Tentang Hari Depan, Cintaku
tentang hari depan, cintaku
tentang benih yang akan tumbuh esok hari;
bunga-bunga putih di balik kabut
rumah di tepi pegunungan
daun-daun jambu berluruhan pada tanah lembab
tetapi jalan ini memang suram, cintaku
tak ada yang berani menempuhnya dalam lapar
iman kita digoyahkan oleh kesunyian yang kita tempa sendiri
jiwa-jiwa meronta pada cinta yang sementara
ada yang tetap ingin bersama
karena tak berdaya melangkah seorang diri
lalu akhirnya memilih pergi karena lapar
jalanan ini tak bisa memuaskan dahagamu akan kemegahan
tanah gersang, sumur kerontang
daun-daun gugur dan berserakan
orang-orang yang bertahan dalam kepayahan
kita menjadi mahluk yang berharap sekaligus putus asa
seperti iringan awan yang terapung di bukit kapur
peluh luruh dalam gelas-gelas suka-cita
bening dan begitu memabukkan
di masa mendatang, cintaku
kita akan mengalami sebuah pagi
dan melihat wajah pegunungan.
Tanjungkarang, Februari 2013
Solilokui
entah sejak kapan kau gugup menghadapi kenyataan
pagi yang kaku menindih tubuhmu
di sela-sela jadwal keberangkatan
yang tak pernah berbeda, tak pernah berubah
teman dan kekasih memudar di ujung cakrawala
seperti pekarangan yang sendiri pukul sembilan pagi
tak ada lagi bagimu ruang untuk mengingat masa silam
dan tempat-tempat yang sudah kau tinggalkan
kau hirup cerita-cerita seperti menghisap debu
tubuhmu kumpulan debu
matamu guguran rindu yang layu
di beranda rumahmu
siang hari memanas di ubun-ubun
keramaian berpendar di kepalamu
yang terus menerus mendambakan keheningan
malam tergesa datang
kau menarik nafas berat di tempat tidur
dengan cucuran peluh dan mimpi buruk
dadamu dihinggapi kecemasan-kecemasan
seperti kabut pada rumput di kaki pegunungan
hidupmu disibukkan oleh benda-benda
yang setiap saat berganti rupa
keheningan cuma hujan
cuma genangan yang cepat lesap
Maret, 2013
Gerbang Malam
langit menggugurkan daun-daun hujan yang tajam
mozaik-mozaik kota tersusun
di sebuah lorong panjang
burung-burung hitam melintas di atas kota
orang-orang berjalan memasuki gerbang malam
mencari jejak-jejak musim dan cuaca
sebelum pintu-pintu fajar terbuka
bersama cerita para saudagar
dan lampu kuning kenanga
aku berjalan melintasi mereka
melewati sapaan-sapaan pedagang cina
mencium aroma masakan melayu
memandang lukisan kota yang berwarna biru
di bawah cahaya lampu
kau menengadah
betapa lega setelah upacara, katamu
sambil mengenang sisa-sisa gemuruh pantai
dan potret matahari tenggelam
bayangan pohon memanjang
bermacam bentuk bunga kau lukis
di punggung tanganku
adakah getar yang singgah ketika cahaya samar
menimpa wajah kita di tepi jalan itu
lampu-lampu mulai padam
kau bergegas pulang ke rumah
dan aku terdiam memandang purnama
malam gugur dan aku merasa akan terpisah dari semuanya
“demikianlah pertemuan
ia hidup di dalam peristiwa, di dalam foto dan benda-benda”.
Perak-Malaysia, 17 Desember 2012
Penyair dan Gembala
angin bergerak menghampiri gembala yang membaca sajak-sajak sepi di sepanjang halaman hari. ia melihat warna hijau di situ tapi bukan hamparan padang rumput yang sehari-hari dipandangnya. ia mendengar suara-suara merdu tapi bukan suara kambing-kambing gembalaannya. ia tak dapat memastikan apakah matanya dapat meyakini setiap warna yang dipandangnya selalu berbeda itu
bertahun-tahun sebelum sajak-sajak itu ada, seorang perempuan muda patah hati berlari di hamparan padang rumput, ratusan mawar luruh dari matanya. tubuhnya mengusung waktu dan wasiat yang sayang sekali tak pernah bisa ia ingat kembali, telinganya dilingkupi bahasa yang asing belaka. di bawah rimbun akasia ia mematut diri “kemarau menghancurkan setiap orang, kemudian beberapa orang bertahan di tanah yang terluka”ia menghirup kata-kata yang kekal, dan menduga ia pun akan kekal setelahnya
sang gembala menutup buku lalu berdiam diri, molekul-molekul udara dari padang rumput itu menyebar ke segala arah kemudian berakhir begitu saja di udara
aroma masakan rumah, derak ranting patah, dan bayang-bayang pohon sepanjang jalan mulai memukau baginya.
Maret, 2013
------------
Fitri Yani, lahir 28 Februari 1986. Alumnus FKIP Universitas Lampung. Diundang pada Pertemuan Penyair Nusantara V dan VI, Ubud Writers and Readers Festival (2011), Temu Sastrawan Indonesia IV (2011), dan Festival Puisi dan Lagu Rakyat Antar Bangsa Pangkor, Malaysia (2012). Buku puisinya, Dermaga Tak Bernama (2010). Sajak-sajaknya yang lain dimuat di berbagai media cetak dan antologi bersama.
