Sajak Tak Bernama
: ADS
I
kutulis sajak ini, kala rakyat tengah
dilanda demam merajuk.
merayu calon pemimpin yang kemaruk.
entah berisi pujian atau mungkin berbaris cacian.
di mana keduanya sungguh sulit dibedakan.
kugubah sajak ini, saat seorang jenderal tentara darat
mengemis kekuasaan dengan segala cara.
airmata dan ingusnya membasahi seluruh katilnya.
tak perlu kuceritakan padamu
betapa anyir bau seprai ranjangnya.
II
engkau telah meninggalkanku entah untuk berapa lama.
mungkin sebulan, bisa jadi setahun.
atau justru selamanya, seraya wariskan
duka yang tak terkatakan pedihnya.
kita pernah punya mimpi yang sama.
di kala kita berhasrat menggapai angkasa.
meniti pelangi berjuta warna.
menggalang kehendak ‘tuk bercinta.
namun ini bukan sekedar riwayat
pergumulan di dalam bilik, sayang.
semua ini melebihi berbaris sajak dan prosa yang
kugubah demi mendaulatmu sebagai perempuan utama.
sepenggal kisah tabu dalam tiga puluh tahun
kembaraku sebagai seorang pria.
III
ketika kaupergi ada liang kosong dan ngungun
dalam selubung suci perjanjian kita.
sejengkal ruang yang dulu
kau isi dengan ikrar tak bersyarat.
sebuah narasi yang kaumusnahkan
ke dalam bara keparat.
tak bersisa selarik bait,
bahkan sebuah huruf pun tiada
kini, bagimu aku bukan seorang
lelaki yang patut dikenang.
hanya setitik debu dalam kisah
hidupmu yang gemerlap dan panjang.
engkau telah lupakan setiap
hembusan napas kita.
yang menggema dari tumasik
hingga hentian kajang.
lalu, kau enyahkan setiap harap dan cita.
seolah itu penanda dirimu
seorang perempuan bermarwah.
seakan kau dapat lari dariku sambil bertepuk tangan.
dan bertamsil ke seluruh penjuru bumi,
bahwa diriku tak lebih seorang lelaki bodoh
yang hanya pandai bertepuk sebelah tangan.
namun kau tak pernah insaf, sayang.
telah kupindai setiap lekuk tubuhmu
dengan teramat cermat.
dan kuhitung letak setiap tahi lalatmu
hingga di tempat paling keramat.
lalu kurekam setiap lolong magismu
pada malammalam dingin dan kudus.
membuat para iblis mengangguk
mahfum sambil tertawa bengis.
kini, dengar baik-baik pesanku:
ke mana pun kau berlari,
ke setiap arah mata angin yang kautuju,
dirimu tampak telanjang dan
tak pernah matang di hadapanku.
Tanjungkarang, 20 Juli 2014
Nyekar
: Mbah Kung R. Soetanto & Mbah Putri Dra. Koemini Ismari
akhirnya waktu membawa diri
menuju tempat bermula.
sebuah kota di tepi bengawan dan
kisah dua makam tak berukir dari
batu pualam berwarna jingga.
di sana terbaring kakenda dan nenekda
yang menimang diri dalam hening,
dalam tulus tak terbayar.
“aku menjengukmu mbah kakung, mbah putri”,
kata lelaki muda dengan suasana
hati gembira namun takzim.
disimpan baikbaik senyumnya,
mengingat diri dalam peluk cium mereka berdua.
disimpan baikbaik tangisnya, mengingat
kasih sayang dan kemanjaan kala balita.
namun air matanya akhirnya titik.
saat tersadar jasad keduanya telah
lama tergelar di dalam tanah.
tiga puluh tahun bukan sebentar.
sementara lelaki muda hanya
punya segenggam doa.
di senja hari seiring ia bergumam lirih,
“selamat petang, solo. aku kekal mencintamu.”
Solo & Bangi, Malaysia, 4 & 17 Januari 2014
----------
Muhammad Harya Ramdhoni, lahir di Solo, 15 Juli 1981. Dosen Pascasarjana MIP FISIP Universitas Lampung ini menyelesaikan MA dan Ph.D. ilmu politiknya di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Bukunya: Perempuan Penunggang Harimau (novel, 2011) dan Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air (kumpulan cerpen, 2012).
