Sunday, April 27, 2014

Sajak-sajak Epiest Gee

Sore, Hujan ini Untukmu

Sore, jalanan di depan rumahku basah.
Rintik kecil yang sebelumnya menguap di awan berjatuhan
menari-nari menemani langkah si kecil yang hendak mengaji.
Langkah kami sampai di depan surau,
si kecil memburu tangan kananku dan melemparkan salam, "Kujemput kau dua jam lagi, anakku" lalu aku kembali meniti jalanan kecil yang kian basah,
oleh rindu, oleh kata-kata, oleh kita, kamu dan aku.

Pantulan diriku di setiap genangan pecah kala kaki menjejakinya.
Kuintip di bawah payungku langit berhiaskan awan-awan terpecah merata,
semesta kian pucat, menemaniku dalam guyuran syahdu tanpa senja.
Dalam perjalanan suara pengeras surau semakin ramai oleh lantunan anak-anak
menyebut ayat-ayat suci, ada si kecil yang samar-samar kudengar di antara mereka.
Alif, ba, ta, tsa… mengeja hijaiah.

Sore, ada yang begitu berdegup,
semesta membaca debar jantungku dan setiap detaknya tak mau terganggu.
Hingga irama hujan terkalahkan. Seperti inikah rindu menaklukkan diriku?
Tiba di rumah, lantunan adzan mengajakku berwudhu, bersuci untuk-Nya.
Rindu, hanya mampu kusampaikan di atas selembar sajadah untuk pertemuan kita.

Pertemuan yang pernah kita tanam bersama harapan,
bersama rupa pertanyaan sederhanamu tentang gadis kecilku,
tentang tempat tinggal kita yang aneh, tentang keasingan yang menjadi kawan,
tentang pekerjaan yang membosankan, tentang lukisan-lukisan cahaya,
tentang cita-cita, tentang puisi-puisi luka,
tentang keheningan perasaan,
tentang apa saja.

Ya, sebuah pertemuan yang membuat mata kita saling beradu pandang,
memantulkan kerinduan yang tersimpan
juga kenangan yang tersisa bersama sebuah kata bernama “cinta”.
Magrib berlalu, perjalanan sama kuulangi menemani langkah pulang anakku usai mengaji.
Sore, hujan ini adalah getar rindu untukmu.

September, 2013



Di Sore Hari
    : "sorepledge" yang berjarak ratusan kilometer

Di atas ketinggian ini, aku mencoba berlari dari bayangmu.
Namun rindu mengusik ujung-ujung hening yang asing,
entah dengan cara apa aku menyampaikan melalui rangkaian kata.
Mungkin letakku sudah berbeda.
Di sini, di tempat ini senja perlahan berlalu,
titik-titik cahaya bermunculan di bawah sana di atas sebuah kota.

Pohon tempatku bersandar membiarkan daun-daun keringnya berguguran,
bersenandung kisah tentang berbagai rasa.
Rasa yang pernah kuhindari sejak merasa kehilangan.

Di atas ketinggian ini, ujung lampin penutup kepalaku berkibar-kibar
dimainkan anak-anak angin, saat itu aku berharap kau di sini,
duduk berdampingan meski tanpa kata-kata.
Melihat lampu-lampu kota yang berlomba menyala.
Sesekali mata kita beradu tatap, betapa pantulannya adalah aku dan kamu yang lekat,
yang diam-diam jatuh hati karena semesta.
Kurasakan degup jantung kita nyaris seirama, nyaris.

Lantas suara merdu gadis kecil membangunkan tidurku,
ah, rupanya mimpi yang terlalu tinggi sore ini…

September, 2013


Musim Sedang Basah

Jika berkunjung ke kotaku
jangan lupa membawa
jas hujan
payung hitam
serta pembungkus tas
musim sedang basah.

Di sini,
kita akan mabuk teh
sambil terus memerhatikan yang melintas di pandangan
entah itu rindu ketika dilangitkan atau cinta yang diam-diam resah menemukan jalan pulang.

