Sunday, May 25, 2014

Sajak-sajak Isbedy Stiawan Z.S.

Dari Tubuh Hujan

tubuh hujan semakin jauh
dari sisa jejaknya tak bisa
lagi kubaca namamu

juga permata yang selalu
menyilau dari tubuhnya

mungkin di ujung petir
debar dadaku memanggil;

kau telah ditakdirkan
bercahaya dari jutaan batu
di dalam tanah,

menyeru-nyeru

26.12.2013





Kata Puisiku, Tubuhku Rindu

1
jika kau hanya mencintai puisiku
kau akan mendekap ke tubuhku
sekiranya kau ingin memilikiku
maka puisiku akan menolak kausentuh

dengan rindu apa kau dapat mendekati puisiku
senyum yang kaulukis di tubuhku
tak pernah jadi puisi

2
kata puisiku, tubuhku rindu:
namun jangan beri ciuman
dari pagimu yang bau alkohol

dulu katamu puisiku sewangi melati
hingga tersihir ke dalam ruang
seperti ngaceng belati
menusuk jantung; bersemi cintamu

hanya pada tubuhku
puisi akan raib dari ingatan

3
kata puisiku,

kita sepuisi
berlayar di atas bumi
menari hingga ke batas langit

dan hujan yang turun
menulis puisi ngungun
di tiap lekuk tubuhmu

"aku sudah menandai," kata puisiku

4
di kota mana
di penginapan yang mana
puisiku menuliskan untukmu
sepuas kecupan,
sedalam tanda

sepuah janji!
anak yang akan menjadi puisi
di hati...

5
kata puisiku,
kita sepuisi
tubuhku rindu

menghimpun katakata
sebagai tekateki
rahasia Ilahi

di sepanjang puisimu
aku tak lagi lelap...

Lampung, Akhir Desember 2013



Lalu Jalan Menunjuk Padamu

setiap meliwati laman ini
lalu jalan menunjuk padamu
aku tak cari arah lain
meski aku tak ingin berpapasan
apalagi menyapamu

lalu dengan cara apa
kukubur kenangan denganmu
pelan pelan?

sebab aku tahu di tubuhmu pualam
makin tumbuh banyak makam
menulis epitaph
atau cuma sebaris kalimat

sementara jejakku yang pernah
menulis kalam
mungkin sudah semakin kusam

tapi, kutahu;
suatu saat berbuah ayatayat

30 Desember 2013


----------
Isbedy Stiawan Z.S., lahir dan besar di Tanjungkarang (Lampung). Banyak menulis puisi, cerpen, dan esai yang dipublikasikan di pelbagai media massa daerah. Belasan buku cerpen dan puisi lahir dari tangannya. Terakhir, Perempuan di Rumah Panggung (kumpulan cerpen, 2013)


Lampung Post, Minggu, 18 Mei 2014



Sunday, May 18, 2014

Sajak-sajak Kinanthi Anggraini

Bunga Es

melihat malaikat jibril
memunguti bulu embun yang menempel
di setiap kaca di sekitar wawang tidur
serupa mendung yang surut bersama hujan
yang enggan menundukkan pandangan
saat memegang ekor petir dilangit-langit lemari

kerap kali sebuah benda tajam berkilau abu-abu
membenturkan taringnya di sisi ranting tubuh
serupa tahanan yang memonopoli perdagangan toko
duri-duri sombong sempurna dan kekal dengan prasangka

tapi tunggu, di matanya ada televisi
yang menyiarkan betapa buruknya perkiraan cuaca
getir beraroma pahit dalam tempurung kelapa beku
terbungkus oleh salju tiruan
tak terlihat ataupun kepanasan

sementara ingatan telah hilang tentang ikan-ikan,
daging giling dan sayur mayur
yang kulitnya tak sampai berkerut berhari-hari
sebelum sampai di mulut-mulut jagal bergigi

es terasa dingin
bersama manis gula yang terbawa oleh angin 
namun bunganya tak jua membeku
bunga yang menempel di atas
dinginnya perasanmu.

