Gema
hanya suaramu dari jauh, jarak yang memisahkan
menggulung ketiadaan, di sini harapan tetap bertiup
meniti kabut di jurang-jurang lembahku, dalam dan redup
mungkin suatu kali; kutemukan juga tempat di mana engkau merakit waktu
membakar daun-daun kering yang menumpuk dalam diri
memamah abu menyuburkan darah dan lambung
"kau lihatkah? aku menandu kehidupan di depan cerminmu!"
hanya sekilas; lantun suaramu membentur dinding malam
gema yang kusadap di gelombang gelap
suatu saat, dua bayangan berbaris mengeja-eja kehidupan
kemarilah! jarak itu semakin dekat
dan daun-daun gugur dihela jari-jari suaramu
ke sebuah negeri yang mungkin tak kau kenal.
Ujung Tanjung, 2013
Jurang
mata burung yang mengapit gunung itu, berpijar di rongga hatiku
angin yang bising, ia serahkan daun-daun gugur ke bumi
"masih adakah tanah lembab di dirimu?" daun jendela musim
tertutup dalam rimba-rimba batu
di sebuah jurang, riwayat itupun mumbul bersama kabut
tentang Anggun Nan Tongga, Cindua Mato; aroma bunga-bunga
semakin jauh mengembara dari tanah negerimu
tapi kearifan, selalu mengurung tanda-tanda
nyala api, asap yang tak menjadi awan, abu yang ditaburkan
membeku di lidah-lidah akar
dan di kaki gunung itu, dibangun panorama, riwayat zaman
mekar tumbuh dalam racun cendawan
mata burung yang mengapit gunung itu, menyala di ruang mataku
di tanah dirimu yang kering, lengking perang, dada dan paha-paha wanita
menempeli setiap sudut hutan gunungmu
"inilah riwayat dan kisah-kisah baru," ujarmu
di sisi lembah, aku mengemas rangka-rangka cerita itu
bersama ribuan burung
dalam jubah waktu, detik-detik tak lagi kuhitung
"ah, aku bingung dengan zamanmu
yang membangun berjuta-juta jurang
dalam dan gersang!"
Ujung Tanjung, 2013
Jalan
seperti ada yang tertinggal, mungkin kau juga merasakan
peristiwa, tanda-tanda dan kearifan berlayar dalam angin
lalu kita menanam peradaban pada sebuah ruang yang terlupakan
dan pohon-pohon itu mengering, tanah tak lagi menyuburkan
inilah negeri kita; segala yang bergerak ke setiap sisi
membangun rumah dalam batin sendiri
jarak terentang dilantun sipongang yang mati
"aku di sini!" ujarmu
"aku di sini!" ujarku
setiap waktu, langit menangisi bumi
saat angin melipat seluruh jalan
yang pernah kita lalui.
Ujung Tanjung, 2013
-------------
Adri Sandra, lahir di Padangjapang, Payakumbuh, 10 Juni 1964. Menulis sejak 1981, prosa dan puisi. Buku puisinya: Luka Pisau (2007) dan Cermin Cembung (2012). Karya-karyanya dimuat di beberapa media massa. Puisi-puisinya terangkum dalam 29 antologi puisi bersama. Pemecah tiga rekor Muri dalam sastra Indonesia.
Lampung Post, Minggu, 24 November 2013
hanya suaramu dari jauh, jarak yang memisahkan
menggulung ketiadaan, di sini harapan tetap bertiup
meniti kabut di jurang-jurang lembahku, dalam dan redup
mungkin suatu kali; kutemukan juga tempat di mana engkau merakit waktu
membakar daun-daun kering yang menumpuk dalam diri
memamah abu menyuburkan darah dan lambung
"kau lihatkah? aku menandu kehidupan di depan cerminmu!"
hanya sekilas; lantun suaramu membentur dinding malam
gema yang kusadap di gelombang gelap
suatu saat, dua bayangan berbaris mengeja-eja kehidupan
kemarilah! jarak itu semakin dekat
dan daun-daun gugur dihela jari-jari suaramu
ke sebuah negeri yang mungkin tak kau kenal.
Ujung Tanjung, 2013
Jurang
mata burung yang mengapit gunung itu, berpijar di rongga hatiku
angin yang bising, ia serahkan daun-daun gugur ke bumi
"masih adakah tanah lembab di dirimu?" daun jendela musim
tertutup dalam rimba-rimba batu
di sebuah jurang, riwayat itupun mumbul bersama kabut
tentang Anggun Nan Tongga, Cindua Mato; aroma bunga-bunga
semakin jauh mengembara dari tanah negerimu
tapi kearifan, selalu mengurung tanda-tanda
nyala api, asap yang tak menjadi awan, abu yang ditaburkan
membeku di lidah-lidah akar
dan di kaki gunung itu, dibangun panorama, riwayat zaman
mekar tumbuh dalam racun cendawan
mata burung yang mengapit gunung itu, menyala di ruang mataku
di tanah dirimu yang kering, lengking perang, dada dan paha-paha wanita
menempeli setiap sudut hutan gunungmu
"inilah riwayat dan kisah-kisah baru," ujarmu
di sisi lembah, aku mengemas rangka-rangka cerita itu
bersama ribuan burung
dalam jubah waktu, detik-detik tak lagi kuhitung
"ah, aku bingung dengan zamanmu
yang membangun berjuta-juta jurang
dalam dan gersang!"
Ujung Tanjung, 2013
Jalan
seperti ada yang tertinggal, mungkin kau juga merasakan
peristiwa, tanda-tanda dan kearifan berlayar dalam angin
lalu kita menanam peradaban pada sebuah ruang yang terlupakan
dan pohon-pohon itu mengering, tanah tak lagi menyuburkan
inilah negeri kita; segala yang bergerak ke setiap sisi
membangun rumah dalam batin sendiri
jarak terentang dilantun sipongang yang mati
"aku di sini!" ujarmu
"aku di sini!" ujarku
setiap waktu, langit menangisi bumi
saat angin melipat seluruh jalan
yang pernah kita lalui.
Ujung Tanjung, 2013
-------------
Adri Sandra, lahir di Padangjapang, Payakumbuh, 10 Juni 1964. Menulis sejak 1981, prosa dan puisi. Buku puisinya: Luka Pisau (2007) dan Cermin Cembung (2012). Karya-karyanya dimuat di beberapa media massa. Puisi-puisinya terangkum dalam 29 antologi puisi bersama. Pemecah tiga rekor Muri dalam sastra Indonesia.
Lampung Post, Minggu, 24 November 2013
No comments:
Post a Comment