Sunday, April 12, 2015

Sajak-sajak Firda Wati

Kepada yang Abadi pada Pohon Akasia

kepada para tunas yang baru mengenal cahaya
tersimpan rahasia kuntum akasia
yang datang dari lubuk semesta
di mana muasal cuaca berjumpa

akasia berbunga
dalam kenangan gadis-gadis remaja
ketika memekarkan kelopak
yang mereka sebut kebebasan

di dasar tanah
akar akasia berjanji pada hara
“akan kami kukuhkan sebuah puisi”
sebelum datang kemarau
yang kelak membuat mereka tertatih

kepada mineral-mineral
yang menempuh perjalanan
di dalam batang
yang selalu merasa pasti
akan sebuah tujuan
tumbuhkanlah ranting-ranting puisi
bagi burung-burung
yang ingin membangun rumah

bunga akasia akan tetap mekar
menatap matahari
dan sekali waktu menggugurkan
ribuan puisi yang tak kuasa menjadi abadi

Bandar Lampung, Desember 2014



Kepada Salju

Sepatutnya kau berbahagia
Ketika tubuhmu berangsur membeku
Juga ketika hendak mencair

Sebab di tubuhmu
waktu memberi kesepakatan sendiri
tentang sesuatu yang sementara
dari kesepakatan sebuah musim

bocah-bocah akan memuntahkan keriangan
cinta sepasang remaja akan membuatmu mendidih
kesabaran para orang tua akan membuatmu bermakna

sehampar warna putih
berayun-ayun di udara
menyapa cuaca
juga seorang perempuan tua
di balik kaca jendela
yang menunjuk sesuatu
di langit

Bandar Lampung, Desember 2014



Jawaban di Rahim Ibu


kapan kita akan kembali bertemu
tanyamu sambil dengan cemas memungut
daun-daun gugur di tepi jalan itu

akankah daun yang diterbangkan angin
sampai ke tepi telaga sebuah kota
akankah sampai pada tujuan
pada selarik alamat di segulung peta

ketika langkahmu mulai menjauh
rinduku patah tak terkayuh
langit berwarna tembaga
membiaskan cahaya di mata
para wanita yang kujumpai
sepanjang jalan pulang

ujung jalan di balik tanah
tak akan mempertemukan kita
sebab kita sendiri
menyusuri aliran air kita sendiri
menuju tanjung-tanjung harapan
mengayuh suka-duka dalam lautan waktu

kita disatukan oleh serbuk-serbuk puisi
yang sesungguhnya tak pernah ada
kita menyusun debu-debu di tubuh kita sendiri
merintih, lalu membasuhnya kembali

kita terlunta menerka-nerka jawaban
yang tertinggal di rahim ibu

Bandar Lampung, Januari 2015


--------------
Firda Wati, lahir di Liwa, Lampung Barat, 3 Juli 1995. Mahasiswa semester IV Fakultas Syariah IAIN Raden Intan.


Lampung Post, Minggu, 12 April 2015

Sunday, April 5, 2015

Sajak-Sajak Oky Sanjaya

Waktu

adalah punggungku
yang baru saja selesai dikerok istriku
memerah dalam kesuntukan
merekah dalam aroma balsam

adalah pagi hari
dan berita tentang negaraku
dan telor mata sapi
dan kopi

adalah argumentasi
adalah pergi



Tempat

jika tuhan adalah kata, maka tuhan berada dalam ketakberhinggaan kata-kata
jika tuhan adalah makna, maka tuhan berada dalam ketakberhinggaan peristiwa
jika tuhan adalah peristiwa, maka tuhan berada dalam ketakberhinggaan konsep
jika tuhan adalah konsep, maka tuhan berada dalam ketakberhinggaan prinsip
jika tuhan adalah prinsip, maka tuhan berada dalam ketakberhinggaan kepribadian
jika tuhan adalah kepribadian, maka tuhan berada dalam derajad kemanusian
jika tuhan adalah kemanusian, maka tuhan kehilangan derajadnya sebagai tuhan
namun jika tuhan 0 derajad kemanusian, dan tuhan adalah 0 manusia, maka
Tuhan adalah segala-galanya 1.



Sandal dan Kepergianku

1
Sandal, aku telah kembali memakai sepatu.  Aku kenakan kembali seragam hari Rabu, dan kacamata bertangkai kuning mengkayu itu.

Pagi sekali, aku kembali meninggalkanmu. Meninggalkan rumah kontrakan dan tanaman.

“Pastikan. Pastikan.” katamu.

Pagi sekali, aku memastikan buku-buku pelajaran itu, - laptop, absen, dan hasil koreksian ujian.

Aku memastikan kepergian.

2
Setiap kepulangan, katamu, ada istirahat dan pintu gerbang yang terhambat. Ada kisah cinta siswa yang selintas lewat. Ada ingatanku mengenai subbab-subbab.

Dan keinginanku untuk kembali melepas sepatu.

Sandalku, aku kembali mencoba memahamimu. Memahami waktu, dan lekuk sintalmu. Memahami keperluan, dan kekuranganku hari Rabu.

“Meskipun kau akhirnya mengangkatku, memindahkan maksud, dan menutup pintu? Apakah berarti, berhenti sejenak, menjinakkan amarahku? Kau hampir saja menghindar dari rumah.”

“Tidak. Aku hanya mencakupkan maksud dan penipuan itu.”

3
Selepas sepatu, kita pergi bersantai di teras depan. Menghadapi “lidah mertua”, yang entah kapan akan kuning tebal. Kita lupa hari, kapan kita benar-benar menanamnya. Lihatlah!, tanaman kita kembali bertambah tunas. – sepertinya, jika tunas itu benar-benar tumbuh, kita seperti telah – melunasi sesuatu.

“Aku mengerti. Tetapi, bisakah kita, hanya memikirkan kita?”



Dialogis Genesis

Radin, kerbau itu, bukanlah perkara yang baru turun gunung, melainkan anggapan kita untuk mencintai saudara. Seperti aku, yang tidak memiliki posisi apapun dalam kondisi ini. Tetapi hak, tetaplah hak. Sedangkan kewajiban telah lama tunai. Pajak datang tanpa diminta.  Maka, selamatkanlah segalanya atas nama rakyat.  Rakyat yang begitu mencintaimu. Keadilan ada diujung lidahmu. Meski akhirnya terjadi pula, kau tewas diracun. Saat angin Kuripan gersang. Saat tumbuhan merambat, menambat hatimu untuk bersembunyi. Saat pelor yang bersarang mulai membuat ngilu tulangmu. Saat impian-impian bertualang terbang. Saat kami, benar-benar menemukan, engkau, “Allahuakbar, hinji Radin kham.”.


---------------
Oky Sanjaya, lahir di Sanggi, Tanggamus, Lampung, 13 Oktober 1988. Menulis puisi sejak 2006 melalui Klinik Sastra Bintang Pelajar Lampung Post yang diasuh Udo Z Karzi. Buku puisinya: Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan (2009).


