Sore, Hujan ini Untukmu
Sore, jalanan di depan rumahku basah.
Rintik kecil yang sebelumnya menguap di awan berjatuhan
menari-nari menemani langkah si kecil yang hendak mengaji.
Langkah kami sampai di depan surau,
si kecil memburu tangan kananku dan melemparkan salam, "Kujemput kau dua jam lagi, anakku" lalu aku kembali meniti jalanan kecil yang kian basah,
oleh rindu, oleh kata-kata, oleh kita, kamu dan aku.
Pantulan diriku di setiap genangan pecah kala kaki menjejakinya.
Kuintip di bawah payungku langit berhiaskan awan-awan terpecah merata,
semesta kian pucat, menemaniku dalam guyuran syahdu tanpa senja.
Dalam perjalanan suara pengeras surau semakin ramai oleh lantunan anak-anak
menyebut ayat-ayat suci, ada si kecil yang samar-samar kudengar di antara mereka.
Alif, ba, ta, tsa… mengeja hijaiah.
Sore, ada yang begitu berdegup,
semesta membaca debar jantungku dan setiap detaknya tak mau terganggu.
Hingga irama hujan terkalahkan. Seperti inikah rindu menaklukkan diriku?
Tiba di rumah, lantunan adzan mengajakku berwudhu, bersuci untuk-Nya.
Rindu, hanya mampu kusampaikan di atas selembar sajadah untuk pertemuan kita.
Pertemuan yang pernah kita tanam bersama harapan,
bersama rupa pertanyaan sederhanamu tentang gadis kecilku,
tentang tempat tinggal kita yang aneh, tentang keasingan yang menjadi kawan,
tentang pekerjaan yang membosankan, tentang lukisan-lukisan cahaya,
tentang cita-cita, tentang puisi-puisi luka,
tentang keheningan perasaan,
tentang apa saja.
Ya, sebuah pertemuan yang membuat mata kita saling beradu pandang,
memantulkan kerinduan yang tersimpan
juga kenangan yang tersisa bersama sebuah kata bernama “cinta”.
Magrib berlalu, perjalanan sama kuulangi menemani langkah pulang anakku usai mengaji.
Sore, hujan ini adalah getar rindu untukmu.
September, 2013
Di Sore Hari
: "sorepledge" yang berjarak ratusan kilometer
Di atas ketinggian ini, aku mencoba berlari dari bayangmu.
Namun rindu mengusik ujung-ujung hening yang asing,
entah dengan cara apa aku menyampaikan melalui rangkaian kata.
Mungkin letakku sudah berbeda.
Di sini, di tempat ini senja perlahan berlalu,
titik-titik cahaya bermunculan di bawah sana di atas sebuah kota.
Pohon tempatku bersandar membiarkan daun-daun keringnya berguguran,
bersenandung kisah tentang berbagai rasa.
Rasa yang pernah kuhindari sejak merasa kehilangan.
Di atas ketinggian ini, ujung lampin penutup kepalaku berkibar-kibar
dimainkan anak-anak angin, saat itu aku berharap kau di sini,
duduk berdampingan meski tanpa kata-kata.
Melihat lampu-lampu kota yang berlomba menyala.
Sesekali mata kita beradu tatap, betapa pantulannya adalah aku dan kamu yang lekat,
yang diam-diam jatuh hati karena semesta.
Kurasakan degup jantung kita nyaris seirama, nyaris.
Lantas suara merdu gadis kecil membangunkan tidurku,
ah, rupanya mimpi yang terlalu tinggi sore ini…
September, 2013
Musim Sedang Basah
Jika berkunjung ke kotaku
jangan lupa membawa
jas hujan
payung hitam
serta pembungkus tas
musim sedang basah.
Di sini,
kita akan mabuk teh
sambil terus memerhatikan yang melintas di pandangan
entah itu rindu ketika dilangitkan atau cinta yang diam-diam resah menemukan jalan pulang.
Januari, 2013
Pada Senyum Kecil
: rumah belajar sahaja
Pada senyum kecil itu aku hanyalah pendatang asing
yang berkeliaran mencari dan menuai serupa gula
terkadang aku ingin menjadi payung di rintik-rintik matamu
pun menjadi selimut di dingin hati-hatimu.
Pada raut-raut semrawut yang sembunyikan sebuah kepolosan
tentang dunia yang dipijak dan tak bertuan
aku ingin menjadi rumah dan buatmu nyaman berteduh
seteduh minuman saat kuseduh
hilangkan keruh
di pelupuh
yang kian lusuh.
Aku ingin menjadi cinta sederhana
bersama ruparasa yang kupunya
seadanya...
Juni 11
-----------
Epiest Gee, lahir di Bandung, 17 September. Aktif di komunitas sastra Majelis Sastra Bandung, Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis, Komunitas Penulis Perempuan Indonesia, dan Rumah Kayu Fotografi. Sajak-sajaknya dimuat di beberapa antologi bersama.
