Sunday, March 30, 2014

Sajak-Sajak Bunyamin Fasya

Di Persalinan
                   -Kahlo

Di persalinan.
Langit cerah.
Namun, Kahlo, yang agresif.
Memancarkan wajah merah sepa!

Seribu urat di wajahnya berbelit-belit
Seperti janggut beringin. Keunguan dan mengerikan.
Dan
Suara menjerit, melengking memecah kaca jendela
Kamar rumah sakit.

Di persalinan
Bayi bayimu tak menangis, hanya
Berenang
Di botol botol infus
Dan
Kanvas-kanvasmu kian sepuh tak tersipuh.

        2013


Di Sisa Hujan Kemarin

di sisa hujan kemarin,
masih saja suara desah itu merayap ke lubang telinga.
wangi pohon adas, kembang kertas yang dibalur butir gerimis
kian menyisit pelipis musim.

Dan antara aku dengan Aku
saling menyapa.

di antara jendela.

2013


Di Smoking Area

Di smoking area aku duduk menunggang asap. Orang orang
Menunggang asap juga. Laki-laki bertato sebelahku duduk
Merokok sambil bermain Blackberry. Dua orang laki laki di meja depan
Merokok sambil bermain tab.
Aku lihat sinyal sinyal; menunggang asap, kepala, dan meja.
Ke sana ke mari melintas di udara.

Aku tidak bermain apa apa. Jariku hanya memegang rokok.
Mulutku menikmati isapan. Lalu, lalu lalang orang-orang
Seperti menunggang kenangan.

Di smoking area. Tak ada ucapan sedikit pun. Semua diam
Dan sibuk sendirian.

Di gerbang depan. Aku tertegun. Melihat seorang satpam yang sibuk
Menangkap asap dimasukkan ke saku celananya.
“He...he... lumayan buat anak anakku.” Katanya?


Seorang Wanita Sederhana Sedang Menggoreng Kebaya

Dia seorang wanita sederhana. Setiap hari Selasa,
dia selalu menggoreng kebaya di dapur.
Dia siapkan buat makan sore anak-anak
Dan suaminya. Mereka selalu minta digorengi kebaya
Sepulang pengajian dan kerja seharian.

Dia seorang wanita sederhana. Umurnya 50 tahunan.
Di keriput keningnya,
Selalu meleleh kental kuah keringat. Dia menggoreng kebaya
selalu pakai suluh dalam tungku
Tidak pakai elpiji dalam tabung.
Kebaya itu bercorak kembang-kembang warna hijau toska,
Dan burung kolibri yang sedang mengisap sari madu.

Hari Selasa. Hari yang melelahkan bagi wanita itu.
Seperti sinjangnya yang lusuh,
Dan sudah berabad-abad dipakainya turun-temurun.

2013


--------------
Bunyamin Fasya, lahir di Tasikmlaya, 16 Novemberf 1978. Pengajar UIN SGD Bandung dan STKIP Sebelas April Sumedang.


Lampung Post, Minggu, 30 Maret 2014

Sunday, March 23, 2014

Sajak-Sajak Dahta Gautama

Rumah Penyair

Lelaki

Ia sudah tak mengenal tata cara yang benar menulis puisi.
Maka ia bilang kepada semua tamu yang datang
bahwa ia bukan penyair. Begitulah, mungkin lelaki itu sudah menjadi
apa yang disebut istrinya sebagai lelaki yang tak ingin menjadi berpikir.

Namun tak rela jika orang tak mengenalnya sebagai penyair.
Mengajari anak menulis puisi
Baiklah, ayah akan membaca puisi untukmu
ini pelajaran pertama, terserah jika kemudian engkau
menjadi penyair perempuan yang baik. Maka jangan menulis
puisi-puisi tentang lelaki.
Bulan busuk itu berada di sudut paling utara.
Ia diam di sana, mungkin sebagai jawaban bahwa
kesetiaan adalah takdir yang paling alamiah.
Rumah kita yang berada di pinggir kali
kena sinarnya. Maka kita akan menyebutnya sebagai
rumah yang tersiram cahaya. Setelah itu
tidurlah menghadap utara, di tempat bulan itu tengkurap.
Puisi untukmu, yang tak pernah dipesan
telah ayah tulis.