Lampung Post, Minggu, 5 April 2015

Sunday, March 29, 2015

Sajak-sajak Muhammad Harya Ramdhoni

Makam Tak Bernisan
: DN Aidit

di sini ditanam jasadnya.
lelaki gempal dari pulau bangka.
pada masanya komunisme tak lahir dari
pecahan batu dan rel kereta api.
melainkan dibuahi azam iman
tentang kehidupan tak berkasta.
di sini terbaring riwayat bang amat.
pendusta panca sila paling berani.
pada dirinya silsilah gelap
sebuah partai diakhiri.
tak seorang pun merasa berhak
menulis riwayat baru walau hanya seayat.
malangnya, dunia turut menghakiminya.
tempat terkutuk diberikan padanya
di sudut dunia paling jadah.
kisah kesatria berzirah mirah delima
bertiup sayup-sayup sampai.
dihapus kebengisan zaman
dan amarah sang angin.
tembok bisu dari abad lalu
enggan berbagi cerita.
barisan kayu jati tua pun setia
menyimpan berjuta rahasia.
milik bilik masa silam yang
tersembunyi di dalam
peti mati berhias celurit dan palu gada.
dua tiga ekor ayam mematuki bebutir jagung,
kemudian berak di atas tanah di mana
jasad sang ketua berada.

Boyolali-Yogyakarta, 26 Agustus 2014



Omong Kosong di Puncak Pesagi
: Kisanak Depri

kau duduk di depan perapian.
di samping pokok pinus yang
tegak menantang langit.
tatkala fajar menyapa
dari balik kakinya.
tanah subur di bawah sana
menenun sebuah harap.
hidupkan semula kisah
lama orang-orang desa.
lelaki perempuan sederhana
dengan mimpi bersahaja.
tiba-tiba darahmu terkesiap.
seekor elang terbang
menuju pucuk pesagi.
“kenui ngelayang
mit pesagi!” pekikmu.
itulah hikayat tua yang
melampaui selusin abad.
cerita tak usang tentang
pemenang dan pecundang.
orang-orang dari utara dan musuh mereka
yang terpaksa terusir menuju selatan.
sementara engkau dan aku di sini
masih memilin tasbih.
menanti takdir tak pasti
cucu lima lelaki berhidung
bagus dan juru masaknya.

Puncak Pesagi-Jambi, 3 & 14 Juli 2009


Deja Vu 

seorang anak perempuan
berambut sebahu.
hadir dalam benakku
bertahuntahun lalu.
kernyit kening wajah selintas
angkuh, tersaji dari
masa depan tak teraba.
ia tak bicara walau sepatah kata.
pun tak menangis atau tertawa.
hanya tatap mata tawarkan
tekateki tak terbaca.
mungkinkah masa kini ditentukan
penggal bayangbayang
hari lalu yang tersirat?

Stasiun Komuter UKM Bangi Malaysia, 9 Juli 2013


------------------
Muhammad Harya Ramdhoni, lahir di Solo, 15 Juli 1981, pengarang prosa sejarah Lampung Perempuan Penunggang Harimau (2011) dan kumcer Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air (Koekoesan, 2012). Ia berkhidmat sebagai staf pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, Bandar Lampung.


Lampung Post, Minggu, 29 Maret 2015

Sunday, March 22, 2015

Sajak-Sajak Riki Utomi

Selatpanjang

kami berada di ujung kepalamu, selatpanjang.
tebingtinggi yang menaruh harapan, degup jantung
secepat mesin kempang ketika menyusuri arus
gelombang. ketika sampai di ujung pulau rangsang,
degup jantung pun hilang, selaksa lambaian nyiur
mengangkasa oleh cericit elang laut memekik
membahana.

kami berada di tubuhmu, selatpanjang.
mencermati tiap jengkal lembut gambut
ketika pijakan kaki oleng oleh lain pikir kita.
namun merambat ke sukma paling dalam.
di mana segala duri dalam lubuk hatimu
tak lagi sekeras masa lalu namun dapat
meramu ke penjuru maju oleh lindap asing
oleh rantauan kaki berpijak.

kami berada di matamu, selatpanjang.
lihatlah tajam tiap jengkal pulaunya. singgasana
datuk bercakak pinggang di tanah merbau.
segala amuk menyatu ke segenap rantau sampai
ke siak, bengkalis, dan tumasik. mengusik
peta batin kita bahwa di sana, selatpanjang
mengukir denyut nadi kita dalam lingkup
panjang jarum jam, dalam ruang luas perahu
yang melaju di deras air selat hitam.

Selatpanjang, 2015



Memungut Sunyi

kami hanya dapat mengeja satu dua saja.
dari lindap yang urung datang. gelap mirip
hatimu sekarang, tanpa ampun mengajakku
ke arah lain yang terlarang.

kami lalui saja dengan segala apa yang
kemuncak di hati. di ujungnya hampir tak ada.
hampir tak kena, menjurus kepada malam
yang lain.

kami hanya memungut sunyi, lewat celah
hatimu yang batu. lewat gundah yang merumit
itu, ke segenap ujung, ke segenap waktu yang
bertarung.

Selatpanjang, 2015



Dalam Lipatan Sunyi

dalam lipatan sunyi, kau menaruh hati:
dendam lama yang terkurung, usut kusut
yang terselubung. lalu menghanyutkannya
tanpa tahu ke mana.

dalam lipatan sunyi, waktu mengurung:
ke dalam relung-relung paling ngilu,
dalam dan ujung, merambat sampai
merekah jantung.

dalam lipatan sunyi, kami hanyut:
melipat diri, mencari celah hanyut.
mencuri celah waktu, melepas ungkap,
tercerabut oleh mimpi, mimpi kelam
yang lain.

Selatpanjang, 2015



Seluas Hatimu

seluas hatimu aku berhak menyimpan apa saja.
termasuk serpih retak jantungku melihat kusam
wajahmu. wajah yang menyimpan mimpi oleh
gerak batin yang tak kokoh lagi. hancur mirip
bumi dari retak lidah api.

sekelumit hatimu adalah kabar lain dari hidup ini.
aku tak dapat merangkai segala degupnya. aku tak
utuh menggapai segala denyutnya. aku tak utuh
mengeja segala ucapnya. semua meletih dari ucap
lain, dari makna yang ganjil itu.

Selatpanjang, 2015



Tentang Januari

januari memberikan dahaga.
matahari hampir di ujung kepala.

hampir melepas kulit di tangkai.

harapan gosong tanpa rindang
dan usai kokoh yang sia-sia.

Selatpanjang, 2015



Sebuah Batas

mungkin hanya seinci, batas kita hilang.
ketika kau tak lagi melihatku. satu dua
arti tak lagi mampu untuk dicermati
menjadi luapan lain yang mengganggu.

sebuah batas melepas dari dirimu.
menuju kepada objek tirus wajah tiran.
kau coba meresapi seluruh ingatan
tentang hari-hari lain sebagai ungkap diri.
ranum luput tak berjanji.