Magetan, 19 Maret 2014


Menanam Pasrah

barangkali aku tak bisa bergerak ke mana
untuk sekedar mendekat atau minum seadanya
bagiku itu bukanlah takdir yang pahit
kala tanah meretak dan resapan semakin sulit

kerap kali riang kala gerimis menyambang
menempel pada celah dan berkenan menggenang

berawal dari benih yang jatuh dari paruh
di pelataran merah bercampur kerikil, pasir,
dan batu-batu tambang
di depan goa putih kokoh yang berdiam, kala
langit menghitam dan badai meminta persembahan

daun, cabang, tumbang, lumpuh, dan hilang
tercabut dari tanah
hingga mengering ataupun musnah
kepasrahan yang takkunjung hilang
saat pandangan mata luntur dan berbayang
tak henti napas bersyukur, atas lahir dan berkah umur.

Magetan, 14 April 2014


Terlarang
: Wiji Thukul

suara beradu menggelegar
bersama gerak mulut menggelepar
tangan-tangan yang bergetar
yang belum sepenuhnya gentar

kami beradu argumen
di antara dinding semen permanen

sementara tak beradu mata
namun kami beradu kata
kata yang dipasung
diobrak-abrik tak keruan

kau hanya ingin aku menyaksikan
permainan adegan di pelataran
dengan segala bualan kepemimpinan
mengubur dan mengintimidasi papan
di mana pun sepanjang kau berjalan

dengan senyum hanyut pilu
menimbun tubuh bersama tulisanku.

Surakarta, Januari 2014



Namsan

malam ini sebuah kunci kulempar di atas kota
bersama lampu yang berkelip di bawah senja
mereka hidup di tepian salju yang bertumpuk
berongga di jaket dan syal ungu yang kupeluk

kakiku menggantung di menara komunikasi
menjulang setinggi 263 meter di atas bumi
diantara jajaran gedung 605 kilometer persegi
dalam perut gunung namsan, 24 tahun berdiri

di sinilah ribuan merpati rapat berpejam janji
dengan gembok yang sengaja kehilangan kunci
ribuan nama dan pesan yang dahulu menghuni
dari sepasang harapan yang merayu untuk abadi

sementara ujung hidungku mulai memerah
di kota seoul, dengan kerudung kuning cerah.

Magetan, 1 Maret 2014


------------------
Kinanthi Angraini, lahir di Magetan, 17 Januari. Mahasiswi Pascasarjana Pendidikan Sains, UNS Solo, ini juga pernah menjadi model Hijab Moshaict tahun 2011. Menulis puisi dan reportase. Karya puisinya pernah dimuat di belasan media dan buku antologi.


Lampung Post, Minggu, 18 Mei 2014



Sunday, May 11, 2014

Sajak-sajak Ahdar

Dua Kata Saja Untukmu

Tengoklah di kampung kau sana, engkau dengan mudah dicap dengan atribut dua kata saja: sukses atau gagal, menang atau kalah.
Tak dihiraukan oleh orang kampungmu itu betapa dahsyat robeknya kemanusiaanmu demi kesuksesan yang telah engkau raih.
Engkau boleh tutupi setiap bait kemunafikan yang telah engkau gadaikan demi sebuah kata harga mati yakni sukses.
Engkau boleh jadi pulang dengan wajah lusuh pakaian kumal ditambal tetapi membawa hati yang cerah merdeka sebagai seorang manusia.
Engkau boleh berucap: aku telah belajar! Aku telah belajar! Dan sekarang aku lapar tak punya uang, ajaklah aku sebentar untuk singgah di rumahmu demi seteguk air dan sepiring nasi.
Engkau boleh jadi akan diundang masuk, tapi mata tuan rumahmu berkata membisu engkau tetap gagal! Karena tak ada kemilau di badanmu.