Januari, 2013


Pada Senyum Kecil
    : rumah belajar sahaja

Pada senyum kecil itu aku hanyalah pendatang asing
yang berkeliaran mencari dan menuai serupa gula
terkadang aku ingin menjadi payung di rintik-rintik matamu
pun menjadi selimut di dingin hati-hatimu.

Pada raut-raut semrawut yang sembunyikan sebuah kepolosan
tentang dunia yang dipijak dan tak bertuan
aku ingin menjadi rumah dan buatmu nyaman berteduh
seteduh minuman saat kuseduh
hilangkan keruh
di pelupuh
yang kian lusuh.

Aku ingin menjadi cinta sederhana
bersama ruparasa yang kupunya
seadanya...

Juni 11


-----------
Epiest Gee, lahir di Bandung, 17 September. Aktif di komunitas sastra Majelis Sastra Bandung, Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis, Komunitas Penulis Perempuan Indonesia, dan Rumah Kayu Fotografi. Sajak-sajaknya dimuat di beberapa antologi bersama.

 

Lampung Post, Minggu, 27 April 2014



Sunday, April 20, 2014

Sajak-Sajak Dodi Saputra

petuah setoreh luka kaki kiri

sebuah buku tebal penuh luka kata
menutup kepala si anak dapat, rapat
tiada lagi tingkah yang meringis, liris
suara aduh seraya tangis, ritmis

selingkaran luka jaringan bawah kulit
juga luaran kulit berambut lurus
dirubung mata-mata nanah, merah
kuman lalat-lalat dari lembah
sisa mulut serangga pengerat luka
kakinya membekas cengkeram bergaris
giginya mengerat daging luka, seka

lagi, gerayang tangannya melumuri
darah ia santap begitu lahap
sementara luka tiada daya berkata
hanya buku tebal tempat ia melirik
memberi semacam isyarat agaknya
sudilah mengibaskan kata-kata
meski hanya selembar kibasan

pada masanya sebuah kaki itu menyaksikan
prajuritnya gugur melawan infeksi kaki
yang menjadi leukosit jasa diri
hanya petuah luka kaki kiri mewarta
pada mata kaki, sebab matanya sebelah
kanan dan kiri, susah menahan diri.

Aie Pacah, 2014



minyak goreng dan kunyit buat luka

luka dua pekan lalu itu, membisu
minta dicuci obat cair, merah
juga ungu peretas kuman-kuman

meskipun dari gilingan mesin-mesin
pabrik, temulah di rumah-rumah obat
dekat pasar becek berat
saudara seperut membawa sebotol kecil
antiseptik di tangannya
ia suguhkan di setentang mata yang terang
kepalanya menunduk, ia sodorkan di sorotan
napasnya yang tenang, kepalanya, angkat pinggang

kini, si luka sedikit melepas bangsa luka
penganut luka dari hari-hari yang nyeri
penghuni luka dari siang-siang yang meradang,
penunggu luka dari malam-malam yang silam

tibalah seperut dari desa
ia tumbukkan kunyit sampai melembut
kuning tuanya ia kucurkan minyak goreng pelumas gilingan
masuklah keduanya pada botol milik orang-orang kampung
masuklah sepasang buah dan akar pada luka
ia bakar luka itu sejadi-jadinya
ia legamkan wajah luka, sehitam-hitamnya
sementara si tuan hanya melepas jerit, ronta-ronta
aaakkkhhh.....

Aie Pacah, 2014


si anak dapat dan luka kaki kering

tiada sangka dialah si anak dapat
datang padaku yang berluka kaki kering
juga luka lesat dua pekan silam
membasuh luka, air hangat kuku
mengalir sudah ia membawa darah
darah putih yang mati
bau busuk
yang tersisa di selingkaran mata luka kering
sebuah kaki kiri yang diurut si anak dapat

agaknya ia mafhum ke mana mata kaki
kiri melepas tatapnya
ia juga mengangguk melihat jejak
si luka kaki hingga kini
melangkah sesuka mata angin
berjalan sederet duri milik putri malu
berlari selompat jaring-jaring ikan sungai
juga memijak jebakan pukat dan perangkap tikus-tikus

aku turut mengamini rapalan doa
pada bibirnya yang basah
ia selaksa membaca petuah ini kota
sebuah kota pembaca luka yang sama
ialah si anak dapat buat obat
luka kaki, berjalan menghampiri luka lain pula
luka penjuru ini kota.