Selatpanjang, 2015


---------------
Riki Utomi, alumnus FKIP UIR Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis puisi, cerpen, esai, naskah drama. Sejumlah karyanya terangkum dalam antologi Ziarah Angin, Fragmen Waktu, Munajat Sesayat Doa, Rahasia Hati, Sekeping Ubi Goreng, Dari Negeri Poci 5, dll.


Lampung Post, Minggu, 22 Maret 2015

Sunday, March 15, 2015

Sajak-Sajak Abd. Rahman M.

Dongeng

Matahari yang menyala-nyala tersungkur dibawa ombak
di laut biru nyanyian ratapan anak sampan
asa yang telanjur mengangkasa
langit ialah atap keabadian
dan tanah rumah yang selalu berdiam kemunafikan
tersimpan tawa raja menggelegak
berlayar mengikuti irama angin
yang mereka bilang menuju keabadian
anak sampan menggeliat bercerita di balik awan
lupa matahari telah tersungkur meninggalkan pedih

2015


Prolog

Aku terimpit di rumah yang atap dan bangunan
menjulang tinggi kemegahan
kayu rumah tempat aku belajar keheningan dimakan rayap
bersisa segenggam serbuk kenangan

2015


Fana

Putri belia merupa wajah elok bermekaran kembang
termenung mataku memandang selarik puisi
bernuansa asmara diramu lewat diksi pincang
rupanya elok dimanja dan dipuja bak anak raja
jangan engkau percaya pada gelap malam
yang kata kumbang-kumbang banyak terlahir hening

selarik puisi mencakar-cakar tubuhku
meminta belas kasih dipertemukan kembang mekar
ia haus hendak meminum darah keabadian

2015


Wakil Tuhan

Suara-suara tuhan diperkumpulkan diganti
wakil-wakil tuhan berwajah beringas
baju mereka beraroma rupiah mata berkilau berlian
pasal demi pasal mereka cipta dari ayat pertama
hingga ayat terakhir habis didagangkan
semenjak suara tuhan diwakili

suara-suara tuhan lenyap terkubur bersama dongeng
wakil-wakil tuhan berkumpul dalam kubangan
mencari pasal demi pasal yang terlanjur gigil
mata menyala senyum merekah
mewakili tuhan dunia

2015


Monolog

Sepatu kulit yang kupakai meludah ketika
kulitnya mengelupas dihantam kemegahan
ia benci setiap sepatu yang berjajar rapi di pinggir jalan
wajahnya berang kulit terkelupas mata liar
sepatu kulit yang kupakai menerjang tawa
hendak menerkam kebencian

kakiku melepuh tak sanggup menahan luka
yang dibenam kebencian
aku tersungkur di ujung senja diam takluk

2015


Desing

Malam kelam bertabur suara-suara sumbang
derai hujan menemani malam menghitam
pak tua duduk di pinggir kali
memandang sinis pada mata bulan
yang tiba-tiba
menghardik lamun

pak tua istrimu menanti di rumah
menanti kepulangan yang telah lama pergi
mencari-cari senyum
sedang keceriaan ada di tubuhnya

2015




------------
Abd. Rahman M, lahir di Prapat Janji, Sumatera Utara, 29 Juni 1989. Tulisannya dimuat di berbagai media massa.


Lampung Post, Minggu, 15 Maret 2015

Sunday, March 8, 2015

Sajak-sajak M. Sidik Mustofa

Luka di Tengah Cerah Matahari
ketika makin mendung waktu cerahnya hari
matahari memberikan maklumat di pagi hari, “tenggelam”
angin hanya mampu bersolek di tengah taman bunga tulip

ketika matahari selalu berinar di kegelapan di antara kaki bersandal rompak
dan air bah semakin tinggi membawa dahaga di ujung laut

kian terkoyak luka dan semakin tak terbendung langit penuh bintang di sebuah comberan; penuh dusta siang tanpa cahaya

ketika mendung kian tenggelam
adakah busur mampu membantu

Bandar Lampung, Maret 2011


Catatan Perjalanan

aku belum bisa menang dalam pertikaian hidup ini

selalu saja aku menangis kala menatap rerumputan
pun aku tergugu saat menyaksikan hujan
tertunduk menatap langit yang menantang

mungkinkah ini saatnya aku berlari?
berlari hingga aku tak mengingat lagi
Sudah saatnya aku lepas
Sudah saatnya aku membuka lembaran kertas baru
hingga banyak cerita yang tercipta

Sebenarnya sungguh ini menyakitkan
Namun, ini lah jalan yang aku pilih

Biarlah semua ini menjadi cerita buat aku sendiri
Meski semua tak pernah ketahui...

Rasanya ingin kuremas tulang belulang yang telah merebut!
Tapi bodohnya aku malah tersenyum
Apakah ini yang disebut ikhlas?
Beritahu aku kalau cara mencintaiku ini salah.

Labuhandalam, Juni 2013


Jika

bahkan,
   jika besok dunia hancur....
hari ini aku akan menanam pohon apel!!

Labuhandalam, 11 Juli 2013


Jeratan Tali

Lengan-lengannya melengkung
apabila direntangkan ke depan akibat jeratan tali dan siksaan di penjara
Di punggungnya terlihat jelas bekas luka bakar
Ia dibesarkan di kamp kerja paksa
sehingga tidak peka terhadap konsep keluarga
Ia sendiri yang melaporkan ibu dan saudara lelakinya ke sipir
begitu ia mengetahui keluarganya berencana kabur.

Bandar Lampung, Januari 2014



Ketika Aku Harus Memilih

Aku pernah berpikir bahwa setiap manusia pasti ingin memiliki kekasih
Kekasih yang akan terus bersama
sehidup semati dalam suka duka yang tak akan terpisahkan

Aku pernah berpikir
setiap manusia pastilah punya goresan masalah
dengan manusia lain
sehingga wajar jika manusia memiliki musuh

Kini aku memilih menjadi setan
sebagai musuh utamaku
sehingga aku lebih memilih melepas kebencian, dendam, rasa sakit hati,
dan permusuhan dengan manusia lain

Aku pernah selalu kagum pada manusia
yang cerdas
dan manusia yang berhasil dalam karier
atau kehidupan duniawi

Sekarang aku mengganti kekagumanku
ketika aku menyadari
bahwa manusia hebat di mata-Nya
adalah hanya manusia yang bertakwa,
sanggup taat dalam menjalani hidup dan kehidupan

Dulu aku akan marah dan merasa harga diri dijatuhkan
ketika orang lain berlaku zalim padaku
menggunjingkan aku
menyakiti aku dengan kalimat yang di sengaja untuk menyakitiku

Sekarang aku lebih memilih
untuk lebih bersyukur dan berterima kasih
ketika menyakini
bahwa akan ada transfer jika aku mampu bersabar

Dan aku memilih tidak lagi harus khawatir
karena harga diri manusia
memaknai arti dan mengerti dengan pencerahan keseharian
hanyalah akan jatuh di mata-Nya
ketika rela menggadaikan untuk mengikuti hasutan setan


Bandung, Januari 2011


-----------
M Sidik Mustofa, lahir di Baturaja, 7 November 1966. Sempat menggunakan nama Andika Sidik, ia pernah pentas bersama Teater Krakatoa yang dipimpin/sutradara Ganti Winarno dan bergabung dalam Himpunan Remaja Pencinta Seni Lampung (HRPSL). Karya-karyanya dimuat di berbagai media dan antologi bersama.