Lampung Post, Minggu, 21 April 2013
tentang hari depan, cintaku
tentang benih yang akan tumbuh esok hari;
bunga-bunga putih di balik kabut
rumah di tepi pegunungan
daun-daun jambu berluruhan pada tanah lembab
tetapi jalan ini memang suram, cintaku
tak ada yang berani menempuhnya dalam lapar
iman kita digoyahkan oleh kesunyian yang kita tempa sendiri
jiwa-jiwa meronta pada cinta yang sementara
ada yang tetap ingin bersama
karena tak berdaya melangkah seorang diri
lalu akhirnya memilih pergi karena lapar
jalanan ini tak bisa memuaskan dahagamu akan kemegahan
tanah gersang, sumur kerontang
daun-daun gugur dan berserakan
orang-orang yang bertahan dalam kepayahan
kita menjadi mahluk yang berharap sekaligus putus asa
seperti iringan awan yang terapung di bukit kapur
peluh luruh dalam gelas-gelas suka-cita
bening dan begitu memabukkan
di masa mendatang, cintaku
kita akan mengalami sebuah pagi
dan melihat wajah pegunungan.
Tanjungkarang, Februari 2013
Solilokui
entah sejak kapan kau gugup menghadapi kenyataan
pagi yang kaku menindih tubuhmu
di sela-sela jadwal keberangkatan
yang tak pernah berbeda, tak pernah berubah
teman dan kekasih memudar di ujung cakrawala
seperti pekarangan yang sendiri pukul sembilan pagi
tak ada lagi bagimu ruang untuk mengingat masa silam
dan tempat-tempat yang sudah kau tinggalkan
kau hirup cerita-cerita seperti menghisap debu
tubuhmu kumpulan debu
matamu guguran rindu yang layu
di beranda rumahmu
siang hari memanas di ubun-ubun
keramaian berpendar di kepalamu
yang terus menerus mendambakan keheningan
malam tergesa datang
kau menarik nafas berat di tempat tidur
dengan cucuran peluh dan mimpi buruk
dadamu dihinggapi kecemasan-kecemasan
seperti kabut pada rumput di kaki pegunungan
hidupmu disibukkan oleh benda-benda
yang setiap saat berganti rupa
keheningan cuma hujan
cuma genangan yang cepat lesap
Maret, 2013
Gerbang Malam
langit menggugurkan daun-daun hujan yang tajam
mozaik-mozaik kota tersusun
di sebuah lorong panjang
burung-burung hitam melintas di atas kota
orang-orang berjalan memasuki gerbang malam
mencari jejak-jejak musim dan cuaca
sebelum pintu-pintu fajar terbuka
bersama cerita para saudagar
dan lampu kuning kenanga
aku berjalan melintasi mereka
melewati sapaan-sapaan pedagang cina
mencium aroma masakan melayu
memandang lukisan kota yang berwarna biru
di bawah cahaya lampu
kau menengadah
betapa lega setelah upacara, katamu
sambil mengenang sisa-sisa gemuruh pantai
dan potret matahari tenggelam
bayangan pohon memanjang
bermacam bentuk bunga kau lukis
di punggung tanganku
adakah getar yang singgah ketika cahaya samar
menimpa wajah kita di tepi jalan itu
lampu-lampu mulai padam
kau bergegas pulang ke rumah
dan aku terdiam memandang purnama
malam gugur dan aku merasa akan terpisah dari semuanya
“demikianlah pertemuan
ia hidup di dalam peristiwa, di dalam foto dan benda-benda”.
Perak-Malaysia, 17 Desember 2012
Penyair dan Gembala
angin bergerak menghampiri gembala yang membaca sajak-sajak sepi di sepanjang halaman hari. ia melihat warna hijau di situ tapi bukan hamparan padang rumput yang sehari-hari dipandangnya. ia mendengar suara-suara merdu tapi bukan suara kambing-kambing gembalaannya. ia tak dapat memastikan apakah matanya dapat meyakini setiap warna yang dipandangnya selalu berbeda itu
bertahun-tahun sebelum sajak-sajak itu ada, seorang perempuan muda patah hati berlari di hamparan padang rumput, ratusan mawar luruh dari matanya. tubuhnya mengusung waktu dan wasiat yang sayang sekali tak pernah bisa ia ingat kembali, telinganya dilingkupi bahasa yang asing belaka. di bawah rimbun akasia ia mematut diri “kemarau menghancurkan setiap orang, kemudian beberapa orang bertahan di tanah yang terluka”ia menghirup kata-kata yang kekal, dan menduga ia pun akan kekal setelahnya
sang gembala menutup buku lalu berdiam diri, molekul-molekul udara dari padang rumput itu menyebar ke segala arah kemudian berakhir begitu saja di udara
aroma masakan rumah, derak ranting patah, dan bayang-bayang pohon sepanjang jalan mulai memukau baginya.
Maret, 2013
------------
Fitri Yani, lahir 28 Februari 1986. Alumnus FKIP Universitas Lampung. Diundang pada Pertemuan Penyair Nusantara V dan VI, Ubud Writers and Readers Festival (2011), Temu Sastrawan Indonesia IV (2011), dan Festival Puisi dan Lagu Rakyat Antar Bangsa Pangkor, Malaysia (2012). Buku puisinya, Dermaga Tak Bernama (2010). Sajak-sajaknya yang lain dimuat di berbagai media cetak dan antologi bersama.
Lampung Post, Minggu, 21 April 2013
No comments:
Post a Comment