Dalam Mimpi
Dalam mimpi, apa pun bisa terjadi
Nuh tidak karam di atas bukit
dan Ismail berlari dari puncak Moria
karena itu jika tadi malam
aku tak sempat membasuh kakimu
dan membisikkan hasut musim
ke telingamu, yang pernah mendengar
Suara Pertama itu, maka maafkan aku
dalam mimpi, apa pun bisa terjadi
kita tak jadi diusir dari Taman itu
dan Bapa, serta seluruh bala tentara-Nya
tak jadi menghardik kita
kemudian kita jadi kekal
api berahi dalam sulbimu
menelusup ke segenap rumput—
peraduan bagi hasratmu dan fitnahku.
(2014)
Kotamu
Kotamu adalah bulan Agustus yang menggigil
diterpa hujan dan aku adalah asmara yang selalu gagal
membasuh mulutnya sendiri—bahkan dengan sebulir air
kotamu adalah bulan Agustus yang meringkuk
di pojok kamar dan aku adalah asmara yang selalu gagal
mendayung perahu di hijau laut hatimu
kotamu adalah bulan Agustus yang bersin-bersin
di bangku taman itu dan aku adalah asmara yang selalu gagal
mencatat akhir amis kalimatmu
kotamu adalah bulan Agustus yang tersesat
di rimba rinduku dan aku adalah asmara yang selalu gagal
membuat peta bagi firman yang yang yatim-piatu
kotamu adalah bulan Agustus yang fana
dan aku adalah asmara yang selalu gagal
mengucap cinta di sekujur tubuhnya
(2014)
Fitnah Kekasih
Katamu—namaku adalah lambat langkah jam
yang mengetuk-ngetuk gerbang kota
saat Sang Kekasih datang
dan mengalirkan air surga
dari ujung jari-jarinya
namun lambat langkah jam ini pula
yang membungkuk dan mencium lumpur
dari sisa sepatunya. Lambat langkah jam ini
yang membersihkan tempat tidurnya
dari kerumunan fitnah dan mata dan bibir
yang tak yakin bahwa sepasang ular derik
telah pula tiba di balai kota
katamu aliran air surga itu takkan mampu
menghilangkan dahagaku. Sebab fitnah
telah melapisinya
dengan semacam kulit licin
milik seorang nabi yang berkhianat
namun memang tak kuhirup air
dan harum surga itu. karena Sang Kekasih
telah membenamkan tubuhku
ke dalam tubuhnya
saat langkah jam termangu
di bibir purnama.
(2014)
Tangan Hasrat
Kuhasratkan tanganmu, yang adalah tangan hujan
yang sejak kecil kulihat memungut daun-daun alpukat
di halaman depan
kuhasratkan tanganmu, yang adalah tangan hujan
yang ketika remaja kulihat membakar daun-daun alpukat
di halaman belakang
kuhasratkan tanganmu, yang adalah tangan hujan
yang ketika dewasa kulihat memotong daun-daun alpukat
dari tangkai malam
kuhasratkan tanganmu, yang adalah tangan hujan
yang ketika tua kulihat mencari daun-daun alpukat
di dalam kenangan
(2014)
-------------
Ari Pahala Hutabarat, menulis puisi, esai, dan menyutradarai teater. Saat ini masih kuliah di Program Pascasarjana Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unila, sambil jadi Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) dan jadi konsultan batu akik di Komunitas Berkat Yakin (Kober) Lampung.
Lampung Post, Minggu, 14 September 2014
Dalam mimpi, apa pun bisa terjadi
Nuh tidak karam di atas bukit
dan Ismail berlari dari puncak Moria
karena itu jika tadi malam
aku tak sempat membasuh kakimu
dan membisikkan hasut musim
ke telingamu, yang pernah mendengar
Suara Pertama itu, maka maafkan aku
dalam mimpi, apa pun bisa terjadi
kita tak jadi diusir dari Taman itu
dan Bapa, serta seluruh bala tentara-Nya
tak jadi menghardik kita
kemudian kita jadi kekal
api berahi dalam sulbimu
menelusup ke segenap rumput—
peraduan bagi hasratmu dan fitnahku.
(2014)
Kotamu
Kotamu adalah bulan Agustus yang menggigil
diterpa hujan dan aku adalah asmara yang selalu gagal
membasuh mulutnya sendiri—bahkan dengan sebulir air
kotamu adalah bulan Agustus yang meringkuk
di pojok kamar dan aku adalah asmara yang selalu gagal
mendayung perahu di hijau laut hatimu
kotamu adalah bulan Agustus yang bersin-bersin
di bangku taman itu dan aku adalah asmara yang selalu gagal
mencatat akhir amis kalimatmu
kotamu adalah bulan Agustus yang tersesat
di rimba rinduku dan aku adalah asmara yang selalu gagal
membuat peta bagi firman yang yang yatim-piatu
kotamu adalah bulan Agustus yang fana
dan aku adalah asmara yang selalu gagal
mengucap cinta di sekujur tubuhnya
(2014)
Fitnah Kekasih
Katamu—namaku adalah lambat langkah jam
yang mengetuk-ngetuk gerbang kota
saat Sang Kekasih datang
dan mengalirkan air surga
dari ujung jari-jarinya
namun lambat langkah jam ini pula
yang membungkuk dan mencium lumpur
dari sisa sepatunya. Lambat langkah jam ini
yang membersihkan tempat tidurnya
dari kerumunan fitnah dan mata dan bibir
yang tak yakin bahwa sepasang ular derik
telah pula tiba di balai kota
katamu aliran air surga itu takkan mampu
menghilangkan dahagaku. Sebab fitnah
telah melapisinya
dengan semacam kulit licin
milik seorang nabi yang berkhianat
namun memang tak kuhirup air
dan harum surga itu. karena Sang Kekasih
telah membenamkan tubuhku
ke dalam tubuhnya
saat langkah jam termangu
di bibir purnama.
(2014)
Tangan Hasrat
Kuhasratkan tanganmu, yang adalah tangan hujan
yang sejak kecil kulihat memungut daun-daun alpukat
di halaman depan
kuhasratkan tanganmu, yang adalah tangan hujan
yang ketika remaja kulihat membakar daun-daun alpukat
di halaman belakang
kuhasratkan tanganmu, yang adalah tangan hujan
yang ketika dewasa kulihat memotong daun-daun alpukat
dari tangkai malam
kuhasratkan tanganmu, yang adalah tangan hujan
yang ketika tua kulihat mencari daun-daun alpukat
di dalam kenangan
(2014)
-------------
Ari Pahala Hutabarat, menulis puisi, esai, dan menyutradarai teater. Saat ini masih kuliah di Program Pascasarjana Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unila, sambil jadi Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) dan jadi konsultan batu akik di Komunitas Berkat Yakin (Kober) Lampung.
Lampung Post, Minggu, 14 September 2014
No comments:
Post a Comment