Sunday, April 28, 2013

Sajak-sajak Dody Kristianto

Jurus Penangkis Macan

Langkah pertama

ialah memukul yang tak bulan, tak hujan, dan semua yang tak takut pada bayangan. Lalu cegat segala kemungkinan yang datang. Termasuk ia yang berumah di sebuah kitab api.

Atau hati-hati akan perihal tua yang sembunyi dari sebalik belukar, dari segala tingginya bebatang. Perhatikan benar kegesitannya dengan ingatan seorang bijak. Dengan kata-katanya yang mungkin singgah seperti sajak.

Jangan terlena dengan jalannya yang pelan itu, mungkin ia akan memuntirmu, mengirimmu pada tanah di seberang pulau terjauh.

Ayunkan yang kau kira sebagai gerak termahirmu, dengan lompatanmu yang setinggi katak, kekanganmu yang sekukuh badak.

Maka ia akan mental, atau malah mengeluarkan yang ia sembunyikan: langkah ratusan tahun yang tersimpan pada ingatan.

Bila demikian, sediakan tubuhmu guna menyatu. Penyatuan dengan segala yang pernah kau lihat, lebih-lebih kau pijak!

(2012)

 
Jurus Semburan Ular

jangan hanya berguru pada yang tampak
berpasrahlah pada segala yang tak dapat
diurai mata

serupa gerak perlahan itu, gerak teliti
sekaligus hati-hati
gerak yang liat sekaligus penuh muslihat
yang membuatmu hanya menyisakan
sekali detak saja dalam hidup

kamu yang bersiap dengan gertakan
segarang macan
atau langkah panjang sekencang kijang

sia-sialah, bila kamu tak mengerti
arti membelit

sia-sia saja

semua hentak rancak hingga tinju
paling ampuh
berubah kelinci jinak

tatkala jemari nan anggun
namun sungguh menyembunyikan
siasat racun itu menemukan sarangnya
di bagian tubuhmu yang telah lemah

jantungmu

(2012)



Gerak Elang Mengelak

tentang terbang
apa yang akan kamu pikirkan?

tentu ia bukan sekadar meninggalkan
yang berjejak, sebenarnya ia hanya 
meringankan

membuat apa yang tinggal
di dalam tubuhmu
seolah sementara hilang

kamu tentu mengenal perilaku para seteru
gemar memburu dari segala penjuru

ia datang dengan kecepatan sambaran
dan hempasan yang mungkin
tak sanggup kamu menghindar

siagalah bila tiba pedang sepasang
yang mengambil langkah sejari saja
dari lehermu atau tombak karatan
yang mengintai jantungmu

yang tak terjaga dengan kuda-kuda

cermatkan perihal bagaimana kamu letakkan
kakimu, tepatkan ancang-ancang,
bersiaplah berpindah ke arah
yang tak bakal ia kira

(2012)



Tendangan Tanpa Bayangan
Bukan tanpa alasan
bila langkah-langkah itu
lebih suka menyatukan dirinya
bersama angin,
memecahnya,
membelah
dan membilah sesuatu
yang tak kamu tangkap
dengan mata duniamu.

Muslihatnya yang membuatmu
tak sanggup melakukan kedip
dan kerjap
Tak mampu pula kamu beranjak
dari dudukmu atau berpindah
dari berdirimu
Kamu tentu takkan bersiap
dengan tombak terpanjang
atau pedang paling tajam
Takkan. Semua itu
tak mampu menghalangi
pertemuanmu dengan ia,
yang lebih cergas
dan cerdas dari semua
yang pernah kamu jumpa.

Bila kamu bersiap
dengan kuda-kuda semenjana,
terimalah.
Tubuhmu yang sekuat baja
namun rapuh itu
akan merasakan sengit seteru.
Kamu mungkin tak merasa
darah itu meninggalkanmu pelan,
berpisah dari ketegapanmu.
Namun, bila kamu telah jatuh,
dan satu per satu bagian tubuhmu
menyentuh bumi dengan haru.
Rasakan

Betapa jantungmu
mungkin telah berubah warna
atau lambungmu tak mau lagi
melakukan cerna

(2012)



