Parfum
kita adalah sengketa di malam klorofom
saat parfummu membunyikan kesedihan
dari pintu-pintu hujan
dan surat-suratmu yang berlarian
sebelum tiba di wesel pertama
adalah kerinduan, yang tetanus
saat kau terlindungi dari langit humus
dan kita menerka di mana
akhir dari sebuah perasaan
mungkin di tebing itu, yang tak terpantulkan
mungkin di rahim itu, yang tak terkuburkan
mungkin pula, hanya di musim gugur
ketika debu membentang dan setiap wajah
menjadi tua, menjadi lilin, menjadi luka
di malam klorofom, hanya aromamu
yang masih tersisa,
yang tak kuketahui
di mana arah terminusnya.
Di Musim Seni
pada lukisan terakhir
gadis itu telah kehilangan
seratus koloni kata cinta
yang seharusnya ia dengar
dari lelaki di sebelahnya
“nyatakah engkau ini?”
ia merasa lelaki itu kini hanya prasasti
di lorong bunga
tempat anak-anak muda bercanda
dalam kencan herbivora
“aku ke toilet dulu ya, lima menit.”
ucap gadis itu dengan sedih
—lima menit yang terasa kekal
di dalam hatinya
maka di depan sebuah keramik china
diam-diam ia catat kesedihannya
serupa angin lembut
beraroma terpentin,
“kami pernah di sini.” bisiknya
pada foto seorang kaisar tua.
dan saat lelaki itu mengajaknya
pergi dari museum
gadis itu masih menggenggam erat
dua lembar sobekan tiket
yang tak mungkin lagi
diulangi perjalanannya.
Maut Musim Dingin
adakah tanah kelahiran
bagi musim dingin yang buta
ketika kau menuntunnya ke beranda
“di sana kau tunggangi salju
menuju Patiola.”
adakah tanah kelahiran
bagi musim dingin yang tua
ketika ia justru diseret salju
ke tempat penghabisannya
“sudah kuduga.” kata salju,
“kau akan mati di sini, di dinginmu sendiri.”
adakah kau percaya pada hantu
ketika ia dekap tubuhmu, terasa kecutnya malam
dan angin menyesal di depan pintu
“sudah kukirimkan sepucuk surat beku
tapi aku lupa alamat
perut burung yang melahirkan salju-salju itu!”
Padamu, Cirahayu
aku selalu tersesat
pada pertanyaan terakhirmu
sebelum kau tutup telepon
“aku melihatmu di cahaya bulan.”
seakan berdesir jemari malam pada pundakku
saat suaramu terbawa oleh
retak jarum jam pukul satu
“kita sudah cukup picisan.” jawabku
lalu kau tertawa kecil di ujung sana
seperti seremonia yang pasti kurindukan lagi
esok atau entah kapan
“coba kau ingat-ingat senja tadi,
adakah yang kau lupakan
sebelum kita berpisah di gerbang depan?
seperti ciuman, barangkali…”
selalu, aku seperti disusupi pertanyaan
layaknya seorang pejalan malam yang istirah
di tepi pohon yang mengembangkan bunga pertamanya
“entahlah. aku hanya ingat
kita duduk di stasiun Cirahayu,
menggubah kenangan
bersama seratus ribu lempengan senja.
lalu kau nyanyikan lagu-lagu magis
tentang cinta yang sebenarnya
cuma bisa kita khayalkan.”
-------
Sungging Raga, lahir dan besar di Situbondo, Jawa Timur. Alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Seorang penggemar kereta api yang juga banyak menulis fiksi.
Lampung Post, Minggu, 7 April 2013
kita adalah sengketa di malam klorofom
saat parfummu membunyikan kesedihan
dari pintu-pintu hujan
dan surat-suratmu yang berlarian
sebelum tiba di wesel pertama
adalah kerinduan, yang tetanus
saat kau terlindungi dari langit humus
dan kita menerka di mana
akhir dari sebuah perasaan
mungkin di tebing itu, yang tak terpantulkan
mungkin di rahim itu, yang tak terkuburkan
mungkin pula, hanya di musim gugur
ketika debu membentang dan setiap wajah
menjadi tua, menjadi lilin, menjadi luka
di malam klorofom, hanya aromamu
yang masih tersisa,
yang tak kuketahui
di mana arah terminusnya.
Di Musim Seni
pada lukisan terakhir
gadis itu telah kehilangan
seratus koloni kata cinta
yang seharusnya ia dengar
dari lelaki di sebelahnya
“nyatakah engkau ini?”
ia merasa lelaki itu kini hanya prasasti
di lorong bunga
tempat anak-anak muda bercanda
dalam kencan herbivora
“aku ke toilet dulu ya, lima menit.”
ucap gadis itu dengan sedih
—lima menit yang terasa kekal
di dalam hatinya
maka di depan sebuah keramik china
diam-diam ia catat kesedihannya
serupa angin lembut
beraroma terpentin,
“kami pernah di sini.” bisiknya
pada foto seorang kaisar tua.
dan saat lelaki itu mengajaknya
pergi dari museum
gadis itu masih menggenggam erat
dua lembar sobekan tiket
yang tak mungkin lagi
diulangi perjalanannya.
Maut Musim Dingin
adakah tanah kelahiran
bagi musim dingin yang buta
ketika kau menuntunnya ke beranda
“di sana kau tunggangi salju
menuju Patiola.”
adakah tanah kelahiran
bagi musim dingin yang tua
ketika ia justru diseret salju
ke tempat penghabisannya
“sudah kuduga.” kata salju,
“kau akan mati di sini, di dinginmu sendiri.”
adakah kau percaya pada hantu
ketika ia dekap tubuhmu, terasa kecutnya malam
dan angin menyesal di depan pintu
“sudah kukirimkan sepucuk surat beku
tapi aku lupa alamat
perut burung yang melahirkan salju-salju itu!”
Padamu, Cirahayu
aku selalu tersesat
pada pertanyaan terakhirmu
sebelum kau tutup telepon
“aku melihatmu di cahaya bulan.”
seakan berdesir jemari malam pada pundakku
saat suaramu terbawa oleh
retak jarum jam pukul satu
“kita sudah cukup picisan.” jawabku
lalu kau tertawa kecil di ujung sana
seperti seremonia yang pasti kurindukan lagi
esok atau entah kapan
“coba kau ingat-ingat senja tadi,
adakah yang kau lupakan
sebelum kita berpisah di gerbang depan?
seperti ciuman, barangkali…”
selalu, aku seperti disusupi pertanyaan
layaknya seorang pejalan malam yang istirah
di tepi pohon yang mengembangkan bunga pertamanya
“entahlah. aku hanya ingat
kita duduk di stasiun Cirahayu,
menggubah kenangan
bersama seratus ribu lempengan senja.
lalu kau nyanyikan lagu-lagu magis
tentang cinta yang sebenarnya
cuma bisa kita khayalkan.”
-------
Sungging Raga, lahir dan besar di Situbondo, Jawa Timur. Alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Seorang penggemar kereta api yang juga banyak menulis fiksi.
Lampung Post, Minggu, 7 April 2013
puisi-puisi yang menggetarkan jiwaku
ReplyDelete(Wisnu Murti,http://tulisandenpasar.blogspot.com)