Aie Pacah, 2014


seikat kangkung buat anak dapat

sejak kepergiannya beberapa langkah
membasuh sisa luka dengan tangan kecilnya
aku serasa tiada berbalas obat
mumpung ia masih dekat
dari tangkapan mataku langsung kuseru
“wahai si anak dapat, kemarilah, ada titipan untukmu.”
ia menoleh, memiringkan separuh sudut pandangnya ka arahku
yang masih terduduk di karung-karung sayur segar

benar ia padaku, datang, berlari, menuju penyeru
dadanya yang teduh
juga kakinya yang ramah pada bangsa tanah
kini ia di setentang dudukku
mata kami bertemu
tapi ia tetap membisu
“ini seikat kangkung buatmu, si anak dapat. salam pula buat ibumu yang taat.”

ia terima seikat kangkung dan pergi kembali
di sudut gang itu ia hilang dari kuasaku
kakiku kini kuasa mengimbangi mata kaki kiri dan kanan
menopang bangsa kangkung dan sepantarannya
sayur-sayur buat ibu-ibu besok pagi
sebuah pagi buat berobat si anak dapat.

Aie Pacah, 2014


----------
Dodi Saputra, lahir 25 September 1990 di Desa Mahakarya, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. Saat tengah menyelesaikan studi S-1 di Jurusan Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat. Sajak dan cerpen dimuat di berbagai media dan antologi bersama.


Lampung Post, Minggu, 20 April 2014

Sunday, April 13, 2014

Sajak-Sajak Remmy Novaris D.M.

Esai yang Hilang

ketika kau berbicara atas nama daun-daun
aku telah kehilangan pohon
ketika kau berkisah tentang akar
aku telah menelan buah-buahnya

ketika kau menjadi penayang tentang musim
aku telah meluku tanah, menebarkan benih
ketika kau berdongeng tentang sebuah impian
aku telah berada di sebuah dunia yang nyata

kini giliranku berkisah padamu tentang puisi
yang tak pernah selesai kutulis
tetapi kau memilih membaca prosa
yang sudah selesai kutulis

(kita pun kehilangan esai yang sama...)

LA 2014



Air Mata Kutukan

jangan pernah kau garami aku
dengan bahasa laut yang kau pinjam
dari lipatan-lipatan ombak
hingga mulutmu berbuih-buih

simpanlah bibir pantaimu
yang penuh dengan pasir
sebab kau tak pernah tahu
di mana palung jiwaku terdalam

dan kau bukan penyelam mutiara
kecuali pemungut cangkang kerang
di sepanjang pesisir
di mana nyiur tak lagi melambai

jadi jangan lagi kau berkisah padaku
tentang batu yang menangis
mengalirkan air mata kutukan
dari sumur tanpa dasar

LA 2014



Cangkang Kerang
kau tak akan pernah dapat mengejar pantai
pada lidah-lidah ombak yang terus beriak dan berderai
jauh di lubuk hatimu yang terdalam

di sana kau hanya menjadi cangkang kerang
bukan sebagai sebutir mutiara yang berkilau
di dasar keyakinanmu sendiri

maka biarlah pantai terus melepaskan ombaknya di atas pasir
untuk menghapus setiap jejak kakimu dan membasuhnya
dengan garam dari sisa waktumu yang telah lampau

bukalah kacamata hitammu dan tengadahlah
pandang jauh melewati garis batas cakrawala
di mana lelaki lautmu selalu tersenyum

LA 2014



Ampas Kopi
-- kepada aa

telah tumpah kopi itu dari cangkirnya
padahal kau yang mengajarkan bagaimana menyeduhnya
kita tak dapat lagi bersulang, apalagi berkisah
tentang manis dan pahitnya kopi dalam cangkir
jika yang tersisa hanya ampas diceruknya

ada saatnya kita memang duduk bersama
tapi kau telah meninggalkan meja itu
dan menutup semua percakapan dalam diam
hingga aku hanya dapat melihat punggungmu
terbungkuk memikul keangkuhan
dan menghilang di balik pintu tertutup

kuncilah pintu itu karena aku pun
mungkin tak akan pernah mengetuknya
meskipun aku tahu bagaimana membukanya
tapi aku juga tahu akan sia-sia
karena kita tak akan lagi saling mengenal

kini aku belajar dari ampas kopi
di dalam ceruk gelas...