Meninggalkan Rumah Sebentar

kesalahpahaman yang paling buruk adalah cemburu
yang tak memiliki bau. Ketika engkau telah menuduhku
sebagai suami yang suka wangi perempuan lain, aku demikian
tersuruk, tak memiliki kesan apa-apa, bahkan atas pengalaman
pertama kita di atas ranjang.
Untuk memahami bahwa Tuhan adalah zat yang tak mungkin diperdebatkan
oleh percakapan, agar dosa-dosa tak menjadi
pembicaraan yang buram. Izinkan aku meninggalkan
rumah kita yang sesungguhnya mulai ranum oleh kemesraan.


Bertemu Perempuan Muda

Aku berkenalan dengan banyak kecurangan di luar rumah.
Ketika perempuan muda lain, menghadiahiku kecurigaan yang
berbeda. Aku menyebutnya sebagai perselingkuhan yang tawar.
Sebab tak ada rayu atau pembicaraan nakal.
Cuma mata kita saling beradu, kemudian kita menyimpan
diri sendiri ke dalam hati yang selalu mengeram
ke sudut lain dari keisengan belaka.
Sungguh, aku tak pernah sudi memeliharamu
dalam bentuk yang nyata. Rasanya pahit jika
cinta diakui sebagai perasaan. Padahal setiap aku bertemu
perempuan muda, di kepalaku penuh dengan rencana lain
yaitu cara cepat untuk pulang ke rumah.


Berhenti di Stasiun Pengisian Minyak

Harga-harga melukai perasaan kita. Semua pasti sudah kenal
dengan kebohongan lain yang suka kita tutupi oleh
bunyi yang keluar dari lubang anginmu.
Di tempat ini aku berhenti, stasiun pengisian minyak.
Entahlah, aku mengenangmu dengan tiba-tiba.
Perasaan yang aneh.
Aku mengkhawatirkan dirimu dalam kondisi sakit
dan tak ada yang memberimu pil
padahal engkau telah sulit.
Benar, cinta pasti meninggalkan jejak yang licin
Kemana pun aku berada pasti tergelincir.


Tiba-Tiba Turun Hujan

Ini kutukan yang paling sakit.
Aku tak pernah sampai di rumah
Hujan pun turun dengan sadis.
Ia tiba-tiba menghantam
dengan cara basah.
Aku mengerucut sebagai lelaki yang tak mampu
menulis puisi lagi.
Sebab itu, hujan tak menarik
sebagai bahan untuk menuai kalimat.


Kangen Anak Lelaki


Mungkin dia sudah pandai buat teka-teki.
Oleh karena itu aku rindu.
Barangkali dia sudah menjelma lelaki
yang gemar merayu.
Wajah dia mengelana di dada
tak pernah luntur meski hujan kemarin
telah menghilangkan ingatanku tentang
bulan.
Aku akan bilang kepada dia
bahwa aku adalah ayah yang tak
bisa menulis puisi lagi.
Agar dia tak berharap
aku pulang membawa gerimis.


Perempuan

Sampai juga aku pada perempuan itu.
Cara dia berjalan serupa belati yang menghujam
kesadaran terhadap kejahatan.
Dia telah memberi rencana lain.
Bikin sejumlah kekerasan yang berbeda
sebab dia mampu melunakan kecewa yang
batu itu.
Selalu begitu, aku ingin menanggalkan
semua pakaiannya dan melihat perutnya
yang telah menghamili puisi.
Melihat isi matanya yang merana
sebab berumah bersama penyair
yang hanya menulis kata.
                                     
Tanjungkarang Barat, April 2013




-------------------
Dahta Gautama, lahir di Hajimena, Bandar Lampung. Belajar sastra secara otodidak sejak 1987. Selama satu tahun (1998) bermukim di Tokyo dan Kyoto, Jepang, bekerja untuk Japan Foundation sebagai peneliti. Kini pemimpin redaksi mingguan Dinamika News. Buku puisinya: Ular Kuning (2011) dan Manusia Lain (2013).


Lampung Post, Minggu, 23 Maret 2014



Sunday, March 16, 2014

Sajak-sajak Julaiha S.