Eindhoven, 22 Oktober 2003


Menari Aku

Sepanjang hari-tujuh hari sepanjang malam sepanjang minggu, kau telah sibakkan rambutmu menjadi sebilah pedang yang membabat-babat,

habislah! terbanglah!
menjadi serpihan-serpihan kecil yang direkap oleh angin dan untaian cahaya.
Mimpiku, menari aku di atas rambutmu yangdikerpak-kerpak angin penuh bau balsem bercampur minyak kemiri lawang wahai sang kekasih!

kibaskanlah!

rentanglah jadi selembar jembatan titian rambutdibelah tujuh untuk bantu aku meniti menujumu.

Maastricht, November 2004


Deviasi 20%

dari patokan koordinat polar nol di bulan april
menujutitik deviasi 20%
aku melihat dan mendengar dari jauh
mendekat rapat semakin dekat
tatap hangat dan hinggap terjerat dalam maklumat
dalam hitungan tahun tak berbilang
aku reverting menuju garisbatas
demi menyesuaikan diri dengan hukum alam
yang absolut
menuju titik tengah tanpa kompromi
deviasiku adalah deviasi 20%
yang luber di bulan juni
bersama waktu menggenapi hitungannya
dalam kerlingan sang dewi.

Maastricht, Juni 2004


Datanglah ke Mari Kawan, Aku Rindu Engkau

gimana cuaca di sana? tanya kawan eksil. Angin? badai? dingin? cerah gak matahari? so pasti sobatku, cuaca Maastricht selalu lebih cerah dari Edesil, Eindhovensil, Amsterdamsil, Almeresil, si Sil, si Sil, seperti sprinkelnya hatiku mendengar engkau mau bertandang kemari. Oh selain itu, suhu politik aman karena kita bukan di negeri bersulang, bukan negeri arang, kata si rieke pitaloka, si cantik yang tak pernah datang kemari,

engkau tak akan pernah bosan di sini sobat, ada sejuta objek yg kau bisa abadikan dalam lensamu, untuk kau ceritakan ke buah hatimu yang lucu itu kelak. aku tunggu engkau di jembatan Maastricht kawan, tak jauh dari situ si musketeer dártagnan terbunuh dengan pedang lusuh di tangan, sembari berbisik pelan di saat-saat meregang nyawa, seakan-akan meninggalkan sebuah pesan buat anak negeri, tetapi cuma terujar sebaris kalimat pendek:
aduh ... aku ingin mati di Prancis bukan di sini, di negeri eksil.

Maastricht, 21 Juni 2004


Maulid Nabi
Kok Aku tidak ingat ya?
Ulang tahun nabi kita
Ah,
mungkin karena serpihan daging
Di gigi masih tersisa
Jadi aroma membuat aku lupa

Tilburg, Mei 2003


---------
Ahdar, penyuka puisi. Saat ini tinggal di Lancaster, Inggris.

 

Lampung Post, Minggu, 11 Mei 2014

Sunday, May 4, 2014

Sajak-sajak Robi Akbar

Warahan

dengarlah tabuhan cetik dan kendang ini
akan aku ceritakan kepadamu
sebuah kisah tentang perang saudara
bukan
ini bukan kisah mahabarata
yang berselisih lantaran kekuasaan
ini kisah tentang perang saudara yang tersulut
lantaran hasut
yang terlalu deras tercerap
dan tanpa sadar telah membuat mata dan hati sasap
hari itu
kalianda berdarah kampungkampung dibakar dendam
orangorang dengan parang digenggam
dengan dada terbakar amarah
mengayunkan kebencian
rumahrumah hangus rata tanah
anakanak menangisi kakak lelaki dan bapaknya yang mati
perempuanperempuan muda menangisi kekasihnya
seorang ibu menjadi gila
anak dan suami tiada
ia menjerit
"hei
mengapa kalian bunuh saudara sendiri"
lalu tertawa geli
ia tak pernah tahu apa kesalahan anak dan suaminya
terakhir ia dapati dua jasad itu
terbujur kaku seperti cangkul di sebelahnya
darah
ia mencium anyir darah bercampur lumpur
dan sisa kenangan pagi
sebelum mereka berangkat ke sawah
jangan
jangan cari siapasiapa
untuk dijadikan kambing hitam
sebab ini bukan karena siapa salah dan siapa benar
dengarlah tabuhan cetik dan kendang ini