Membalik Arah Angin
sesungguhnya, inilah siasat tersabar
siasat mula yang harus kamu pelajari

dengan hati dan niatan seorang sufi
yang bertahan dari semua goda

siasat yang benar sederhana saja
siasat yang hanya memecah, mengubah

sentuhan tak kasat mata itu, sentuhan
yang mengelus dan merangkul sekujur tubuh

jadikan, jadikan ia sekeras batu, putar ia
dengan dayamu yang sangat sungguh

asingkan ia dari ragam api dan air
yang hanya akan memberati gerakmu

bila ia telah tergenggam penuh dalam kepalan,
telah sempurna dalam awal hantaman

kirim ia, antarkan  pada  seterumu

seteru yang mengambil ancangan menyerbu
dan bersiap dengan tinju paling ampuh

(2012)


----------
Dody Kristianto, lahir di Surabaya, 3 April 1986. Bergiat bersama Komunitas Rabo Sore (KRS) dan Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI). Saat ini ia tinggal di Sidoarjo.


Lampung Post, Minggu, 28 April 2013

Sunday, April 21, 2013

Sajak-sajak Fitri Yani

Tentang Hari Depan, Cintaku

tentang hari depan, cintaku
tentang benih yang akan tumbuh esok hari;
bunga-bunga putih di balik kabut
rumah di tepi pegunungan
daun-daun jambu berluruhan pada tanah lembab

tetapi jalan ini memang suram, cintaku
tak ada yang berani menempuhnya dalam lapar
iman kita digoyahkan oleh kesunyian yang kita tempa sendiri
jiwa-jiwa meronta pada cinta yang sementara
ada yang tetap ingin bersama
karena tak berdaya melangkah seorang diri
lalu akhirnya memilih pergi karena lapar

jalanan ini tak bisa memuaskan dahagamu akan kemegahan
tanah gersang, sumur kerontang
daun-daun gugur dan berserakan
orang-orang yang bertahan dalam kepayahan

kita menjadi mahluk yang berharap sekaligus putus asa
seperti iringan awan yang terapung di bukit kapur
peluh luruh dalam gelas-gelas suka-cita
bening dan begitu memabukkan

di masa mendatang, cintaku
kita akan mengalami sebuah pagi
dan melihat wajah pegunungan.

Tanjungkarang, Februari 2013



Solilokui

entah sejak kapan kau gugup menghadapi kenyataan
pagi yang kaku menindih tubuhmu
di sela-sela jadwal keberangkatan
yang tak pernah berbeda, tak pernah berubah

teman dan kekasih memudar di ujung cakrawala
seperti pekarangan yang sendiri pukul sembilan pagi
tak ada lagi bagimu ruang untuk mengingat masa silam
dan tempat-tempat yang sudah kau tinggalkan

kau hirup cerita-cerita seperti menghisap debu
tubuhmu kumpulan debu
matamu guguran rindu yang layu
di beranda rumahmu

siang hari memanas di ubun-ubun
keramaian berpendar di kepalamu
yang terus menerus mendambakan keheningan

malam tergesa datang
kau menarik nafas berat di tempat tidur
dengan cucuran peluh dan mimpi buruk
dadamu dihinggapi kecemasan-kecemasan
seperti kabut pada rumput di kaki pegunungan

hidupmu disibukkan oleh benda-benda
yang setiap saat berganti rupa
keheningan cuma hujan
cuma genangan yang cepat lesap

Maret, 2013



Gerbang Malam

langit menggugurkan daun-daun hujan yang tajam
mozaik-mozaik kota tersusun
di sebuah lorong panjang

burung-burung hitam melintas di atas kota
orang-orang berjalan memasuki gerbang malam
mencari jejak-jejak musim dan cuaca
sebelum pintu-pintu fajar terbuka

bersama cerita para saudagar
dan lampu kuning kenanga
aku berjalan melintasi mereka
melewati sapaan-sapaan pedagang cina
mencium aroma masakan melayu
memandang lukisan kota yang berwarna biru

di bawah cahaya lampu
kau menengadah
betapa lega setelah upacara, katamu
sambil mengenang sisa-sisa gemuruh pantai
dan potret matahari tenggelam

bayangan pohon memanjang 

bermacam bentuk bunga kau lukis
di punggung tanganku
adakah getar yang singgah ketika cahaya samar
menimpa wajah kita di tepi jalan itu

lampu-lampu mulai padam
kau bergegas pulang ke rumah
dan aku terdiam memandang purnama
malam gugur dan aku merasa akan terpisah dari semuanya

“demikianlah pertemuan
ia hidup di dalam peristiwa, di dalam foto dan benda-benda”.