Pada Haluan Keramat

Kapal-kapal bermukin di dermaga
membawa piranti menuju langit
tempat mereka yang bepergian tak kembali
pada siang dan malam untuk sebuah tunggu
Mereka tak pernah mencari pembuktian dari janji
atau ihwal tentang setia pulang
namun degup ini serupa matahari dan jalan lengang di kotaku
setelah kita pernah mengajak hari bermain hingga rangas.
Selalu haluan pemberhentian paling akhir
untuk baris paling depan


Belgia
Bunga-bunga mekar
warna seibarat kamboja di pasir berkulit
aku melintasi waktu
dan terlihat orang-orang terpanggang nasib
Langit masih kelam dan buram
Jangankan kau minta pagi hadir, fajar saja masih begitu lama
Sedang kalbu belum dibasuh
Antara penunggu dan peluh
Memilah mana nafsu
Mana tabu
mana kelabu


Doa-Doa Para Penari

Padamu, Tuhan
tak banyak keinginan hendak kucapai
selepas pekerjaan yang tak menentu
denga gaji yang lanskap
dan alis yang selalu derai dengan rindu
Pintaku padamu
ada prasasti yang kubangun dengan tulisan
dengan kenangan
dengan perhatian
menuju tabiat paling mulia
Untuk hari esko
di puncak sebelum jari-jari yang rekat di tubuhmu


Ujung Penyebrangan

Sepertinya langit serupa daun mimba
asal berubah tentang kehadiran malam
tubuh manusia telah mengecil
dan hampa dengan mimpi pada hari itu
Sudah di ujung saya
aku masih berada tepat di belakang rumah tua, dekat tukang kayu
mirip rumah adat karo
dengan magun segitiga.
Semakin larut saja mantra digelar
matahari mulai terbata
menjaga hatimu di sana


Aku Ingat Malam Itu

Hampar lampu kota terasa gugup,
daun kering juga berupa senja.
Tak nampak lagi seperti apa.

Membawa bekal menuju istananya.
Saya sedang memikirkan itu-ini. setiap hari.
Betapa saya susah tidur.

Mengingat malam ke malam,
insomnia juga langganan dan
masih terselip mawar kering di sekat buku-buku debu.
Dia selalu tuturkan kuasnya walau sekejap.
“Betapa aku jadi jatuh cinta padamu, maha tahu segala dan paham semesta. Lihai mata kau
berkelip. Semoga kelak kita bertemu dengan anak-anak yang semakin dewasa”


-------------
Julaiha S., lahir di Medan, 11 Juni 1993. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Medan, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis bergiat di Kompensasi (Komunitas Mahasiswa Pecinta Sastra Indonesi) dan KPPI-Medan.

Lampung Post,
Minggu, 16 Maret 2014

Sunday, March 9, 2014

Sajak-Sajak Riki Utomi

Sunyi Luka

dapatkan kau berkata dengan lirih saja dari
goresnya yang menyentuhmu. lihatlah pada
matamu hanya menyisakan pejam yang semakin
rapat. tak ada ucap tapi sunyi yang terus melekat.

tahukah kau tentang luka itu? dia hanya sebuah
kesunyian yang kau nantikan. kesunyian yang
mampu menenggelamkan perih dan nyeri.
diam-diam kau mengharap mimpi untuk
melupakannya.

lalu luka itu menjalar. membuat debar dalam
sekujur tubuh. luka yang sunyi selalu menciptakan
mimpi untuk kau arungi sampai gelap terasa
tubuh ini.

(telukbelitung, februari 2014)



Kemungkinan Lain

untuk itu kau membuang kata-kata yang dapat
menyeruak pilu. bagimu tak ada gunanya
menyimpan itu. hanya menumpahkan air mata
yang sulit dihapus oleh puisi sekalipun.

kemungkinan lain kau mengharap mendung
bukan sekadar untuk hujan. tapi untuk diam
lebih khidmat. diam akan membuat hati dan
pikir bagai waktu pagi yang hening memeluk.

(telukbelitung, februari 2014)


Ujung Tombak

katamu ujung tombak tidak sekadar harapan.
tapi kepastian dengan gigil bila dihadapkan.
pada ujungnya segala bentuk hidup semakin
berpusar pada debar nyawa.

sudikah kiranya kau anggap itu hanya angan
belaka. sebab ada lena yang mengharukan
bila diucap. runtut ucapnya menimbulkan
luka. bila di sana kau menjadi fokusnya akan
buyarlah sepi itu tadi sangat ketara.

pada ujungnya hanya ada satu titik menandakan
satu tujuan. adakah kau menghela bila sampai
di sana? adakah kau meneteskan air mata
bila tepat detak nyawamu menghapus harapan?