bi'14


Ingin Pulang

hujan turun
rintiknya yang berjatuhan
memetik berjuta kenang
tentang resah bayang
rumah
wajah emak juga abah
yang selalu menuntun langkah
dan keinginanku tuk pulang

di kota ini
selalu kusaksikan kaki-kaki peradaban
berpatahan
disapu angin dan kecurangan
tangan-tangan menggali lubang-lubang sunyi
menggali kubur bagi tradisi

di sini
orang-orang selalu lekas
bergegas
entah ke mana
di setiap simpang
saling tikam
lorong-lorong hitam
nasib semakin kelam

hujan turun
rintiknya yang berjatuhan
mengarus di jalan-jalan
menyusur ganggang lengang
kenyataan
tak pernah seindah seperti yang kita bayangkan

di kota ini
kalau ingin bertahan
asah pikir setajam belati
dan bersiaplah
menikam atau ditikam
jangan
jangan pernah tujukan belasmu
sebab itu akan membunuhmu

hujan turun
rintiknya yang berjatuhan
menjadi bah
membanjiri berbagai kisah keluh dan kesah
tentang orangorang lemah yang tenggelam
ditelan kecurangan
nasib dan kenyataan yang semakin kelam

hujan turun
rintiknya yang berjatuhan
menuntunku pulang

bi'14



Menatap Lemari Makan Tak Berisi

hari ini orang-orang akan pergi meninggalkanku
entah ke mana
mereka membawa entah apa
setumpuk kecamuk pikir
atau segumpal sakit hati
aku tak tahu
yang jelas
dari wajah-wajah yang terlihat sekilas
sebelum beranjak mengayunkan langkah pertamanya
nampak perasaan kecewa entah pada apa
perasaan sia-sia entah karena apa
di rautnya garis-garis luka
malang melintang seenaknya
hari ini orang-orang akan pergi
dan aku seperti kanak yang menatap lemari makan tak berisi
ibu mati
dan bapak berniat bunuh diri

bi'14


Arus yang Berbisik

seperti suara bisik yang perlahan menghanyutkan waktuku
arus itu
meriak di batu-batu
menyusur jalan yang tak pernah meninggalkan jejak baginya

dibawanya seluruh bayang
yang mengendap dalam ingatan
tentang tanah moyang
dan segala tradisinya yang semakin gersang

arus yang berbisik
ke muara manakah resah tujumu
meliuk di setiap tikung
melompat di setiap jurang
lewati malam-malam berlapis kabut
ke laut
alirmu semakin kalut

bi’14


Ular itu
ular itu
melilit keingin tahuanmu
di ranting pohon
dengan buah-buah ranum yang mengodamu
sebelum jarak dan waktu
mempersembahkan pisah kemudian

bi'14


Aku Masih di Sini

ketika kalian melepas lelah
dalam nyanyian blues dan tenggakan wisky
di cafe itu
petualangan panjang yang usai kalian lalui
benarbenar tak menyisakan tanda
bagi teks-teks yang hilang dari kenangan
aku masih di sini
di jalan ini
masih menyusur peta yang selalu gagal kubaca arahnya
aku sasar
hilang dalam selasar
antara kabut-kabut dan lengking hyena di kaki kilimanjaro
siapakah yang meledakkan peluru
dalam kesuraman malam
perahu-perahu karam di kening kalian
aku masih di sini
di cekam ketakutan
di antara tanah-tanah yang pecah
di antara kemarau dan sejarah yang resah

bi'14


-------------
Robi Akbar, lahir 3 Oktober 1978. Pernah bergiat di Teater Satu Lampung. Sekarang lebih memilih menulis saja.


Lampung Post, 4 Mei 2014