Sunday, October 27, 2013

Sajak-sajak Fitri Yani

Raja Guntur Bumi Penihing1)

di lom janji, nyak rila nutuk niku
di uncukni bumi paling ngison
ngandanko kemuarian
tutukan anak-umpu jemoh saway

wat pak anakku laher di bahway:
Pesanggah Temunggung Gedung
Wisesa betungga Ratu Serambak
Dewa Marga
Karya
pisah tian kaduni mid sukau, krui, rik kalianda
Wisesa nguyunko kita di bahni pesagi
betungga Ratu Serambak
laher muneh umpu-umpu kita

kidang, tulung tanyako jama badanmu, ragahku
jama junjungan anak umpumu
lagi aga diingokko tian kudo
ragah rik bebai tuha
sai lapah jaoh ngusung isi kerajaan Banten
lagi aga mupakat kudo
sunyin keturunan jama keturunan Bahway

mani waktu sapa sai pandai
mutusko sunyin ingoan kak medomko mata

di lom janji
nyak rila nyerahko diri jama niku, raja pusaka
nyin nanti anak-umpu kita paham
api artini jadi tutukan
api artini nguyunko lamban.

2012

1) Raja Guntur Bumi Penihing yado de Raja sai berasal jak Banten, menurut cerita tumbai, sekitar tahun 1663, kerajaanni mid Liwa daleh ngebangun kerajaan di Bahway, salah satu keturunanni ya de Raja Wisesa, sai keramatni maseh wat sampai tanno. Jak keturunanni Raja Wisesa laher raja-raja sai sampai tanno wat di Kutaraja, Liwa.




Kemumu

sang degok way di unggak bulung
kemincak kedugok di bah pampang
kekati langui di pingger-pingger kulam
batu alom dibi manom

way di bulung kemumu
di bah sinar bulan bara
numpang liyu
kadu ya gugor di batu alom
mak dapok mesaka aga tigaga

kak rakakni radu jadi talos
kambang-kambang radu melayu
kemumu nganakko tunas baru

2013




Munggak-Medoh

kik niku halian
lapahanmu nutuk renglaya
sai jak bahni
medoh mid sabah-sabah
teliyu mid siring-siring
taru di lawok jaoh
munggak luot mid langik
kambor di hantara burung-burung
diurau-urau angin
mid rang sai mejaoh jak lawok
kaduni lebon gugor jadi wayni terai

kik niku terai
suratanmu gugor munggak-medoh
mak taru-taru, mak ngilu waktu
gugor di bulung lidang
jadi kambang di bebatan
ngeratongi bumi
nyinggahi rang-rang
sai senangong renglayamu

kik niku bebatan, garisanmu tilapahi
jak unggak jak doh, jak tumbai jak tanno
nerima tiilik-ilik, buserah tiratongi rik tilijungi
kekala wat sai tedaya, kekala wat sai pehalu

rua arah rua tawok rua uncuk
mid-muloh, radu-makung
debingi-derani, alom-andak
lawok rik langik, di hantarani
way-way ngehuap
gugor muneh di bebatan
luncat-luncat injuk kambang

2013


--------------
Fitri Yani, laher di Liwa, 28 Februari 1986. Pepira puisini timuat di lom media cetak rik antologi puisi. Pernah nutuk Pertemuan Penyair Nusantara V dan VI, Ubud Writers and Readers Festival (2011), Temu Sastrawan Indonesia IV (2011), Festival Puisi dan Lagu Rakyat Antar-Bangsa Pangkor, Malaysia (2012). Buku kumpulan puisi bahasa Lampungni sai ampai aga terbit judulni Suluh.