Lampung Post, Minggu, 8 Maret 2015

Sunday, March 1, 2015

Sajak-sajak Humam S Chudori

Belajar pada Ikan di Laut

Belajar pada ikan di laut,
pasti tak terpengaruh lingkungan
sebusuk apa pun pergaulan 
sebab ikan tak pernah asin
kendati hidup di air asin

Belajar pada ikan di laut
nan tak patah semangat
berjuang di alam bebas
bertahan hidup dalam ganasnya
alam bebas, hidup pasti optimistis

belajar pada ikan di laut
tangguh, tak pernah malas
berenang ke sana-kemari
mencari makan yang disediakan
Yang Maha Pemberi

belajar pada ikan di laut
tahu diri tak cari rezeki
di luar habitat
tidak ekspansi ke sungai
sebab ikan di laut memahami
meski di air tawar ada rezeki
pun di air payau ada rezeki
ikan di laut tak pernah kemari

kenapa tak belajar pada ikan di laut
padahal usia sudah di ujung maut.



Perempuan Pembunuh Sahabat
        - eFHa

Entah apa warna perasaannya
tikam teman lewat rayuan gombal
hujamkan kata-kata berdarah
kalimat-kalimat bernanah
tatapan mata berapi

di balik kerudung nan indah
senyumnya tebarkan serakah
catatan sejarah coba diubah
lewat rekayasa yang digubah

gara-gara ulah itu perempuan
warna-warni aroma kematian
dijajakan. lewat puisi
pembunuhan massal terjadi
nurani kawanku nyaris mati 

       12 Feberuaruari 2012 / 2015



Berguru pada Sufi

Hidup itu indah
jika sering diguyur gelisah

hidup itu bahagia
jika pernah diterpa derita

hidup itu nikmat
jika tanpa perbuatan maksiat

belajarlah pada yang kenyang
dengan kelaparan
bergurulah pada kaum sufi
yang sudah mati
tapi masih berjalan di atas bumi
agar hidup lebih berarti.

   

Setelah Kita Berpisah
-bagi SK

Rindu aku ingin menyuapimu
seperti ibu menyusui anak
tapi waktu telah memisahkan kita
kau di sana, entah di mana
sedang aku masih di sini
menunggu wangi, aroma surgawi
dari yang sangat kucintai

kenapa Tuhan tak ajarkan lebih awal   
makna cinta hakiki nan kekal
bukan sekadar cinta monyet
bukan pula cinta insani
yang dibalut nafsu hewani
sekadar pemuas ego pribadi

hidup dalam kungkungan rindu
dendam kepada sang kekasih
terima amanah tanpa disuka
adalah hal yang menyakitkan jiwa
tapi harus dijalani dengan penuh rela

setelah kita berpisah
baru kupaham makna cinta sejati
baru kungerti arti rindu hakiki
baru kusadari takdir yang tak kita miliki
ibarat air yang mengalir
atau merembes ke dalam bumi


--------------
Humam S Chudori, lahir 12 Desember 1958 di Pekalongan. Tahun 1982 melanjutkan ke Sekolah Tinggi Publisistik (sekarang Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Jakarta. Mengambil jurusan Jurnalistik. Ia menulis puisi, cerpen, dan novel. Buku puisinya: Perjalanan Seribu Air Mata.


Lampung Post, Minggu, 1 Maret 2015

Sunday, February 22, 2015

Sajak-sajak Doddi Ahmad Fauji

Puisi tentang Menulis Puisi
Kepada Litaniar Qonakis Iskandar

Aku sangat percaya puisi
dan menulisnya
serupa jembatan menghubungkan
kita dalam cinta yang meledak-ledak
sejak itu, sejak aku tertambat
bibir-mu selalu merangsang imanku
aku ingin cucus
aku akan cucus tak henti-hentinya
aku pasti cucus hanya dengan-mu

Puisi telah menuntun-mu
pulang hanya ke arahku
puisi usai kutulis, kau membacanya
sebagai doa sebelum beranjak tidur
membuat Amerika yang bar-bar
jatuh dan bertaubat

Ketika pemuka agama meninggalkan puisi
bahkan menolak puisi dalam berdoa
aku bersetia dan berterima kasih
kepada puisi yang telah meyakinkan-mu
akan bersamaku
hanya bersamaku
bercinta
dan beranak-pinak

Bandung, 2015

• Cucus adalah bercinta penuh gairah dengan direstui Tuhan dalam pelaminan


Kado Ulang Tahun
Kepada Litaniar Qonakis Iskandar

Selamat ulang tahun My Dear
kau akan selalu jadi sesuatu
belum ada kata untuk menandainya
kuciptakan diksi baru
kelak dientrikan dalam kamus resmi
kau adalah Litaliarisme-ku

Kau tiba-tiba muncul
ketika aku kehilangan banyak
dinyatakan gila oleh seluruh dokter
pengikut-pengikutku berhianat
karena tercerabut dari akar
senyap ruang batinku

Musuh-musuhku memasang ranjau
pada setiap jalan yang kutempuh
menuju ke arah-mu
tapi aku tak gentar

Kehadiran-mu sangat sesuatu sekali
kemarau 3,8 abad yang menjelangku
mendidih oleh sedetik keseluruhan-mu
dan aku sangat yakin telah mencintai-mu
percintaan kita niscaya dilestarikan
di museum peradaban dunia
peleburan kita akan bangkit dan jaya
seperti FC Barcelona
yang meraih enam piala
dalam semusim kompetisi

Terima kasih Cinta
kuucapkan sebelum kado dirgahayu-mu
sebelum aku meledak bersama ranjau
biar tak seorang pun
merasa wajib menziarahi jejakku

Bandung, 2015

• Litaliarisme adalah paham filsafat baru tentang keliaran imajinasi yang menjadi ibu dari segala kreativitas. Diksi tersebut kuciptakan untuk menggambarkan Litaniar yang liar dalam visi dan imajinasi, sehingga kehendak penulisan puisi inimemenuhi kaidah perdiksian.