Perak-Malaysia, 17 Desember 2012



Penyair dan Gembala

angin bergerak menghampiri gembala yang membaca sajak-sajak sepi di sepanjang halaman hari. ia melihat warna hijau di situ tapi bukan hamparan padang rumput yang sehari-hari dipandangnya. ia mendengar suara-suara merdu tapi bukan suara kambing-kambing gembalaannya. ia tak dapat memastikan apakah matanya dapat meyakini setiap warna yang dipandangnya selalu berbeda itu

bertahun-tahun sebelum sajak-sajak itu ada, seorang perempuan muda patah hati berlari di hamparan padang rumput, ratusan mawar luruh dari matanya. tubuhnya mengusung waktu dan wasiat yang sayang sekali tak pernah bisa ia ingat kembali, telinganya dilingkupi bahasa yang asing belaka. di bawah rimbun akasia ia mematut diri “kemarau menghancurkan setiap orang, kemudian beberapa orang bertahan di tanah yang terluka”ia menghirup kata-kata yang kekal, dan menduga ia pun akan kekal setelahnya

sang gembala menutup buku lalu berdiam diri, molekul-molekul udara dari padang rumput itu menyebar ke segala arah kemudian berakhir begitu saja di udara

aroma masakan rumah, derak ranting patah, dan bayang-bayang pohon sepanjang jalan mulai memukau baginya.

Maret, 2013


------------
Fitri Yani, lahir 28 Februari 1986. Alumnus FKIP Universitas Lampung. Diundang pada Pertemuan Penyair Nusantara V dan VI, Ubud Writers and Readers Festival (2011), Temu Sastrawan Indonesia IV (2011), dan Festival Puisi dan Lagu Rakyat Antar Bangsa Pangkor, Malaysia (2012). Buku puisinya, Dermaga Tak Bernama (2010). Sajak-sajaknya yang lain dimuat di berbagai media cetak dan antologi bersama.


Lampung Post, Minggu, 21 April 2013







Sunday, April 14, 2013

Sajak-sajak Nanang Suryadi

Lost in London

aku tersesat di london
saat toko-toko tutup jam 7 malam,

aku tersesat dengan handphone roaming
yang merampas pulsaku

aku menelusur trotoar china town london
dengan perut sakit menahan diare

aku termangu di trotoar depan kios tatto
menggigil kedinginan

di kota london yang asing
aku harus berbicara dengan sopir taxi
"do you know hotel novotel?"

sopir taxi, keturunan india tertawa:
"find your hotel adress, eight novotel in london."

london masih sore, jam 7 malam
di tanah air sudah jam 2 dinihari

dan aku menggigil kedinginan
di antara salju yang melebat

aku tersesat di london




Obral Musim Dingin

mari kita berbelanja, kata reklame
mengajak ke london dan paris

di musim dingin banyak sale banyak soldes

nampak wajah-wajah cerah
dari negeri-negeri jauh
dari eropa timur dan asia

aku memeriksa label harga
nampak tertera: made in china, vietnam dan kamboja
pantas murah harganya

selamat datang, welcome, are you from indonesia?
pedagang asal maroko menyapaku, dia bisa berbahasa indonesia

di toko-toko london dan paris
aku disapa pedagang india, maroko, afganistan, thailand

aku menatap harod, toko milik alfayed, dari jauh
aih alfayed, jangan tertawa, aku tak masuk ke tokomu
poundku terbatas jumlahnya

pound yang pongah
euro, dollar dan rupiah terpuruk
di pasarnya



Napoleon

ada yang tak ingin mengenangmu, karena
menjadi kaisar adalah pengkhianatan

bagi revolusi yang menyala
berkobar api kebebasan, persaudaraan dan kesetaraan

telah diterjang bastille, telah dipenggal leher para tiran
tapi engkau memilih menjadi kaisar

kini di gedung itu, ada yang tak ingin mengenangmu
namamu berbaur di pemakaman pahlawan tak dikenal