Lampung Post, Minggu, 27 April 2014
Sore, jalanan di depan rumahku basah.
Rintik kecil yang sebelumnya menguap di awan berjatuhan
menari-nari menemani langkah si kecil yang hendak mengaji.
Langkah kami sampai di depan surau,
si kecil memburu tangan kananku dan melemparkan salam, "Kujemput kau dua jam lagi, anakku" lalu aku kembali meniti jalanan kecil yang kian basah,
oleh rindu, oleh kata-kata, oleh kita, kamu dan aku.
Pantulan diriku di setiap genangan pecah kala kaki menjejakinya.
Kuintip di bawah payungku langit berhiaskan awan-awan terpecah merata,
semesta kian pucat, menemaniku dalam guyuran syahdu tanpa senja.
Dalam perjalanan suara pengeras surau semakin ramai oleh lantunan anak-anak
menyebut ayat-ayat suci, ada si kecil yang samar-samar kudengar di antara mereka.
Alif, ba, ta, tsa… mengeja hijaiah.
Sore, ada yang begitu berdegup,
semesta membaca debar jantungku dan setiap detaknya tak mau terganggu.
Hingga irama hujan terkalahkan. Seperti inikah rindu menaklukkan diriku?
Tiba di rumah, lantunan adzan mengajakku berwudhu, bersuci untuk-Nya.
Rindu, hanya mampu kusampaikan di atas selembar sajadah untuk pertemuan kita.
Pertemuan yang pernah kita tanam bersama harapan,
bersama rupa pertanyaan sederhanamu tentang gadis kecilku,
tentang tempat tinggal kita yang aneh, tentang keasingan yang menjadi kawan,
tentang pekerjaan yang membosankan, tentang lukisan-lukisan cahaya,
tentang cita-cita, tentang puisi-puisi luka,
tentang keheningan perasaan,
tentang apa saja.
Ya, sebuah pertemuan yang membuat mata kita saling beradu pandang,
memantulkan kerinduan yang tersimpan
juga kenangan yang tersisa bersama sebuah kata bernama “cinta”.
Magrib berlalu, perjalanan sama kuulangi menemani langkah pulang anakku usai mengaji.
Sore, hujan ini adalah getar rindu untukmu.
September, 2013
Di Sore Hari
: "sorepledge" yang berjarak ratusan kilometer
Di atas ketinggian ini, aku mencoba berlari dari bayangmu.
Namun rindu mengusik ujung-ujung hening yang asing,
entah dengan cara apa aku menyampaikan melalui rangkaian kata.
Mungkin letakku sudah berbeda.
Di sini, di tempat ini senja perlahan berlalu,
titik-titik cahaya bermunculan di bawah sana di atas sebuah kota.
Pohon tempatku bersandar membiarkan daun-daun keringnya berguguran,
bersenandung kisah tentang berbagai rasa.
Rasa yang pernah kuhindari sejak merasa kehilangan.
Di atas ketinggian ini, ujung lampin penutup kepalaku berkibar-kibar
dimainkan anak-anak angin, saat itu aku berharap kau di sini,
duduk berdampingan meski tanpa kata-kata.
Melihat lampu-lampu kota yang berlomba menyala.
Sesekali mata kita beradu tatap, betapa pantulannya adalah aku dan kamu yang lekat,
yang diam-diam jatuh hati karena semesta.
Kurasakan degup jantung kita nyaris seirama, nyaris.
Lantas suara merdu gadis kecil membangunkan tidurku,
ah, rupanya mimpi yang terlalu tinggi sore ini…
September, 2013
Musim Sedang Basah
Jika berkunjung ke kotaku
jangan lupa membawa
jas hujan
payung hitam
serta pembungkus tas
musim sedang basah.
Di sini,
kita akan mabuk teh
sambil terus memerhatikan yang melintas di pandangan
entah itu rindu ketika dilangitkan atau cinta yang diam-diam resah menemukan jalan pulang.
Januari, 2013
Pada Senyum Kecil
: rumah belajar sahaja
Pada senyum kecil itu aku hanyalah pendatang asing
yang berkeliaran mencari dan menuai serupa gula
terkadang aku ingin menjadi payung di rintik-rintik matamu
pun menjadi selimut di dingin hati-hatimu.
Pada raut-raut semrawut yang sembunyikan sebuah kepolosan
tentang dunia yang dipijak dan tak bertuan
aku ingin menjadi rumah dan buatmu nyaman berteduh
seteduh minuman saat kuseduh
hilangkan keruh
di pelupuh
yang kian lusuh.
Aku ingin menjadi cinta sederhana
bersama ruparasa yang kupunya
seadanya...
Juni 11
-----------
Epiest Gee, lahir di Bandung, 17 September. Aktif di komunitas sastra Majelis Sastra Bandung, Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis, Komunitas Penulis Perempuan Indonesia, dan Rumah Kayu Fotografi. Sajak-sajaknya dimuat di beberapa antologi bersama.
Lampung Post, Minggu, 27 April 2014
No comments:
Post a Comment