Puisi tentang Puisi Jatuh Cinta

Kepada Litaniar Qonakis Iskandar

Dan aku suka kau menyelaku
pikiran-mu lebih bijaksana dari Pancasila
tapi lebih bengal dari anak-anak liar
yang bangga dengan ketidakmandiannya

Aku berlatih bijak sekaligus liar
maka kuabadikan sungai Tigris
yang mengantarkan kejayaan Babylonia
kulestarikan laut merah
yang menenggelamkan Firaun
kupersembahkan hanya untuk-mu
melalui ciuman mautku

Langit runtuh dan laut terbakar
oleh ciumanku, dan musuh-musuhku
akan mampus bersama laut yang hangus
terkubur dalam reruntuhan langit
tentu sangat lucu dan betapa bodoh
bila dalam puisiku saja aku terkalahkan
dalam puisiku, akulah raja terkuat
dan kau permaisuri-nya

Bandung, 2015


------------------------
Doddi Ahmad Fauji, sastrawan angkatan 2000 versi pengamat sastra Korrie Layun Rampan. Kini bergiat di Sekolah Kewajaran Bersikap, Bandung, sebagai panembahan.



Lampung Post, Minggu, 22 Februari 2015





Sunday, February 15, 2015

Sajak-sajak Sihar Ramses Simatupang

Mimpi Eden

kau tahu mimpi itu, eden. tempat orang-orang melabuhkan kerja dan perih dari seluruh pengembaraan di dunia bawah sana. tak beda rahasia yang tersimpan ketika laut dan hampar daratan masuk ke dalam buntalan pak janggut. betapa selembar kain menutup biografi orang dan deret nama, kenang atau perbuatan - selesai seirama doa para pelayat.

kau tahu mimpi itu, eden. sarang sakit dari cita-cita yang tak tergapai, yang tak selalu diwakili jerit, bahkan lenguh pendek sekalipun. layar mimpi yang sobek, dayung yang patah, samudera cuma masa silam pada tatahan marmer nisan. batu adalah pena yang tertatah matahari-setiap hari. kerasnya mengiris udara; memang memuai tapi mewariskan luka.

kau tahu peristirahatan itu, eden. seharusnya kau bangga menampung semua yang sia-sia menjadi ada dan beranak-pinak disana. di antara buah dan aib kenangan; atau dosa keturunan yang lindap di taman-tamanmu-bersama lidah iblis dan cawat merah. kita tak hendak pergi, tapi semua sia-sia, sebagaimana kesombongan tanah lempung
hancur dalam cetakan Tuhan.

kau tahu kenangan itu, eden. benang adam dan hawa yang putus kerap tercipta lagi dari bulu dan jemari malaikat. orang di dunia bawah bahkan tak memiliki nostalgia sedikit pun di keriput otak dan mata rabunnya. tapi demikianlah, mereka memelihara gelisah di antara ketuk gerimis pada tubuh yang gemetar dan basah. mereka pelupa tapi mereka tahu di mana pintu dan jalan itu.

: semua menuju-Nya.



Waris Almanak

menyimpan hak waris almanak itu, tanggal-tanggal telah dilepaskan ketika kayuh kita sampai ke hari lepas yang masih berkeliaran. ada mantera, wasiat, dan air mata yang seakan merasuk ke pundi aladin, sehasta beban yang pernah diletakkan di pundak, jomplang dalam arus hari yang berpusar;

di bawah matahari yang memancari bunga-bunga, muncratlah benang sari mengejar putik di dalam gelap kemudian. ya, kita memelihara bebijian hanya untuk menjadi tunas di padang kenangan. tunas berdaun muda;

di padang itu, lalu oasis pun dipetakan, menjadi tempat air mata tergelincir lalu kita menggenanginya sebagai kolam-kolam kerinduan;

itulah ingatan, ketika tanggal menyisakan jejak di atas tanah -mungkin basah atau mungkin berdebu-setapak jalan liar menuju padang penghabisan;

berharaplah malaikat kelak mempertemukannya setelah rangkai perpisahan yang entah. dalam jawaban tak ada pangkalnya: ya, siapa tahu kelak masa itu bertemu jua di sana.




Peri Tutup Buku

demikian telah ditutup buku itu; maka gambar pun lenyap serupa kertas gosong di jilatan api-hanya hangat yang bersisa. ke mana kelak istirah dilabuhkan, katanya, bila akhirnya tak jadi tegukan teh di atas meja itu, bahkan pembakaran adonan belum sampai ke mulut. tidur pun tak jadi.
syahdan, pernah ada kisah-kisah dituahkan. tentang peri tidur yang merangkak dari dipan di antara senja. lalu terbang serupa camar; melupakan buku-buku. sebab peri lebih cinta laut dan petualangan. ketimbang rumah dan perpustakaan-apalagi buku gambar.




Ajari Aku

ajari aku menjadi batu. sebab kutahu beringin dan cemara
tumbang dilapuki musim dan waktu. dalam diam, bongkah

mengalahkan getir dan sangsai.
walau dingin, walau tumpat, walau padat. tapi kekal.

hanya kalah,
oleh putih yang metah
: bila saatnya...



Kalau Dunia

kalau dunia melupakan jejak pena di lontar dan kertas. melainkan hanya mencatat huruf dan angka di tugu sebagai sejarah. maka, serahkanlah pada tanah dan hujan dan matahari, yang bersiap membusukkan dan mengeringkan. demikian kedua peristiwa terjadi, hingga masa lalu menjelma fosil. dan sejarah menyembul bukan di tanah ini, tapi di lapis ke berapa, ratusan tahun, ketika engkau dan anak dan cucu mereka sudah tiada...

demikianlah kita tak pernah takut pada sejarah, sebagaimana pohon yang dalam kekeringan batang pun kelak berbunga. lalu beringin menghasilkan tunas ketika bijinya berada dalam tembolok burung yang mengarungi samudera di dua benua. demikian sajak, menggarisbawahi jejak besar hidupmu, menyeretnya dengan seribu makna melalui keakraban satu-dua kata.



--------------
Sihar Ramses Simatupang, kelahiran Jakarta, 1 Oktober 1974. Pernah kuliah di Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Sam Ratulangi, Manado (1992-1993) dan menamatkan studi sebagai Sarjana Sastra di Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya. Bergabung di Komunitas Gapus dan Teater Puska di Surabaya juga ikut mendirikan komunitas Rumpun Jerami dan pernah aktif dalam diskusi rutin Meja Budaya di Pusat Dokumentasi HB Jassin, Jakarta. Buku puisinya: Metafora Para Pendosa (2004), Manifesto (2009), dan Semadi Akar Angin (2014).