Lampung Post, Minggu, 10 Agustus 2014
: ADS
I
kutulis sajak ini, kala rakyat tengah
dilanda demam merajuk.
merayu calon pemimpin yang kemaruk.
entah berisi pujian atau mungkin berbaris cacian.
di mana keduanya sungguh sulit dibedakan.
kugubah sajak ini, saat seorang jenderal tentara darat
mengemis kekuasaan dengan segala cara.
airmata dan ingusnya membasahi seluruh katilnya.
tak perlu kuceritakan padamu
betapa anyir bau seprai ranjangnya.
II
engkau telah meninggalkanku entah untuk berapa lama.
mungkin sebulan, bisa jadi setahun.
atau justru selamanya, seraya wariskan
duka yang tak terkatakan pedihnya.
kita pernah punya mimpi yang sama.
di kala kita berhasrat menggapai angkasa.
meniti pelangi berjuta warna.
menggalang kehendak ‘tuk bercinta.
namun ini bukan sekedar riwayat
pergumulan di dalam bilik, sayang.
semua ini melebihi berbaris sajak dan prosa yang
kugubah demi mendaulatmu sebagai perempuan utama.
sepenggal kisah tabu dalam tiga puluh tahun
kembaraku sebagai seorang pria.
III
ketika kaupergi ada liang kosong dan ngungun
dalam selubung suci perjanjian kita.
sejengkal ruang yang dulu
kau isi dengan ikrar tak bersyarat.
sebuah narasi yang kaumusnahkan
ke dalam bara keparat.
tak bersisa selarik bait,
bahkan sebuah huruf pun tiada
kini, bagimu aku bukan seorang
lelaki yang patut dikenang.
hanya setitik debu dalam kisah
hidupmu yang gemerlap dan panjang.
engkau telah lupakan setiap
hembusan napas kita.
yang menggema dari tumasik
hingga hentian kajang.
lalu, kau enyahkan setiap harap dan cita.
seolah itu penanda dirimu
seorang perempuan bermarwah.
seakan kau dapat lari dariku sambil bertepuk tangan.
dan bertamsil ke seluruh penjuru bumi,
bahwa diriku tak lebih seorang lelaki bodoh
yang hanya pandai bertepuk sebelah tangan.
namun kau tak pernah insaf, sayang.
telah kupindai setiap lekuk tubuhmu
dengan teramat cermat.
dan kuhitung letak setiap tahi lalatmu
hingga di tempat paling keramat.
lalu kurekam setiap lolong magismu
pada malammalam dingin dan kudus.
membuat para iblis mengangguk
mahfum sambil tertawa bengis.
kini, dengar baik-baik pesanku:
ke mana pun kau berlari,
ke setiap arah mata angin yang kautuju,
dirimu tampak telanjang dan
tak pernah matang di hadapanku.
Tanjungkarang, 20 Juli 2014
Nyekar
: Mbah Kung R. Soetanto & Mbah Putri Dra. Koemini Ismari
akhirnya waktu membawa diri
menuju tempat bermula.
sebuah kota di tepi bengawan dan
kisah dua makam tak berukir dari
batu pualam berwarna jingga.
di sana terbaring kakenda dan nenekda
yang menimang diri dalam hening,
dalam tulus tak terbayar.
“aku menjengukmu mbah kakung, mbah putri”,
kata lelaki muda dengan suasana
hati gembira namun takzim.
disimpan baikbaik senyumnya,
mengingat diri dalam peluk cium mereka berdua.
disimpan baikbaik tangisnya, mengingat
kasih sayang dan kemanjaan kala balita.
namun air matanya akhirnya titik.
saat tersadar jasad keduanya telah
lama tergelar di dalam tanah.
tiga puluh tahun bukan sebentar.
sementara lelaki muda hanya
punya segenggam doa.
di senja hari seiring ia bergumam lirih,
“selamat petang, solo. aku kekal mencintamu.”
Solo & Bangi, Malaysia, 4 & 17 Januari 2014
----------
Muhammad Harya Ramdhoni, lahir di Solo, 15 Juli 1981. Dosen Pascasarjana MIP FISIP Universitas Lampung ini menyelesaikan MA dan Ph.D. ilmu politiknya di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Bukunya: Perempuan Penunggang Harimau (novel, 2011) dan Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air (kumpulan cerpen, 2012).
Lampung Post, Minggu, 10 Agustus 2014
No comments:
Post a Comment