Sunday, October 12, 2014

Sajak-sajak Hudan Nur

Selasar Dirundung Mara

(darahnya berjanji untuk menyetiai salam bagi pengikut imam mahdi)

dalam sekejap
malam menjadi padang piatu
segerombolan singa menghambur teror
menggedor-gedor ingatan masa lalu

seorang ibu bermata sepi
mencari lamunannya di sudut jendela
anaknya yang tualang
sudah hilang ditelan bayang-bayang


ia tidak tahu
hari-hari bukan selepas kenang
menggandeng kesetiaan jihad mengundang mara
menikam jejak lelaku di tembok penyangsian

(darahnya berjanji untuk mengkhatamkan salam bagi syech antah berantah)
 
aku tidak bisa bercerita padamu
bila esok ditelan bumi
kesetiaan macam apa yang akan kugenapi
sementara burung-burung selalu pulang mengantar senja
dan kau mengantar ketololan yang purna!


Teras Puitika, 2014



Menyusuri Gerbang Frankfurt dan Kota Gaib Zurich Membuatmu Yakin akan Mendapati Pusara Nietzsche Leluhur Opel yang Didera Sepi Sepanjang Musim
: kepada Adin

inilah jalan yang diberkati sepanjang Wiesbaden. daun-daun berhati malang jatuh ke arah timur. tepat disebuah musim gugur yang datang berantakan, membebat semua isi kepalamu dan tanpa diketahui meracuni aorta dan mimpi-mimpi keramatmu. mereka beristirahat di matamu, Russelsheim masih muda ia tidak tahu ada roh jahat yang menempel di saku bajunya.

inilah jalan yang diberkati sepanjang Wiesbaden. siapa yang percaya jenazah Dostoyevsky di Siberia yang diratapi 40.000 rakyat akan juga didera sepi. bukan lantaran cinta yang morat-marit, tetapi kesinisannya kepada janji-janji kitab suci yang enggan menghampiri nasibnya. dan jadilah mereka penghulu rasul setengah-setengah.

inilah jalan yang diberkati sepanjang Wiesbaden. seorang paroki mengenalkanmu kepada Tuhannya, ia katakan bahwa kebiasaan Tuhannya dan Tuhanmu itu sama, sama-sama menyukai warna, sama-sama mencintai bunga, sama-sama berhati semesta. lalu ia memberimu sebuah lukisan, nun di sanalah malaikat pencabut nyawa berkeliaran. terbang dari dahan satu, melompat ke dahan lain dan meranggas ke daun-daun pilihan untuk mengkhatamkan episodenya. tak ada yang lebih sunyi dari jalan-jalan keberkatan, di jalan puisi dan simpang-simpang waktu hanya melahirkan ramalan, takdir sebuah desa yang tak terbaca malapetaka akan ikut hanyut ke gorong-gorong musim dan larut sebagai lelaki lunglai yang kalah dalam metafisika dadu.

inilah jalan yang diberkati di sepanjang Wiesbaden. seorang ibu bermata sepi duduk di kursi tuanya. Annaslawoska masih menunggu putranya pulang, setelah dikabarkan oleh serdadu  bahwa ia tersesat dan tak bisa pulang dari belukar di kepalanya sendiri. beliau percaya pada Tuhan yang maha semau-mauNya kalau kabar baik akan datang seiring pergantian musim yang terlanjur mengikis cat-cat di tembok berandanya. lalu waktu menggulung ingatannya ketika Nietzsche dilahirkan, angin mengetuk kaca jendelanya, bulan tiba-tiba berkepang dua dan malam menjadi pendek dirampok jam-jam yang tiba-tiba pergi tanpa salam. ia tidak pernah diberitahu oleh musim kalau putranya sudah lama disekap takdirnya sendiri.

inilah jalan yang diberkati di sepanjang Wiesbaden. tak ada yang tahu Schlachthof menjadi belia setelah penjagalan hewan-hewan disulap menjadi tempat anak-anak muda melingsirkan hari yang dikemudikan cuaca. namun dalam sekejap jam-jam kembali pergi tanpa salam. jalan-jalanpun lengang setelah mengetahui bahwa tak ada kabar ke mana musim-musim sebenarnya bermukim!

Teras Puitika, Oktober 2013


-----------
Hudan Nur, lahir di Banjarbaru, 23 November. Menggeluti dunia sastra sejak 1995. Mulai menyasarkan karyanya sejak 2000. Pernah mengikuti sejumlah event sastra, menggagas Sanggar Nanang Galuh Bengkel Sastra 2001, Komunitas AUK, Komunitas Teras Puitika. Tinggal berpindah-pindah. Pernah menjadi peserta Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) (2007).


Lampung Post, Minggu, 12 Oktober 2014