Lampung Post, Minggu, 15 Februari 2015

Sunday, February 8, 2015

Sajak-sajak Dahta Gautama

Aku Tersesat di Perut Jane

Kureguk dengan ketegangan yang gawat
cangkir terakhir capucino, pemberian Jane
pelayan cantik bermuka merah jambu itu.
“anda minta saya membuatnya kembali,” tanya Jane.
“tak usah, engkau duduk di sini saja. di bangku ini. saya dingin,” sambil kurengkuh bahunya.
Begitulah, pada malam yang jahat
aku memasuki perempuan pemilik bokong padat itu
di kafe yang sebenarnya tak aku inginkan kehadirannya.
Aku tak pernah yakin
apakah perempuan pasti mati dalam pelukan
lelaki layu. atau ia sudah dusta pada kelangsungan
kejujuran lain. namun malam ini, aku benar-benar tersesat
dalam prilaku busuk.
Cuaca di luar buruk, malam tak bisa selamat
karena jarum jam telah berhenti diangka lemah.
namun aku tak punya alasan yang runut
untuk membiarkan perempuan itu pergi dari perutku.
“kita selesaikan saja. anda sangat gelisah, saya tak nyaman,” pinta Jane.
“baiklah, kita hentikan. malam pun sudah terlalu busuk.
saya ingin tamat. saya tak ingin memelukmu selama hayat.
pergilah.”
Bintang telah redup, lampu-lampu lemah sinarnya.
aku pulang ke rumah, melalui jalan gelap dan lembap.



Kopi Terakhir Penyair

Aku sangat hirau jika engkau sakit
dan mati. Meski aku paham, bahwa lelaki
adalah manusia, yang juga memiliki
sifat alamiah, seperti hewan juga.
Maka, pada malam yang tajam ini
aku memintamu untuk berhenti menulis
puisi tentang sayap kupu-kupu. Bukankah engkau
tahu, begitu sering, penyair menulis kupu-kupu?
Apa hebatnya, kupu-kupu, ia cuma bisa terbang
pendek dan hinggap di tempat yang rendah.
Sudah, habiskan saja kopi itu
barangkali menjadi minuman terakhir
sebelum engkau pulang ke rumahmu
sebelum engkau menemui kondisi lain
dari cuaca yang sering buruk itu.


Persengkongkolan Anjing


Anjing-anjing berburu tuhan di rumahmu, di tempat yang paling basah dalam keluargamu. Istri selalu mengira, bahwa engkau pulang membungkus nabi dalam tas ranselmu. Ia tak pernah memahami, gerakan anjing bisa melukai rumah tangga.
Demikianlah, anjing mencarinya, dan menemui tuhan di rumah itu. Sementara engkau, menjadi lelaki yang selalu marah. dan tuhan, tak pernah memberi mukjizat pada laki-laki jahat, maka engkau hanya dapat menjumpai perempuan kering di atas ranjang berderik. Nabi yang dipuja istri, tak pernah engkau bawa pulang. padahal engkau sudah terlalu payah untuk bernapas.


Rumah Anjing

Rumah bercat abu-abu itu pernah dihuni oleh orang-orang yang ingin pulang. Saban sore, mereka ngobrol tentang lengking anjing yang berasal dari ladang yang berada di sebelah kanan dapur. Kata ayah, gonggong anjing itu sangat buruk, lengkingnya tidak memanjang dan mengerecut. Berhenti di tengah, serupa kakek ketika batuk.
“Sangat mengganggu, seperti bunyi deham lelaki TBC,” ujar ibu.
“Kalau begitu, kita sembelih saja. Dagingnya kita bagi tetangga,” kata ayah.
“Bagaimana kalau rumah ini kita jual,” saran ibu.
“Jadi, kita tak perlu membunuh anjing,” lanjut ibu.
“Begini saja, anjing itu tetap kita bunuh. Kepalanya akan saya pukul pakai linggis, supaya tak berisik,” kata ayah.
Maka pada sore yang jahat, anjing berbulu coklat yang buruk rupa itu, mereka bunuh. dan bangkainya, di tanam di tengah rumah. Setelah itu, mereka menjual rumah itu kepada pendeta.


Tuhan Yang Sama

kepada Saprudin M Suhaemi

dia sudah jauh memperkenalkan aku kepada sunyi.
selalu sunyi yang ia tawarkan. padahal aku
tak sudi menerima sunyi sebagai keadaan lain dalam hidup.
aku bersama dia memilih Tuhan yang sama, sebab itu
kami sepakat untuk tidak pernah lupa cara berdoa.
begitulah, kami ucap doa yang sama, namun
memiliki sunyi yang berbeda.


-----------
Dahta Gautama. Lahir di Hajimena, Lampung Selatan, 24 Oktober 1974. Menekuni sastra secara serius sejak tahun 1993. Buku puisi: Ular Kuning (2011) dan Manusia Lain (2013).


Lampung Post, Minggu, 8 Februari 2015

Sunday, February 1, 2015

Sajak-sajak Rizkia Hasmin

Jalan Berkelok di Palupuah

Pohon-pohon tegak rimbun di sisi jalan sudah tinggal jauh
sebentar lagi jalan akan berkelok melewati cadas tebing tinggi-tinggi
cermin besar di kelok jalan itu masih tetap sama
:memantulkan bayang-bayang pohon di sisi jalan yang berliku

Di tepi jalan, kedai-kedai kopi berjejer
menebar harum kayu manis ke pangkal hidung
singgahlah, sekedar menjaga cerlang di matamu yang kantuk
menyeruputnya dalam bisu paling lama
menyelinapkan mata ke sebuah rumah bagonjong
anak gadis yang menatapmu itu memiliki rona  pipi merah jambu

Di balik kelokan pohon cemara
ada jalan melewati tikungan paling tajam
tubuhmu berguncang berayun-ayun
dalam hati kau berkata, aku selalu mabuk melewati
kelok jalan di palupuah

(2014)




Menggambar Hujan

Di luar, udara sedingin tubuh bambu
aku menggambar hujan dari balik kaca jendela
embun mengalun, luruh lembut ke ujung-ujung daun
membeku, berkilauan dipandang mata.
oh semesta.

Di luar, udara harum bunga jambu
aku menggambar rona semerah saga dari balik kaca jendela
di wajahmu Sumur mengalir mencapai jantung
melaju kencang menggapai ngilu batang punggung

Di luar udara sejuk teduh mata perdu
aku menggambar tatapmu dari balik kaca jendela
sepasang mata yang diam-diam menikamku
dengan jarum-jarum yang menukik dari atas langit

Aku menggambarnya dari balik kaca jendela

(Padang, Juni 2014)



Menunggu Durian Jatuh

Di dangau, kami menunggu durian jatuh
Hanya yang lepas di tampuk.
Sebab jika diperam, harganya tak seberapa.

sejak kanak-kanak, orang tua kami selalu mengatakan:
Tunggulah buah itu lepas di tampuk.
Perhatikan daun-daun yang luruh menunggam tanah.
lihat warna dan raginya.

Jika merah tua, bersiaplah turun dari dangau,
sebab sebentar lagi, buah bakal jatuh menampuk
Daun yang luruh menunggam merupakan petanda pesan:
Sesuatu bakal jatuh menggema menghantam bumi

Lekaslah berlari sebelum ada yang mendahului. 

