Di Bangku Penumpang
saat langit membiarkan pintunya terbuka
dan fajar melangkah
dengan kaki-kaki yang rapuh
duduklah ia di bangku penumpang
roda-roda berderit di dadanya
ribuan kalimat susun-menyusun di matanya
langit memandang hampa
pohon-pohon memipih di ujung cakrawala
wajah seorang wanita melintas di kepalanya
wajah yang samar dan penuh memar
hingga ingatannya surut ke suatu sore
di lorong gelap
ke seorang lelaki yang mencuri suaranya
tepat tiga hari sebelum ia melihat warna awan
berubah merah
dan darah mengalir dari landai pahanya
kini di bangku penumpang
wajahnya lengang dan berkabut
lepas dari ikatan yang ia namai keluarga
lepas dari tangan-tangan yang membelai
sekaligus mencengkramnya
di bangku penumpang
dengan wajah penuh hujan
ia lafalkan nama-nama masa depan
yang kelak akan tumbuh di rahimnya.
(Tanjungkarang, Agustus 2014)
Kenali1
kami hamparkan bunga-bunga sekala2
dari hutan para moyang
kopi dan lada
rumah dan kebun kami kerap terbakar
tubuh anak-anak kami
dijadikan tumbal
dan pakaian wanita kami
dikoyak-koyak penyamun
kami menarikan tarian sekura3 senantiasa
bagai ulat di dalam buah nangka
bagai ludah merah penyirih tua
agar kalian menyaksikan dari jauh
rumah-rumah panggung
yang kehilangan tangga
ladang-ladang kopi
yang kehilangan tanahnya sendiri.
2014
1 Kenali: nama daerah di Lampung Barat
2 Sekala: tumbuhan hutan yang bunganya menjadi lambang mahkota pengantin perempuan
3 Sekura: pesta adat di bulan Syawal, saat orang-orang mengenakan topeng dari kayu atau kain
Cukuplah Asmara
bila bahumu matahari pukul delapan pagi
pinggangku rumah berkabut di pinggir hutan
bila dadamu badai laut cina selatan
tanganku angin hijau di atas rerumputan
bila punggungmu kota yang hampir mati
bibirku taman yang selalu ingin dikunjungi
bila bayangmu mercusuar malam hari
tubuhku cahaya kapal yang menari-nari
bila harapanmu rumah di ujung tanjung
rinduku bunga magnolia di samping jendela
bila kata-katamu sulur-sulur hujan
kalimatku pelangi yang pecah di atas bebatuan
bila setiamu kabut yang mengambang di danau
jiwaku cahaya yang berdiam dalam jiwamu
bila hasratmu lebur kedalam hasratku
maka asmara telah cukup untuk kita.
(September, 2014)
------------
Fitri Yani, lahir 28 Februari 1986. Berkesenian di Komunitas Berkat Yakin, Lampung. Menulis puisi, prosa, dan naskah drama. Buku puisinya: Dermaga Tak Bernama (2010) dan Suluh (berbahasa Lampung, 2013).
Lampung Post, Minggu, 14 Desember 2014
saat langit membiarkan pintunya terbuka
dan fajar melangkah
dengan kaki-kaki yang rapuh
duduklah ia di bangku penumpang
roda-roda berderit di dadanya
ribuan kalimat susun-menyusun di matanya
langit memandang hampa
pohon-pohon memipih di ujung cakrawala
wajah seorang wanita melintas di kepalanya
wajah yang samar dan penuh memar
hingga ingatannya surut ke suatu sore
di lorong gelap
ke seorang lelaki yang mencuri suaranya
tepat tiga hari sebelum ia melihat warna awan
berubah merah
dan darah mengalir dari landai pahanya
kini di bangku penumpang
wajahnya lengang dan berkabut
lepas dari ikatan yang ia namai keluarga
lepas dari tangan-tangan yang membelai
sekaligus mencengkramnya
di bangku penumpang
dengan wajah penuh hujan
ia lafalkan nama-nama masa depan
yang kelak akan tumbuh di rahimnya.
(Tanjungkarang, Agustus 2014)
Kenali1
kami hamparkan bunga-bunga sekala2
dari hutan para moyang
kopi dan lada
rumah dan kebun kami kerap terbakar
tubuh anak-anak kami
dijadikan tumbal
dan pakaian wanita kami
dikoyak-koyak penyamun
kami menarikan tarian sekura3 senantiasa
bagai ulat di dalam buah nangka
bagai ludah merah penyirih tua
agar kalian menyaksikan dari jauh
rumah-rumah panggung
yang kehilangan tangga
ladang-ladang kopi
yang kehilangan tanahnya sendiri.
2014
1 Kenali: nama daerah di Lampung Barat
2 Sekala: tumbuhan hutan yang bunganya menjadi lambang mahkota pengantin perempuan
3 Sekura: pesta adat di bulan Syawal, saat orang-orang mengenakan topeng dari kayu atau kain
Cukuplah Asmara
bila bahumu matahari pukul delapan pagi
pinggangku rumah berkabut di pinggir hutan
bila dadamu badai laut cina selatan
tanganku angin hijau di atas rerumputan
bila punggungmu kota yang hampir mati
bibirku taman yang selalu ingin dikunjungi
bila bayangmu mercusuar malam hari
tubuhku cahaya kapal yang menari-nari
bila harapanmu rumah di ujung tanjung
rinduku bunga magnolia di samping jendela
bila kata-katamu sulur-sulur hujan
kalimatku pelangi yang pecah di atas bebatuan
bila setiamu kabut yang mengambang di danau
jiwaku cahaya yang berdiam dalam jiwamu
bila hasratmu lebur kedalam hasratku
maka asmara telah cukup untuk kita.
(September, 2014)
------------
Fitri Yani, lahir 28 Februari 1986. Berkesenian di Komunitas Berkat Yakin, Lampung. Menulis puisi, prosa, dan naskah drama. Buku puisinya: Dermaga Tak Bernama (2010) dan Suluh (berbahasa Lampung, 2013).
Lampung Post, Minggu, 14 Desember 2014
No comments:
Post a Comment