Lampung Post, Minggu, 27 Oktober 2013

Sunday, October 20, 2013

Sajak-sajak Riki Utomi

Sunyi Batu

tak ada bahasa mungkin yang berdiam
di kepalamu. hampa bertambah ragu.
pelupuk matamu hanya dapat membuang
waktu. dan hari-hari beranjak begitu saja
tanpa mau tahu bahwa kau memendam pilu.

digerak tubuhmu sepertinya hanya angin
yang tahu. berderu desas-desus teguk ngilu.
memendam di dinding sanubarimu. kau
menjadi gagu menerawang semua itu. di
batas-batas detik jam bagai rambu-rambu
yang mencekat hidupmu.

(telukbelitung, agustus 2013)


Wajah di Sebuah Teluk

akan kukabarkan sebuah puisi pada raut wajahmu.
dengan menitik-nitik melodi rancu, kita masih
berdiri di hamparan teluk yang membisu.

di wajahmu tersimpan sudi untuk dapat kami
melangkahkan kaki. tak ada kata biar, walau
musim beranjak pergi.

di sebuah teluk yang tak henti disapu angin.
kami menapak dengan tingkah yang berpacu
melewati mimpi.

segala sesuatu yang mungkin datang, selalu
jauh kami membuang. menelikung, menjulang
kata untuk membuang arti-arti lain di teluk itu.

(telukbelitung, agustus 2013)


Ruang Singgah

hanya tipis dinding seperti kulitmu, kami melepas
beban kata yang tercekik di medan laga. hanya sunyi
menganga, bagai lubang gelap pada tubuhmu, mungkin
kau anggap bekas luka yang selalu menyimpan bau
mesiu dari mulutnya.

ke ruang singgah, hanya kuncup sunyi memekakkan
telinga. daur ulang hidup seolah menjadi siklus bagi
tawaran hidup yang sempat menjengah bahwa kau
belum lepas dari ikatan jejak hidup.

pada ruang singgah bergelut kisah membuncah.
lihatlah pada sisi dindingnya. raut curam luruh
mengeram bau peluh. pada plafonnya, ringkih
ruas tulang mengaduh menyesak menggasak gaduh.
pada pintu depannya, menjerit mengabarkan luka
menganga. membanting rongga-rongga dada
pada alur hidupnya.

(telukbelitung, agustus 2013)


Sulaman

aku ingin menyulam kata-kata di atas tubuhmu.
dicampur pernik warna-warni kehidupan agar
tidak lagi bosan atas manisan yang itu-itu saja.
sebab gaung mulutmu tidak membuat ngilu getir
tubuhku yang gagu.

sulaman kata-kata itu hanya mampu berdenyut
disela sisa-sisa waktu, menjelang sore, atau
seperempat siang diterik asing yang tak pernah
kita lakukan. semua hanya menjadi kenangan
dan rutinitas hidup atau sebatas memori yang
hangat diam-diam belum sempat terpukau.

(telukbelitung, agustus 2013)


Melodi Malam

betapa angin berayun pelan-pelan. menelusuri
dinding-dinding pikir kita. ada hal-hal telah
terpuruk untuk coba kau meraba, namun lekang
entah ke mana.

pelan-pelan ada ucap merayap ke kupingmu.
memcoba membuat ucap pada hari-hari yang
menurutmu sembilu. runtut ujung jari, pagut
bibir mungil menari. lalu hanya sedikit mata
mencuri dari ruang yang terkunci.

sampai pengujung melodi malam semua terdedah
kebanyak wadah tumpah. meraba demi seinci arti
bahwa kita masih saja tertengadah dari ungkap
keluh-kesah yang tak sudah-sudah.

(telukbelitung, agustus 2013)


------------
Riki Utomi, lahir di Pekanbaru, 19 Mei 1984. Kini bergiat di Komunitas Rumahsunyi. Tinggal di Selatpanjang, Riau.