Eiffel

di puncak menara
sepasang kekasih berciuman

dan terus berciuman
seperti takut kehilangan

mungkin ingin mereka kekalkan
cinta dan kenangan


----------
<b>Nanang Suryadi<p>, lahir di Pulomerak, Serang, 8 Juli 1973.  Buku puisi terbarunya: Yang Merindu Yang Mencinta (2012), Derai Hujan Tak Lerai (2012), dan Kenangan Yang Memburu (2012). Saat ini mengelola portal seni budaya sastra: fordisastra.com, cybersastra.org dan jendelabudaya.com


Lampung Post, Minggu, 13 April 2013


Sunday, April 7, 2013

Sajak-sajak Sungging Raga

Parfum

kita adalah sengketa di malam klorofom
saat parfummu membunyikan kesedihan
dari pintu-pintu hujan
dan surat-suratmu yang berlarian
sebelum tiba di wesel pertama

adalah kerinduan, yang tetanus
saat kau terlindungi dari langit humus
dan kita menerka di mana
akhir dari sebuah perasaan

mungkin di tebing itu, yang tak terpantulkan
mungkin di rahim itu, yang tak terkuburkan
mungkin pula, hanya di musim gugur
ketika debu membentang dan setiap wajah
menjadi tua, menjadi lilin, menjadi luka

di malam klorofom, hanya aromamu
yang masih tersisa,
yang tak kuketahui
di mana arah terminusnya.



Di Musim Seni

pada lukisan terakhir
gadis itu telah kehilangan
seratus koloni kata cinta
yang seharusnya ia dengar
dari lelaki di sebelahnya

“nyatakah engkau ini?”

ia merasa lelaki itu kini hanya prasasti
di lorong bunga
tempat anak-anak muda bercanda
dalam kencan herbivora

“aku ke toilet dulu ya, lima menit.”
ucap gadis itu dengan sedih

—lima menit yang terasa kekal
di dalam hatinya

maka di depan sebuah keramik china
diam-diam ia catat kesedihannya
serupa angin lembut
beraroma terpentin,

“kami pernah di sini.” bisiknya
pada foto seorang kaisar tua.

dan saat lelaki itu mengajaknya
pergi dari museum
gadis itu masih menggenggam erat
dua lembar sobekan tiket
yang tak mungkin lagi
diulangi perjalanannya.



Maut Musim Dingin

adakah tanah kelahiran
bagi musim dingin yang buta
ketika kau menuntunnya ke beranda

“di sana kau tunggangi salju
menuju Patiola.”

adakah tanah kelahiran
bagi musim dingin yang tua
ketika ia justru diseret salju
ke tempat penghabisannya

“sudah kuduga.” kata salju,
“kau akan mati di sini, di dinginmu sendiri.”

adakah kau percaya pada hantu
ketika ia dekap tubuhmu, terasa kecutnya malam
dan angin menyesal di depan pintu

“sudah kukirimkan sepucuk surat beku
tapi aku lupa alamat
perut burung yang melahirkan salju-salju itu!”



Padamu, Cirahayu

aku selalu tersesat
pada pertanyaan terakhirmu
sebelum kau tutup telepon

“aku melihatmu di cahaya bulan.”

seakan berdesir jemari malam pada pundakku
saat suaramu terbawa oleh
retak jarum jam pukul satu

“kita sudah cukup picisan.” jawabku

lalu kau tertawa kecil di ujung sana
seperti seremonia yang pasti kurindukan lagi
esok atau entah kapan

“coba kau ingat-ingat senja tadi,
adakah yang kau lupakan
sebelum kita berpisah di gerbang depan?
seperti ciuman, barangkali…”

selalu, aku seperti disusupi pertanyaan
layaknya seorang pejalan malam yang istirah
di tepi pohon yang mengembangkan bunga pertamanya

“entahlah. aku hanya ingat
kita duduk di stasiun Cirahayu,
menggubah kenangan
bersama seratus ribu lempengan senja.
lalu kau nyanyikan lagu-lagu magis
tentang cinta yang sebenarnya
cuma bisa kita khayalkan.”



-------
Sungging Raga, lahir dan besar di Situbondo, Jawa Timur. Alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Seorang penggemar kereta api yang juga banyak menulis fiksi.


Lampung Post, Minggu, 7 April 2013