Sunday, May 11, 2014

Sajak-sajak Ahdar

Dua Kata Saja Untukmu

Tengoklah di kampung kau sana, engkau dengan mudah dicap dengan atribut dua kata saja: sukses atau gagal, menang atau kalah.
Tak dihiraukan oleh orang kampungmu itu betapa dahsyat robeknya kemanusiaanmu demi kesuksesan yang telah engkau raih.
Engkau boleh tutupi setiap bait kemunafikan yang telah engkau gadaikan demi sebuah kata harga mati yakni sukses.
Engkau boleh jadi pulang dengan wajah lusuh pakaian kumal ditambal tetapi membawa hati yang cerah merdeka sebagai seorang manusia.
Engkau boleh berucap: aku telah belajar! Aku telah belajar! Dan sekarang aku lapar tak punya uang, ajaklah aku sebentar untuk singgah di rumahmu demi seteguk air dan sepiring nasi.
Engkau boleh jadi akan diundang masuk, tapi mata tuan rumahmu berkata membisu engkau tetap gagal! Karena tak ada kemilau di badanmu.

Eindhoven, 22 Oktober 2003


Menari Aku

Sepanjang hari-tujuh hari sepanjang malam sepanjang minggu, kau telah sibakkan rambutmu menjadi sebilah pedang yang membabat-babat,

habislah! terbanglah!
menjadi serpihan-serpihan kecil yang direkap oleh angin dan untaian cahaya.
Mimpiku, menari aku di atas rambutmu yangdikerpak-kerpak angin penuh bau balsem bercampur minyak kemiri lawang wahai sang kekasih!

kibaskanlah!

rentanglah jadi selembar jembatan titian rambutdibelah tujuh untuk bantu aku meniti menujumu.

Maastricht, November 2004


Deviasi 20%

dari patokan koordinat polar nol di bulan april
menujutitik deviasi 20%
aku melihat dan mendengar dari jauh
mendekat rapat semakin dekat
tatap hangat dan hinggap terjerat dalam maklumat
dalam hitungan tahun tak berbilang
aku reverting menuju garisbatas
demi menyesuaikan diri dengan hukum alam
yang absolut
menuju titik tengah tanpa kompromi
deviasiku adalah deviasi 20%
yang luber di bulan juni
bersama waktu menggenapi hitungannya
dalam kerlingan sang dewi.

Maastricht, Juni 2004


Datanglah ke Mari Kawan, Aku Rindu Engkau

gimana cuaca di sana? tanya kawan eksil. Angin? badai? dingin? cerah gak matahari? so pasti sobatku, cuaca Maastricht selalu lebih cerah dari Edesil, Eindhovensil, Amsterdamsil, Almeresil, si Sil, si Sil, seperti sprinkelnya hatiku mendengar engkau mau bertandang kemari. Oh selain itu, suhu politik aman karena kita bukan di negeri bersulang, bukan negeri arang, kata si rieke pitaloka, si cantik yang tak pernah datang kemari,

engkau tak akan pernah bosan di sini sobat, ada sejuta objek yg kau bisa abadikan dalam lensamu, untuk kau ceritakan ke buah hatimu yang lucu itu kelak. aku tunggu engkau di jembatan Maastricht kawan, tak jauh dari situ si musketeer dártagnan terbunuh dengan pedang lusuh di tangan, sembari berbisik pelan di saat-saat meregang nyawa, seakan-akan meninggalkan sebuah pesan buat anak negeri, tetapi cuma terujar sebaris kalimat pendek:
aduh ... aku ingin mati di Prancis bukan di sini, di negeri eksil.

Maastricht, 21 Juni 2004


Maulid Nabi
Kok Aku tidak ingat ya?
Ulang tahun nabi kita
Ah,
mungkin karena serpihan daging
Di gigi masih tersisa
Jadi aroma membuat aku lupa

Tilburg, Mei 2003


---------
Ahdar, penyuka puisi. Saat ini tinggal di Lancaster, Inggris.

 

Lampung Post, Minggu, 11 Mei 2014

No comments:

Post a Comment