Lampung Post, Minggu, 20 Oktober 2013

Sunday, October 13, 2013

Sajak-sajak Mohamad Baihaqi Alkawy

Surat Lalat
tubuhku jengat, mengisap sari-sari segala yang busuk
semisal bangkai ucapanmu

kibaskan tanganmu, maka aku akan terbang ke arah
tak dikenal. sebab aku paling lihai berkelit atas setiap jebakan
maupun umpatan yang sejatinya telah tercium dari jauh.

apakah kau murka bilamana ujung lidahku menggerayangi
kesibukanmu menjalankan rencana.
sebab kesibukanmu adalah kebusukan bagiku.

tunggulah sayapku akan terpanggil oleh angin ke arah
segala yang lamat-lamat. 

tapi kau terlampau tak percaya bahwa keruh tubuh yang selalu
tumbuh melepuh adalah muasal dari yang terasa. tak nyata.

begitu pula halnya tubuh yang legam ini memintamu sejenak
kembali pada diri.

2013



Ahad
hari ini bukan suasana jumat, melainkan ahad
sebab tak ada aroma tuhan merasuk ke ujung hidung
hanya saja terpatri si buah hati menari di ujung jari.

di pancuran, sepagi ini rambutmu basah-merekah
menenangkan desir air jatuh di wadah berukuran dua kulah
yang hanya membasahi tubuhmu saja. tubuh tenang hari ahad
menutup sederet nama tuhan di gelombang dada yang gemetar
menyebut si buah hati berulang-ulang, melebihi getar alunan
nama Tuhan di setiap hari-hariku sayang.

air biru telah membasuh hijau matamu di depanku
gemericik aliran air seperti zikir para pertapa menunggu
wangsit dari langit.

hari ini, sekali lagi bukanlah jumat, melainkan ahad.
dan segalanya tumpah bersama namamu yang
kudaras setelah salat.

2013



Pendaki


sematkanlah sifat binatang jika kau menemukanku telentang
membayangkan keinginan di puncak keresahan, tersulam oleh
beberapa lembar kabar bahwa kita telah mengkhatam abjad
bintang dan segala yang kita temukan di antara butir perasangka
kacang ketika ia memendam biji dalam cangkang.

atau bilamana kau menemukanku memangu ke arah masa lalu
ke setiap simpang yang semakin merenggang tak sepurwarupa
namun apatah aku ini jika kesekian kalinya kau temukanku patah
dan latah menimbang bimbang yang terlampau datang,
barangkali hanya sekedar lewat untuk meyakinkan keinginan
yang tak berketetapan dan melekat kiamat. jadi pernak
berhias diri supaya tampil percaya diri.

sematkanlah aku sifat binatang bilamana kau menemukanku pergi,
tapi bukan sebagai pendaki lagi.

2013 



-------------
Mohamad Baihaqi Alkawy, lahir di Toro Penujak, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 9 Mei 1991. Menulis puisi dan artikel di berbagai media dan antologi bersama. Bukunya, Tuan Guru Menulis, Masyarakat Membaca (dalam proses terbit).


Lampung Post, Minggu, 13 Oktober 2013


Sunday, October 6, 2013

Sajak-sajak Restoe Prawironegoro Ibrahim

Tentang Wanita, Surga Siang dan Malam

Jangan katakan wanita
sekadar bunga
sebuah taman ia
yang berubah surga
saat dikunjungi:
siang dan malam

di atas taman ada langit
keterbukaan
menelan letih deritamu

di tengah taman ada sungai
: menderaskan arus gairahmu
saat bercakap melunasi
utang sepi panjangmu,

Jangan katakan wanita
sekadar bumi
sebuah semesta ia
yang berubah surga
saat disentuh
lewat tangan dan batinmu
Di luar semesta ada
zikir panjang dan menyatu
dengan tarikan napas
dan penciptaan
yang belum selesai
: ciptakan juga ketenteramanmu
dengan penyatuan
   
Di tengah semesta ada
gerak, melibat-libat
kehendak mengaduk-aduk
harapan dan kecemasan
dan meliuk-liukkan
waktumu.

Jangan katakan wanita
sekadar sepi
sebuah matahari ia
yang berubah surga
saat dipuji
lewat senyuman
sehabis tugasnya usai.