LA 2013



Lelaki yang Membongkar Tubuhnya

lelaki yang membongkar dirinya
kini berdiri di hadapanmu. telanjang
cahaya matanya begitu tajam dan liar
suaranya yang bergetar, menggema
dari rongga paling sunyi
memanggil nama-nama yang hilang
seperti melafazkan mantera kutukan
dari para mambang leluhurnya

: "aku telah menelan seluruh malam
aku telah menelan seluruh siang
matahari dan rembulan
telah kukutuk menjadi gerhana!"

lelaki itu telah membongkar dirinya
kini telah berpaling dari hadapanmu
sambil melepaskan tulang-tulang rusuknya
dan mematahkannya seperti ranting
dari pohon yang tak lagi berbuah
sambil terus melangkahkan kakinya
menyeberangi daerah-daerah tak bertuan
dan mengunyah serta mengoyak
seluruh igauan di mulutnya sendiri
hingga meruahkan bau bangkai

: "aku telah mencium harum mawar
aku telah menggoreskan ketajaman duri
duri dan mawar telah tumbuh
dan meracuni seluruh tubuhku!"

lelaki itu telah membongkar dirinya
di bawah matahari dan rembulan
dan tersemak di antara duri dan mawar
di sana kau melihat lelaki itu
menjelma batu gunung
yang diselimuti kabut dingin
tanpa dapat lagi kau menyapanya

LA 2014


Di Luar Malam

impian itu jatuh di luar malam
tinggal sisa waktu yang terkunyah
di celah-celah bibir yang pecah
di bawah lampu 25 watt
: sekian tahun sirna untuk dusta!
hanya untuk menjadi orang bebal

kearfian pun menjadi kedunguan
hanya untuk menyunting malam menjadi siang
untuk alasan yang tak seharusnya dipercaya
sebagai penuturan kisah yang usang
tentang dongeng kesetiaan dan pengkhianatan

tapi tafsir itu terus saja dibaca
sebagai sabda langit dan mantera suci
dari ruang ibadah tempat bersujud
: hanya sebuah pelepasan hasrat!
suara itu bergema dari lorong rahasia
serupa kabut di luar jendela
waktu pun terkunci di sana

LA 2014



Tulang Rusuk
tulang rusukmu terlepas
dan menjelma perempuan
kau pun memberi nama
: hawa

perempuan itu kemudian memberimu buah
: makanlah

dunia pun tertelan oleh bahasa kitab
membentangkan silsilah panjang

lelaki dan perempuan adalah satu bayangan
hadir dan lenyap dalam kebersamaan

LA 2013


--------
Remmy Novaris D.M., penyair. Buku puisinya Dongeng Para Penyair (2013).


Lampung Post, Minggu,13 April 2014

Sunday, April 6, 2014

Sajak-Sajak Maulana Satrya Sinaga

Telaga Wree

suara jangkrik di belakang rumah adalah suara ritual rembulan. malam-malam yang gelap dan api unggun adalah cahaya kunang-kunang yang kecil. perempuan-perempuan akan berkaca pada telaga tujuh rupa yang ditabur bunga-bunga. telaga wree yang disebut dewi-dewi sebagai penabur bibit padi.
serupa gerimis, air telaga disiramkan pada ladang, atas nama asap kemenyan dan dupa yang berdiri di janggut para tetua tepat purnama bulat di atas kepala. tujuh ikat pisang, jeruk-jeruk pada altar nyiur yang membentuk. angin yang berhembus di pertengahan tahun adalah muasal selendang yang turun dari langit lalu singgah ke gunung. menyiramkan tanah gersang jadi subur tempat cacing berdiam ratusan tahun  ritual terus dijunjung dan bersambung.
tujuh perempuan membasuh ladang, bibit-bibit kecil bermekaran.

