Sunday, August 31, 2014

Sajak-sajak Riki Utomi

Siapa yang Mengambil Suara itu

adakah kau tahu, suara-suara kita hilang.
lenyap dan tak berbekas. angin mungkin
telah menggodanya untuk membawanya

entah ke mana. kau mencoba mencari ke
segala penjuru namun tak muncul harap,
sebab waktu tak lagi memihak.

siapa yang mengambil suara itu?
suara-suara bekas tabunganku. dari periode

masa lalu hingga tersingkap berat zaman
yang kacau ini. dari harapan terkurung
dulu hingga mencoba arus di kanan-kiri.

selatpanjang, juni 2014



Urutan yang Bisu
 

kita hanya bisa mengeja satu persatu tentang:
harap, keadaan, dan mungkin juga ingatan.
sebab katamu, tak ada yang dapat ditunggu
amuk itu akan lenyap kalau tak kita kejar.

tiba-tiba kau menudingku. mengatakan
satu persatu, apakah keadilan, tuntutan, dan
hak, namun kau jawab tak tahu, sebab waktu
tak lagi memihakmu.

dalam urutan yang ke sekian kita tak tahu lagi
entah kemana pergi. pesan-pesan hanya silih
berganti. menikam, menghunus, dan sulit di
kendali juga sulit dimengerti.

selatpanjang, juni 2014



Kita Hanya Berharap

kita hanya berharap tentang hati yang jujur
mirip kata yang tak mau menipu dari hakikat
maknanya. setelah itu kita bawa kepada cinta
untuk mengobatinya.

kita hanya berharap, tentang tangan yang
terjulur; pada siapa saja. mirip dedaunan
yang menaungi kita dari terik panas matahari.
setelah itu kita bawa menjadi hangat dalam
arti keindahan.

kita hanya berharap, tentang kaki yang tak
akan pergi ke jalan murka. mirip rambu-rambu
sebagai tanda pada benak kita. yang melewat
akan mengingat pada kematian sebaliknya
juga pintasan dari nyawa yang tak sempat
kau semai menjadi kata-kata.

selatpanjang, juni 2014



Separuh Ungkap

sebagian saja aku hanya bisa mengungkap
dari jerit hatimu padamu. semua luka membandang
dalam pikir yang tak lagi hendak mengukir.

kita barangkali duri yang rapuh di tanah sendiri.
hanya mampu berucap dan tak dapat menggaung.
dan kita mungkin sepi yang terkurung bagai jeruji.

seperuh ungkap hanya itu yang terucap.
sekian detik lewat senyap. dan aku masih
menantimu.

selatpanjang, juni 2014


Yang Datang

yang datang adalah angka, meneror tubuh kita.
memakan sisa usia.

yang datang adalah jarak, menepikan mata
dari sudut lihat paling fana.

yang datang adalah ucap, mengatur pasti
dari harap yang kian gigil didapat.

yang datang mungkin langkahmu sendiri,
digelap legam malam, disunyi telanjang.
dikurung pikir yang goyang bahwa kau mengeja
tentang hal rumpang yang belum ada.

yang datang mungkin sorotan matamu itu,
tajam menikam mata hatiku. menjelma makna
dalam yang belum sempat kita eja, namun kau
berharap akan ada waktu untuk mencerna.

selatpanjang, juni 2014


--------
Riki Utomi, penggiat dan penikmat sastra. Buku cerpen tunggalnya Mata Empat (2013). Berproses sebagai guru di SMA Negeri 3 Tebingtinggi, Selatpanjang, Riau.


Lampung Post, Minggu, 31 Agustus 2014

Sunday, August 24, 2014

Sajak-sajak Abd. Rahman M.

Atas Nama Tuhan

Aku bertanya pada panasnya malam
di mana letak kaki berpijak
tanya tak harus berjawabkan lega
tuhan jawab segala tanya

2014


Menujumu

Malam mengguratkan titik tumpu
menuntun pencapaian menuju Ilahi
pejam mata
lepas dan urai air mata
hingga tenang sudah

2014


Menarik Pasir

Pikirlah maksud
bintang di langit merapat
menampar pipimu
merasuk
menyelisik
maksud hati
pun
terbengkalai

2014


Renung

Memberi hati
bukan berarti terbagi
pikirlah
hatihati

2014



Tanya
Air tak lagi berair
dingin tak lagi mendingin
cair tak lagi mencair
seni tak lagi berseni

2014


Kosong

Angin berhembus menerjang warasku
kekosongan menguliti aluan bait demi bait
sepotong syair di penghujung malam
selimut tebal hati rapuh
kasih kemari lelah menanti sendiri

2014



Poli Tik

Aku masih diam malas
mereka memanggil aku lemas
teriakan lantang kusambut pulas

2014


Nestapa

Di simpang itu ketika lampu merah menyala
langkah laju kaki kecil berlari menjemput
destinasi demi sesuap nasi
mengharap receh dari tangantangan
yang masih punya hati

2014


----------
Abd. Rahman M., lahir di Prapat Janji, Sumatera Utara, 29 Juni 1989. Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Negeri Medan.


