapanmu rumah di ujung tanjung
rinduku bunga magnolia di samping jendela

bila kata-katamu sulur-sulur hujan
kalimatku pelangi yang pecah di atas bebatuan

bila setiamu kabut yang mengambang di danau
jiwaku cahaya yang berdiam dalam jiwamu

bila hasratmu lebur kedalam hasratku
maka asmara telah cukup untuk kita.

(September, 2014)


------------
Fitri Yani, lahir 28 Februari 1986. Berkesenian di Komunitas Berkat Yakin, Lampung. Menulis puisi, prosa, dan naskah drama. Buku puisinya: Dermaga Tak Bernama (2010) dan Suluh (berbahasa Lampung, 2013).



Lampung Post, Minggu, 14 Desember 2014

Sunday, December 7, 2014

Sajak-sajak Dodi Saputra

Gugur Daun
Sesekali sepi tanpa purnama
Paruh-paruh bergelantungan pesawangan
Demikian risalah serupa di rindangan atap rumah
Telah rukun gugur daun, keriput petang melayang
Dalam lamunan pertanda munculnya kunang-kunang
Pengantar tidur tanpa dengkur
Menabur daun-daun menggugur
Untung saja ada kilasan pelita
Jendela sudut kota

Meliuklah sesaat, lelah merayap hawa-hawa tenang
Sampai pula di pipi dan kening kerut
Selebihnya menggambar sketsa bersama rambut
Lekuk-lekuk hidung terpajang penghuni di hamparan batang mahoni
Hai, sesekali sengaja kutinggalkan pendaran pelita untukmu, kanda
Aku ini bertabur gugur daun rindang
Limpapeh rumah gadang.

Sarang Gagak, 2013


 
Tarian Kunang-kunang

Penantian kereta senja kian menjemukan
Setialah rindang memayung perdu dedaun tua
Begitulah masa terus melaju menemani kepulangan
Benih-benih yang tertanam di rahim
Dua puluh masa silam
Wajar,
Sekedar menunggu tautan jerit, ilham dari langit
Datangnya bisa malam ini    
Bahkan menguap bersama embun
Selunak ubun-ubun
Mengendap-endap
Menarilah kunang-kunang, bertebaranlah kawanannya
Datangnya sesaat saja, bersahaja

Hus, nanti ia malu dan jatuh ke tanah
Biarkan ia memungut kabut
Merangkai pelita yang berderai bersama hujan
Aku tetap menggeleng berulang-ulang
Seraya menunduk
Kepulangan itu menyambar kunang-kunang pilu
Surutlah malamku.

Sarang Gagak, 2013


Karangan Bunga
Aku harus belajar memelihara bunga
Musim gugur yang merelakan tangkainya
Ranting tua telah berjalan dua masa
Belah biji turut jatuh setibanya

Luruh
Mahkota bunga lain mendekat
Pagar beruntai sulur mengulur tidur

Aku hendak memelihara bunga
Kepalaku dari pusaran rona merah muda
Berduri tangkainya mengeras bayangnya

Rebah
Menjalar hingga penghujung
Semerbak sedap malam, tiang karam

Aku kini belajar memelihara bunga
Menggembur akar muda dalam-dalam
Menyambung tiang sanggahan batangnya

Aku ingin mencium bunga-bunga dalam karangannya
Memagut kematangannya
Di masa yang berbeda, mewangi bersamanya.

Sarang Gagak, 2013



--------
Dodi Saputra, lahir 25 September 1990 di Desa Mahakarya, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. Saat tengah menyelesaikan studi S-1 di Jurusan Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat. Sajak dan cerpen dimuat di berbagai media dan antologi bersama.


Lampung Post, Minggu, 7 Desember 2014