(telukbelitung, februari 2014)


Diam Daun

diam daun bukan berarti bisu. dia kokoh
dengan caranya melihat kita. serat-serat
tubuhnya menyimpan harap dari tuhan.
ranting sebagai tempat pegangan bagi
jatuh tubuhnya yang mampir di selokan.

bisu pada daun bukan berarti kekalahan.
sunyi telah membentuk tubuhnya untuk
semakin hijau. ketuaan adalah rancu
tanpa sinar matahari. di sana kaki-kaki
digelitik oleh banyak godaan untuk
melangkah ke jalan abadi.

kekalahan bukan berarti mati pada dirinya.
meski rapuh dan jatuh di selokan takkan
membuat tubuh daun lenyap begitu saja.
harapnya akan terus ada memenuhi kita.
risaunya semakin padat ke pikir kita.

(telukbelitung, februari 2014)


Rapat Pintu

menutup pintu sebuah keharusan bagi kita.
nun di sana pada harum bunga adalah ibarat
nyawa dari pintu yang celaka terbuka.
tak ada yang diharapkan dari murka itu
tak ada yang disesalkan dari sia-sia itu.

pada tubuh-tubuh kita juga ibarat bunga.
kelopak harumnya mampu membuat hidup
lebih lama; diam-diam mencoba memangsa
dari latah dan goyah kita.

rapat pintu semacam keharusan pada kita.
tubuh-tubuh kita akan tak mengenal auman
tajam yang membuat gigil di sunyi yang purba.

(telukbelitung, februari 2014)


----------
Riki Utomi, lahir di Pekanbaru, 19 Mei 1984. Menamatkan Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Islam Riau. Pernah aktif di FLP Riau. Tinggal dan berkarya di Selatpanjang, Riau. Buku cerpennya Mata Empat (2013).

 

Lampung Post, Minggu, 9 Maret 2014

Sunday, March 2, 2014

Sajak-sajak Yuli Nugrahani

Sisa di Halaman Pembantaian

Sesaat malam memejamkan tapuk
tak sadar waktu terus berkayuh
pergi bersama kenangan lapuk
dalam sepi udara yang tertabuh.

Bukankah getar kekosongan adalah suara?

Tungkai tak lagi ada untuk dilipat
lengan tak lagi ada untuk mengatung
dan aku menatap bekas sayat, tanda
sepenuh kota itu pernah terantai khianat.

Bukankah gerak ketunaan pun punya harga?

Halaman Phnom Penh,
serakan tulang adalah stasi,
juga bukti.

Maret 2013


Tertembak Malam

Malam biasanya menjadi teman
kini menggumpal dalam selongsong
peluru Charlos Hathcock di ladang perburuan.

Aku mengincarnya dengan teropong
senjataku, namun aku yang dibunuhnya.

Malam berkhianat.

Oktober 2013


Musim bagi Trengguli

Di rumah lain aku bisa menemuimu,
kenari kecil yang penuh rinai.

Trengguli sudah sampai di musim bertabur
mencipta harum sebagai beranda
di sana, kita bercengkerama.

November 2013


Saat Tepat

Waktunya mencangkul, Sayang,
hujan sepanjang petang,
jamur di pokok tiang,

dan bungur sudah berkembang.
Ungu kelopak mataku,
biji-biji di saku,

menunggu.

November 2013


Dewi Gandari

Di akhir perbincangan, murai batu tak lagi bersuara
kau mengubah kata menjadi Dewi Gandari, tawanan
abadi jiwa yang luka.

Dengan tangan sendiri, kata-kata membelah dunia
dan menangkupkannya sebagai penutup mata
membekukan kelopak terpejam.

Tak lagi berarti, bahkan andai ada seribu mentari
atau keindahan cahaya dari ekor serangga suci
karena lenteramu telah mati.

Januari 2014



Kamar tanpa Suara

Penafsir mimpi mengambil jeda
di antara malam sepasang lipas.

Diambilnya seluruh kapuk berperi
dilepas dalam tampuk-tampuk mimpi.

Dan di ujung nada paduan ngengat
dia pergi lupa mematikan ingatan.

Meninggalkan kamar tanpa suara
meringkas malam di kantung mata.

Januari 2014



Pesan Angin Laut pada Pagi


Takdirku
adalah pantai siang hari,
mengantarkan nelayan
pulang ke bilik istrinya.

Tapi kau,
pagi, kekasihku abadi
tempat kuhamparkan
pasang sepenuh daya.

Januari 2014


--------------
Yuli Nugrahani, cerpenis, lahir tahun 1974, tinggal di Hajimena, aktif dalam bidang justice and peace, mulai memublikasikan puisi tahun 2013. Cerpennya selain dimuat di beberapa media, juga masuk antologi DKL: Kawin Massal (2011) dan Hilang Silsilah (2013).


Lampung Post, Minggu, 2 Maret 2014