Di sekeliling matahari
banyak matahari
memanaskan ruang
agar segalanya
mampu hidup dan tumbuh
bersama kehadiranmu

Jangan katakan wanita
sekadar daging
sebuah roh suci
yang mengajakmu mengembara
ke seluruh surganya surga
ketika kau aku haknya.

Jakarta, Saung – Sastra Kalimalang Bekasi, 15 Agustus 2013



Tentang Kita

Kita telah akrab bersahaja
menekuri hari-hari impian
yang datang dan pergi jauh.
Kita sudah tak lagi punya kecewa
karena kita telah lepas dari bahagia.

Kita tidak lagi punya harap
sebab selalu datang yang hampa.
Kita tidak lagi punya tempat
di mana semua ruang telah padat.
Kita tidak lagi punya cinta
karena cinta telah merata.
Kita besok akan pergi tinggalkan waktu
mencari damai yang hilang.
Kita besok akan tinggalkan rasa
untuk berlari mencari rasa.
Tapi jangan lagi kita bertanya-tanya
tentang arti dan warna-warna rupa
namun kita telah lebur ke dalamnya

Kepada roh-roh yang bicara
berilah makan kami sepotong roti
buat konsumsi di hari jadi kami.
Dan satukan kami
dalam napas-napas yang lepas

Jakarta, Saung – Sastra Kalimalang Bekasi, 15 Agustus 2013



Tentang Dosa itu

Kita adalah tikus di pagi hari
Dosa itu kita sendiri
dosa itu…
dua biji mata
yang digantung
di setiap persimpangan jalan
di gedung-gedung bioskop
di sekeliling alun-alun
Kita adalah tikus di pagi hari
Dosa itu kita sendiri
dosa itu…
dua biji mata
tempat untuk menggambar rok mini
celana mini
bibir mini
alis mini
rambut mini
bulu ketiak mini
pinggul mini
kaos oblong mini
betis mini

Kita adalah tikus di pagi hari
Dosa itu kita sendiri
dosa itu buatan kita sendiri
yang dicetak di pagi hari
sebelum makan
sebelum tidur
sebelum mencuci gigi

Kita adalah tikus di pagi hari
makan lalat-lalat hinggap
tidak peduli senandung Mesjid
tidak peduli tembang-tembang sufi
terus ………….
makan lalat-lalat hinggap

Kita adalah tikus
Bukan “manusia”
Kita adalah tikus di pagi hari
yang tak mau mencuci mata
dengan  air wudhu’
dengan lembaran-lembaran Tuhan
dengan syair-syair Jibril
dengan Surat Yassin
dengan Surat As-Sajadah
dengan Surat Al-Waqi’ah
dengan surat panggilan laut
untuk berlayar menuju Ka’bah
panggilan langit
untuk terbang menuju Allah
panggilan semut
untuk masuk ke lubang kubur.

Kita adalah tikus di pagi hari
Dosa itu kita sendiri
dosa itu…….
dua biji mata
milik kita sendiri
seperti mata tikus di pagi hari
yang tak mau melihat fajar
yang terang
yang menulis Surat Yassin
                         Surat As-Sajadah
                       Surat Al-Waqi’ah
Kita adalah tikus di pagi hari
Dosa itu kita sendiri
dosa itu……….
dua biji mata
tempat tikus menggambar rok mini
celana mini
bibir mini
alis mini
rambut mini
bulu ketiak mini
pinggul mini
kaos oblong mini
betis mini

Kita adalah tikus di pagi hari
Dosa itu kita sendiri
buatan kita sendiri
milik kita sendiri

Jakarta, Saung – Sastra Kalimalang Bekasi, 15 Agustus 2013


------------
Restoe Prawironegoro Ibrahim, penyair yang lahir dari Surabaya kini aktif di SK-Bekasi. Karya-karyanya cerpen, esai, dan lainnya menghiasi media lokal dan nasional.

    
Lampung Post, Minggu, 6 Oktober 2013