Medan, Januari 2014


Ritual Sampan

Datuk meritualkan sampan.
Sampan dikirim ke laut pasang.
Pasang baut telah terpasang dari kecil hingga sedang.
Sedang istri dirumah menyiapkan gulai kepala ikan.
Ikan-ikan ‘kan ditangkap atas nama sampan orang-orang kampung.
Kampung di pesisir dinamakan Belawan dan anak-anak yang membantu mengembangkan layar.
Layar bergambar jaring.
jaring tergulung siap ditebar.
Tebar senyum istri melambai pada suami.
Suami-suami yang ditakdirkan bertarung pada badai dan menjauhi si ayah karang.
Karang yang kadang membuat perempuan bersedih karena terlambat pulang.
“Pulangkan, pulangkan mereka wahai penghuni lautan. Dengan selamat. Selamatkan. limpahkan. Limpahkan ikan wahai tuan..” Datuk menutup doa dan sampan diantarkan pada lautan.

Medan, Januari 2014


Ketika Ibu Pulang ke Rumah

ibu akan kembali membuka pagar, memberi kabar lewat daun-daun karena rajukan telah turun dari mendung. ayah akan menyambutnya tidak dengan sebatang rokok. karena naga tiada lagi bernapas api. di teras rumah dengan angin seadanya dan kursi yang telah berabu karena saban hari kerja ayah merontokkan rambutnya atas nama kesalahan. ia menyambut ibu dengan pelukan erat lagi tenang.

Medan, Januari 2014


Sampan Gelombang

izinkan kubawa kau ke penghulu
(oy, datok gelombang, surukkan perempuanku di tebing-tebing curam)
kita saling menanam jantung di tanjung-tanjung
prihal ayahmu yang tak pandai menerka rasa dan melarang mekar mawar-mawar di dada
(maka datok, pinjamkanlah, pinjamkanlah dua bait puisi dari si tegar karang)
nandung-nandung pasang gelombang, rangkul-rangkul sampan bersampan
tiada pulangkah apa itu semayam di kedalaman yang dibawa nelayan di haluan
(datok, segala datok, rinaikan, lebatkan, jatuhkan nyiur agar kami sampai ke sujud syukur).

Medan, Januari 2014



Adik Kecil

matanya mata ikan mak, mari kita panggang ia di matahari dengan janji-janji. kita ajarkan ia mengaji agar tak mencuri dan berbaik hati agar tak bersifat dengki.
bau tubuhnya bau sampan, mari kita layarkan ia sampai ke gelombang dan biarkan karang bersemayam agar ia tahu, jantungnya keras dan tak bertanya lagi ketika kita bilang “ayah telah lama hilang.”
kakinya pucuk nyiur, biarkan ia tumbuh bersama angin-angin dari daging.biarkan ia secahaya mercusar agar ia berkabar, setelah kupingnya di azankan. mari mak.

Medan, Januari 2014


Hikayat Pinangan

sebab datuk rubah tak menerima pinangan pangeran, jalan-jalan berliku dibuat melintang. ia akan menikmati suara meriam saat subuh terangkat dan matahari adalah pekat yang berdarah lebat. ia turut anak gadisnya yang manis lagi rupawan seperti durian yang tak kehabisan aroma mengenyangkan. ia tak pula berbunga hati ketika anaknya dijadikan istri oleh lelaki yang tak baik akhlak dan sholatnya.
maka, setelah matahari terbit sejengkal. datuk rubah mendengar keluh dan teriak prajuritnya. ia mengambil keris dan mengejutkan dengan suara halilintar. semua terbakar, namun. ada parang sepanjang punggung dan ia mampu membelah gunung dengan sekali tebasan. datuk rubah terdiam. dan dalam tangis panjang anak gadis termakan pinangan.

Medan, Januari 2014


---------------
Maulana Satrya Sinaga, lahir di Medan, 4 Januari 1989. Bermukim di Medan. Saat ini sedang studi di Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah, Sumatera Utara. Karya-karyanya dimuat di berbagai media dan antologi bersama.



Lampung Post, Minggu, 6 April 2014