Lampung Post, Minggu, 24 September 2014

Sunday, August 10, 2014

Sajak-sajak Muhammad Harya Ramdhoni

Sajak Tak Bernama
: ADS

I
kutulis sajak ini, kala rakyat tengah
dilanda demam merajuk.
merayu calon pemimpin yang kemaruk.
entah berisi pujian atau mungkin berbaris cacian.
di mana keduanya sungguh sulit dibedakan.
kugubah sajak ini, saat seorang jenderal tentara darat
mengemis kekuasaan dengan segala cara.
airmata dan ingusnya membasahi seluruh katilnya.
tak perlu kuceritakan padamu
betapa anyir bau seprai ranjangnya.

II
engkau telah meninggalkanku entah untuk berapa lama.
mungkin sebulan, bisa jadi setahun.
atau justru selamanya, seraya wariskan
duka yang tak terkatakan pedihnya.
kita pernah punya mimpi yang sama.
di kala kita berhasrat menggapai angkasa.
meniti pelangi berjuta warna.
menggalang kehendak ‘tuk bercinta.
namun ini bukan sekedar riwayat
pergumulan di dalam bilik, sayang.
semua ini melebihi berbaris sajak dan prosa yang
kugubah demi mendaulatmu sebagai perempuan utama.
sepenggal kisah tabu dalam tiga puluh tahun
kembaraku sebagai seorang pria.

III
ketika kaupergi ada liang kosong dan ngungun
dalam selubung suci perjanjian kita.
sejengkal ruang yang dulu
kau isi dengan ikrar tak bersyarat.
sebuah narasi yang kaumusnahkan
ke dalam bara keparat.
tak bersisa selarik bait,
bahkan sebuah huruf pun tiada
kini, bagimu aku bukan seorang
lelaki yang patut dikenang.
hanya setitik debu dalam kisah
hidupmu yang gemerlap dan panjang.
engkau telah lupakan setiap
hembusan napas kita.
yang menggema dari tumasik
hingga hentian kajang.
lalu, kau enyahkan setiap harap dan cita.
seolah itu penanda dirimu
seorang perempuan bermarwah.
seakan kau dapat lari dariku sambil bertepuk tangan.
dan bertamsil ke seluruh penjuru bumi,
bahwa diriku tak lebih seorang lelaki bodoh
yang hanya pandai bertepuk sebelah tangan.
namun kau tak pernah insaf, sayang.
telah kupindai setiap lekuk tubuhmu
dengan teramat cermat.
dan kuhitung letak setiap tahi lalatmu
hingga di tempat paling keramat.
lalu kurekam setiap lolong magismu
pada malammalam dingin dan kudus.
membuat para iblis mengangguk
mahfum sambil tertawa bengis.
kini, dengar baik-baik pesanku:
ke mana pun kau berlari,
ke setiap arah mata angin yang kautuju,
dirimu tampak telanjang dan
tak pernah matang di hadapanku.

Tanjungkarang, 20 Juli 2014


Nyekar
: Mbah Kung R. Soetanto & Mbah Putri Dra. Koemini Ismari

akhirnya waktu membawa diri
menuju tempat bermula.
sebuah kota di tepi bengawan dan
kisah dua makam tak berukir dari
batu pualam berwarna jingga.
di sana terbaring kakenda dan nenekda
yang menimang diri dalam hening,
dalam tulus tak terbayar.
“aku menjengukmu mbah kakung, mbah putri”,
kata lelaki muda dengan suasana
hati gembira namun takzim.
disimpan baikbaik senyumnya,
mengingat diri dalam peluk cium mereka berdua.
disimpan baikbaik tangisnya, mengingat
kasih sayang dan kemanjaan kala balita.
namun air matanya akhirnya titik.
saat tersadar jasad keduanya telah
lama tergelar di dalam tanah.
tiga puluh tahun bukan sebentar.
sementara lelaki muda hanya
punya segenggam doa.
di senja hari seiring ia bergumam lirih,
“selamat petang, solo. aku kekal mencintamu.”

Solo & Bangi, Malaysia, 4 & 17 Januari 2014


----------
Muhammad Harya Ramdhoni, lahir di Solo, 15 Juli 1981. Dosen Pascasarjana MIP FISIP Universitas Lampung ini menyelesaikan MA dan Ph.D. ilmu politiknya di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Bukunya: Perempuan Penunggang Harimau (novel, 2011) dan Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air (kumpulan cerpen, 2012).


Lampung Post, Minggu, 10 Agustus 2014

Sunday, August 3, 2014

Sajak-sajak Riza Multazam Luthfy

Macam Kaktus, tapi Bukan
Gerimis gundul tiba-tiba datang serupa iblis bermata garang. Ia dengan bengis menginjak-injak pohon rindu yang baru dua tahun kutanam. Di ladang perasaan. Di kebun mimpi yang hijau dan rindang.

Seperti juga kuda pasukan Sparta kala menyerbu Kampung Laconia, gerimis itu begitu beringasnya. Sampai-sampai tiada mampu ia bedakan mana kaki-kakinya yang mengancam. Mana pula tumbuhan yang hendak diluluhlantakkan. Sampai-sampai pohon kecilku tumbang. Akarnya berserakan, melebur dengan muka tanah yang bulat panjang. Daun yang semestinya berkorban demi lambung ulat, berceceran tanpa secuil pun mengais manfaat.