(Padang, Juni 2014)


Orang-Orang Gunung

kami lahir dari kuntum bunga nyala
di pendapa, kami dibuahi lewat doa pada riuh air gedabak
tinggal di sebuah negeri tempat limbubu saling bertemu

kami lah orang-orang gunung
pada pendar bulan kami duduk bersimpuh
bicara tentang bedil; ujungnya runcing seperti ujung gading
panjangnya setengah depa orang dewasa.
jika bidik tepat ke mangsa 
pastilah tembus  ke pangkal dada

kami lesap di antara lembah yang limbung
naik-turun batu. berbagai nama berbagai rupa
penat betis hingga pangkal paha
berjingkat di bibir tebing
kalau terjengkang tinggal lah nama

di sini tempat kami bernyawa
di dasar lembah tempat situkah bermuara
mari tembangkan doa seiring dian menyala
dua tiga pelatuk ditarik seirama.

sambil menyelam kau cari jua dengan gigil
yang membikin gigimu saling beradu.
sedang si buyung malah asik mengepul nipah
sambil komat-kamit membaca mantra.

di sana, di pucuk gunung
di sebalik lembah: pekerjaan sedang dirampungkan

di dapur, emak sendirian menanak nasi,
upik tengah asik dengan parutan kelapa.
bungsu di kebun belakang memetik semanggi,
gardamunggu dan ruku-ruku.

bapak masih saja bergelung sedari pagi.

(Padang, April 2014)


Burung Pemikat

di tajuk pohon berdaun lebat
ia mengulur tali penjulang ranting
getah tarap getah cempedak
dibuhul ke cabang-cabang kering

aku burung pemikat dari pucuk bukit pematang kabut
dibawa anak orang simpanglangsat
jika kau tawar tak harap dapat

sisi dagu biru memukau
badan tegap mahir berkicau
ekor sayap hijau benderang
sekali kepak sampai ke sarang
leher pipi hitam mengkilat 
tersebutlah ia burung pemikat

aku burung pemikat dari pucuk bukit pematang kabut
menetaskan berpuluh telur dalam sekali eram 
merampungkan buruan dalam sekali jerat
sekali pikat

di tajuk pohon berdaun lebat
di lereng bukit pematang kabut
ia anak orang simpanglangsat
mengintai buru berharap temu:

si paruh lurus berpangkal tebal
leher panjang padat berisi
pemakan kelabang dan ulat bambu

di lereng bukit pematang kabut
ia sedang mengukur jarak
tanpa jejak tak ada derak
tak hendak tekukur merbuk atau jambur
tak ingin sisik pecah tak harap tuah
yang aku tuju hanya satu
sekali kepak datang padaku

(Pasa ambacang, Mei 2014)


----------------
Rizkia Hasmin, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang.


Lampung Post, Minggu, 1 Februari 2015

Sunday, January 25, 2015

Sajak-sajak Rarai Masae Soca Wening Ati

Keindahanku

Angin dari barat,
selendang merah
berayun begitu cepat.

Tapi tiba-tiba hanya suara
yang perlahan mengecil.
Menjadi sangat kecil, 
Bisikan-bisikan yang menakjubkan.

Tubuhku menari
Walau aku tidak mengerti
apa arti tarian ini.

Cahaya-cahaya malam, 
sebuah lilin yang dapat menghiburku
Tapi hujan terlalu cepat turun
Lampu padam dan menjadi senyap

Aku memimpikan negeri yang sangat jauh 
Berlayar meninggalkan kota gelapku
Suara-suara teriakan memanggil namaku.

Aku terus berjalan sambil membawa senyumku
Dan bila saja kau percaya, bahwa sesungguhnya
aku yang membantumu menyentuh yang indah



Buku Tua tentang Indonesia

Ada gaun putih kaku di bangku kayu
Bangku yang bertahun didatangi hujan dan kemarau
Ada seekor burung kecil hinggap di depan rumah panggung
sementara di kejauhan, lonceng gereja berdentang memecah sunyi

Kain hitam yang menutupi wajahku
adalah langit yang memeluk malam
Bangunan-bangunan tua yang sering kudatangi
adalah pohon-pohon hijau tempat burung-burung
membangun sarang, bertelur, dan belajar terbang
mengenal dunia, juga mengenal sayapnya sendiri

Di tanah yang subur ini
Kuhirup aroma dupa yang merebak
Dari candi dan pura
Kulihat lilin-lilin dinyalakan di permukaan danau
Dan seorang wanita berkerudung merah
Berdoa di pinggirnya

Buku-buku tua yang diwariskan para leluhur
Adalah buku yang sama dengan buku yang berjatuhan
dari mimpi ibu Pertiwi
Kata-katanya bermunculan, membentuk kalimat
Menjadi upacara-upacara adat dan lautan kenangan

Lalu anak-anak membacanya di bawah pohon
di antara gelak tawa, petak umpat, dan permainan congklak
dan usai salat subuh para penyubuk1) kecil
akan menggangguku dengan topeng sekura2)

Tapi kini di antara rimbun bakau, kulihat ombak yang lampau
ombak yang pernah melayarkan perahu kecil
perahu yang membawa teman-temanku menjauh
ke dunia maya, dunia tanpa peta

Dan lewat sajak ini
aku terus menyeru mereka kembali
Ke bumi dimana pertiwi menanti

Istana Kepresidenan Bogor, 9 Agustus 2014


1) Para bujang atau anak laki-laki yang menggoda teman perempuan dengan menggunakan sarung untuk menyamarkan diri mereka
2) Topeng khas Lampung yang biasanya dikenakan pada pesta topeng setelah Idulfitri




Mata yang Menjauh dari Teduh

Mata yang menjauh dari teduh
Senyum yang hilang dari wajah

Aku sendiri, tanpa ingin dan angan
Sepatu lama kuletakkan di depan pintu

Di lapangan cokelat anak-anak bermain
Bertelanjang dada di bawah matahari merah

Peluh menjadi keluh

Aku tertegun membayangkan diriku
Kepayahan dilanda rindu, berlari di bawah hujan

Mengejar permainan yang telah tak ada


--------
Rarai Masae Soca Wening Ati, siswa Kelas IX SMP Global Surya, Bandar Lampung. Prestasi terakhirnya, setelah menang di tingkat provinsi, ia meraih juara pertama Lomba Cipta Puisi SMP dalam Festival Lomba Seni Siswa Nusantara (FLS2N) tingkat nasional (2014).


Lampung Post, Minggu, 25 Januari 2015

Sunday, January 18, 2015

Sajak-sajak Riki Utomi

Segalanya

segalanya akan terbilang saja ketika kau
mengingat satu persatu tentang luka.
gores lurus, pikir berarus, bintik yang ketus
membungkus paling halus ke tiap tidurmu.

segalanya mungkin terbuang, satu demi satu.
di segala arah yang pupus. kita mencoba
meronta. pahit dan manis di makan bersama.
tawar dan asin di minun bergema. hal itu
membuncah sampai kita tak ada.

(selatpanjang, 2015)


Titik Malam

di titik malam adalah energi paling teguh
merambat pikirmu. apa saja mencoba menyesuaikan
segala bentuk kata-kata. aku dan kau membuncah,
menjengah untuk dapat memasuki ruang paling indah.

ke titik malam mungkin sentuhan yang tak dapat
lagi berkata. kata-kata pupus, hanyut, dan entah
kemana. hanya akan dapat kita aduk dalam hati.
menyetelnya selaras tik-tok jarum jam yang dingin.
lalu membuangnya ketika datang pagi.

lewat titik malam adakah yang kau risaukan lagi.
setelah aku menempuh seluruh ruang pikirmu.
mempretelinya satu demi satu hingga tak bersisa.
kau makin menjauh. menyepai ke dalam malam,
mengunci di gelapnya.

(selatpanjang, 2015)


Pedang Kayu

bocah itu menyulap kayu menjadi pedang. di genggamnya
dengan yakin bahwa hari-hari seperti perlawanan melawan
kezaliman. pedang kayu dalam genggam itu menjadi nyata
dalam pikirnya; kelak dapat meminum darah, memakan
pikir yang jengah.

melintas saja deru mobil kilat, menyilau mata. ketika pintu
terbuka, bocah itu langsung menghadang; “serahkan kuasa
kalian!” lengkingnya bagai anjing. seraya menghunus
dengan yakin, sedang pedang kayu di genggamannya itu
hampir patah. matanya tajam—mata elang—menghunus
ingin memakan.

(selatpanjang, 2015)


Dilema

dilema kita sekarang adalah:
tangan menghapus kejujuran.
hati ditumpas ketimpangan.
bibir dipoles kehinaan.
mata menculas menekan tajam.

dilema kita berujung pada:
daun yang bergoyang dengan
gigil menguning tubuhnya;
apakah kau terasa? debar
hatinya dan getar gelegar,
apakah kau bersedia?

dilema kita menukik pada:
kata-kata tajam, menusukmu.
sepi enggan mengungkap
apapun. kau menggigit jari.
menyumpah mengapa kau
terlahir hari ini.

(selatpanjang, 2015)


Kita Ada, Waktu Menjelma


kita ada, kalaupun tidak, aku menemanimu
sampai kau hilang. titik-titik gerimis yang gugur
adalah kata-katamu mengguyur hati, larut
begitu saja tanpa kita tahu.

lalu, seperti apa harus kumaknakan hari-harimu?
padahal kau tahu waktu begitu lesap. dia memoles
segala yang ada dan kau pasti lenyap entah kemana.

(selatpanjang, 2015)


---------------
Riki Utomi, lahir di Pekanbaru, 19 Mei 1984. Menggerakkan wadah kreatif kepenulisan Cahayapena. Sejumlah puisinya terangkum dalam antologi bersama. Buku fiksinya: Mata Empat (2013).


Lampung Post, Minggu, 18 Januari 2015

Sunday, January 11, 2015

Sajak-sajak Beni Setia

Body and Soul

peluit kencang,
kereta berangkat. kau
menuju kubur

tak sempat lagi
melambai, perpisahan
dipastikan dengan

takdir. tak sempat
pamit, dan dipastikan
pisah. terpecah

2014


Rain Forest

gerumbul rumput
air di tepi telaga—
petang menyeret

kabut, menutup
ruang dengan kelambu
—bayangan perdu

—: tegakkan pohon
senyap. embun membeku
pada pelupuk

2014


Sirath Al-Mustaqim

diam ataupun
bergerak: runcing pisau
membelah tubuh

terbelah lagi,
sakit lagi, dan utuh
lagi. menyeberang

rentang sembilu—
jembatan rasa salah
dan penyesalan

2014



Hell's Zone


ini kutukan
dibangkitkan kembali
: ruh diujudkan

juga sakit dan
virus dalam sekujur
tubuh. berkali

mati dan hidup—
tanpa awal tak kenal
akhir. siksaan

2014



7 In 7

tak ada sabtu,
tak ada minggu. tidak
kenal liburan

jumat ataupun
senin sama semata
—dosa melulung—

siksaan sesal
ada di balik pintu
: tobat tertutup

2014



Aids
dalam lipatan
terdalam si kelamin
tersimpan virus

—hiv. lantas
terjagakan orgasme
: kamu terjangkit

2014


---------
Beni Setia, pengarang


Lampung Post, Minggu, 11 Januari 2015

Sunday, January 4, 2015

Sajak-sajak Edi Purwanto

Nekropolis

dan bayi-bayi pun terlahir
serupa anak panah yang lesat
ciptakan manusia-manusia
penghuni sudut kota
rerumah dan tanah lapang
tak lagi ada
angkara adalah menu harian
yang terhidang di atas meja
siap disantap kapan saja
sejarah baru pun tercipta
atas matinya sebuah kota

2013



Dongeng Ibu

di halaman depan rumahnya
seorang ibu menyuapi anaknya
lantaran buah hati tak gairah menyantapnya
ia pun bercerita

bila engkau tak mau makan
kelak ayammu akan mati sia-sia
anak kukuh pada pendiriannya
lahirlah cerita kedua

bila engkau tak mau makan juga
nasi ini akan menangis meratapi nasibnya

2013


Hilang Silsilah 2


dalam baur pesta pora
tetamu bercengkerama penuh suka
sanak saudara cerita asal mereka
agar tak salah tutur mesti dikata

linglung
bingung ucapkan kata
yang pantas disematkan pada mereka
sebagai ikatan tali saudara

2014


Pepes Patin

seekor patin padat berisi tubuhnya dimutilasi
dilumuri ramuan aneka rempah
diselimuti hijau kemangi
dikafani daun pisang

didih air bergejolak dalam panci terus menemani
hingga tubuh matang mengundang lidah penuh gairah

2014




Elegi Sempalung, Patil, dan Ambon

kami adalah anak-anak
yang terlahir dari seorang ibu bernama damar
kini kami piatu lantaran ibu mati
dibunuh mesin-mesin bernyanyi merdu

2014



Pengabdi  Sejarah


tak banyak yang bisa kuceritakan
tentang masa lalu negeri ini
semisal lewat puisi atau aneka referensi
sebab aku adalah pengabdi
yang hanya dapat bercerita
lewat sapuan kuas
dan cat warna-warni
di atas kanvas ini

2014



Ngidam

rindu meruah
sampai di ujung lidah
pada buah mewujud gairah

sungguh
bukan napsu hamba serupa itu
semua lantaran pinta sang raja dalam istana
sebentar lagi turun ke dunia

2014


-----------
Edi Purwanto, lahir di Sindangsari, Natar, Lampung Selatan, 7 Juli 1971. Menyelesaikan pendidikan sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung. Saat ini mengabdi di SMA Negeri 2 Negerikaton, Pesawaran.


Lampung Post, Minggu, 4 Januari 2014