Padahal, seperti pesan Eyang, pohon satu ini tampak kurang tertarik dengan segala jenis cairan. Ia macam kaktus, tapi bukan. Ia sangat benci jika suatu hari seekor makhluk sengaja melumeri punggungnya. Atau kepalanya. Atau lehernya. Atau anggota tubuh yang jamak disebut daun dan dahan, tapi ia lebih suka menyebut kaki dan tangan.

Maka, gerimis bedebah! Ketahuilah, bahwa aku memberinya minum bukan dengan cara sembarang. Berbulan-bulan sebelumnya aku mengambil segayung air dari Sungai Nil untuk kemudian kutitipkan pada tanaman-tanaman rambat di sekitarnya. Merekalah yang kumintai bantuan untuk memasukkan setetes demi setetes ke mulutnya, ketika sudah benar-benar mendengkur.

Pohon kesayanganku memang pemalu. Makanya, jangan heran jikalau ia memilih bermukim di lahan yang subur. Dengan begitu, ia bisa terus mengalirkan napas tanpa terlihat sibuk mencari cairan. Ia pura-pura menyapa tetangga, berjabat tangan, lantas mengusapkan jemarinya yang basah—karena bersentuhan dengan tanaman lain—ke sekujur badan. Ia belum mengerti bahwa aku, pemiliknya, telah turut serta menyelundupkan larutan yang sangat diperlukan dalam hidupnya. 

Ah, sudahlah. Kau, gerimis! Kau boleh tertawa sesuka perutmu, sebab menerka bahwa sebentar lagi aku terlunta-lunta. Menderita atas gugurnya pohon kiriman perempuan yang amat kupuja. Ya, kupuja lantaran ia tak menaruh rasa sama sekali, tapi aku sungguh mencintainya.

Terima kasih, pohon rindu. Pohon yang memutuskan mati ketimbang memanggul malu. Pohon yang pernah mengantar hatiku mekar, meski aroma senyumku makin tawar.

Yogyakarta, 2012


 
Kasihan!

Setiap aku mengangon kata, setiap itu pula tetanggaku ikut bergabung. Namanya Dirman. Ia dipanggil Kasihan.

Benar. Orang-orang menyebutnya demikian, dikarenakan memang ia pantas dikasihani. Bayangkan! Dirman terlahir dari rongga kemaluan babi betina yang ditemukan Pak Joko waktu berburu di hutan. Mata satu. Telinga satu. Bokong tiga. Anunya sepertiga.

Oh, pasti kalian benar-benar kasihan kalau mengetahui sejak balita Dirman tak bisa mengucap apa-apa. Ia cuma menitihkan air mata jika menghendaki sesuatu. Air mata yang tersendat-sendat, karena diperas dari satu mata; lubang yang begitu mungil ukurannya. Sayang sekali, Pak Joko sulit memantau mana Dirman yang berduka, mana Dirman yang bersuka, karena antara kesedihan dan kegembiraan telanjur tiada sekat. Berkelindan. Bertukar tampang. Mengembar siam. Siam yang mustahil dibedakan.

Sejak umur tujuh tahun aku rajin mengajak Dirman mengangon kata. Dengan bersamanya, aku sering mengumpulkan air matanya yang berbau keemasan. Air mata yang mengingatkanku pada kakek yang menggerung-gerung sesaat sebelum menjemput maut. Pada pipi ibu yang basah kuyup, menyesali kenapa dulu mau dikawini ayah, yang penyair. Penyair yang gemar mengobral tanduk puisi di halaman koran. Yang bersedia dibayar recehan, namun akhirnya harus mendengkur di bui paling kejam.

Meskipun sesenggukan, aku mengerti bahwa menangisnya Dirman menunjukkan kegembiraan. Hal itu tampak ketika suatu hari ia mengaku bermimpi bertemu kuda telanjang. Ia tidak menangis lantaran kelopak matanya terpejam. Anehnya, dari kemaluannya bercucuran air mata keruh, kental, gurih, menggiurkan. Dan, sejak balig itulah Dirman kerap merajukku untuk bersama-sama mengangon kata, walau ketika aku menyanggupi, ia malah menangis. Tangis yang pura-pura. Tangis yang sebetulnya adalah tawa.

Tapi, sejak ia berusia dua puluh tahunan, aku mulai resah dan menjauh dari Dirman. Pasalnya, semua puisi yang kupelihara selama ini ternyata tertular derita Dirman: bermata satu, bertelinga satu, berbokong tiga, beranu sepertiga. “Ah, kasihan!”

Yogyakarta, 2012

Keterangan: puisi ini terinspirasi dari puisi Mardi Luhung berjudul Sungai Kembar.


-----------
Riza Multazam Luthfy, Pendiri dan kontributor komunitas Sastra Minggu. Karya-karyanya bertebaran di beberapa media dan antologi.

 

Lampung Post, Minggu, 3 Agustus 2014