Macam Kaktus, tapi Bukan
Gerimis gundul tiba-tiba datang serupa iblis bermata garang. Ia dengan bengis menginjak-injak pohon rindu yang baru dua tahun kutanam. Di ladang perasaan. Di kebun mimpi yang hijau dan rindang.
Seperti juga kuda pasukan Sparta kala menyerbu Kampung Laconia, gerimis itu begitu beringasnya. Sampai-sampai tiada mampu ia bedakan mana kaki-kakinya yang mengancam. Mana pula tumbuhan yang hendak diluluhlantakkan. Sampai-sampai pohon kecilku tumbang. Akarnya berserakan, melebur dengan muka tanah yang bulat panjang. Daun yang semestinya berkorban demi lambung ulat, berceceran tanpa secuil pun mengais manfaat.
Padahal, seperti pesan Eyang, pohon satu ini tampak kurang tertarik dengan segala jenis cairan. Ia macam kaktus, tapi bukan. Ia sangat benci jika suatu hari seekor makhluk sengaja melumeri punggungnya. Atau kepalanya. Atau lehernya. Atau anggota tubuh yang jamak disebut daun dan dahan, tapi ia lebih suka menyebut kaki dan tangan.
Maka, gerimis bedebah! Ketahuilah, bahwa aku memberinya minum bukan dengan cara sembarang. Berbulan-bulan sebelumnya aku mengambil segayung air dari Sungai Nil untuk kemudian kutitipkan pada tanaman-tanaman rambat di sekitarnya. Merekalah yang kumintai bantuan untuk memasukkan setetes demi setetes ke mulutnya, ketika sudah benar-benar mendengkur.
Pohon kesayanganku memang pemalu. Makanya, jangan heran jikalau ia memilih bermukim di lahan yang subur. Dengan begitu, ia bisa terus mengalirkan napas tanpa terlihat sibuk mencari cairan. Ia pura-pura menyapa tetangga, berjabat tangan, lantas mengusapkan jemarinya yang basah—karena bersentuhan dengan tanaman lain—ke sekujur badan. Ia belum mengerti bahwa aku, pemiliknya, telah turut serta menyelundupkan larutan yang sangat diperlukan dalam hidupnya.
Ah, sudahlah. Kau, gerimis! Kau boleh tertawa sesuka perutmu, sebab menerka bahwa sebentar lagi aku terlunta-lunta. Menderita atas gugurnya pohon kiriman perempuan yang amat kupuja. Ya, kupuja lantaran ia tak menaruh rasa sama sekali, tapi aku sungguh mencintainya.
Terima kasih, pohon rindu. Pohon yang memutuskan mati ketimbang memanggul malu. Pohon yang pernah mengantar hatiku mekar, meski aroma senyumku makin tawar.
Yogyakarta, 2012
Kasihan!
Setiap aku mengangon kata, setiap itu pula tetanggaku ikut bergabung. Namanya Dirman. Ia dipanggil Kasihan.
Benar. Orang-orang menyebutnya demikian, dikarenakan memang ia pantas dikasihani. Bayangkan! Dirman terlahir dari rongga kemaluan babi betina yang ditemukan Pak Joko waktu berburu di hutan. Mata satu. Telinga satu. Bokong tiga. Anunya sepertiga.
Oh, pasti kalian benar-benar kasihan kalau mengetahui sejak balita Dirman tak bisa mengucap apa-apa. Ia cuma menitihkan air mata jika menghendaki sesuatu. Air mata yang tersendat-sendat, karena diperas dari satu mata; lubang yang begitu mungil ukurannya. Sayang sekali, Pak Joko sulit memantau mana Dirman yang berduka, mana Dirman yang bersuka, karena antara kesedihan dan kegembiraan telanjur tiada sekat. Berkelindan. Bertukar tampang. Mengembar siam. Siam yang mustahil dibedakan.
Sejak umur tujuh tahun aku rajin mengajak Dirman mengangon kata. Dengan bersamanya, aku sering mengumpulkan air matanya yang berbau keemasan. Air mata yang mengingatkanku pada kakek yang menggerung-gerung sesaat sebelum menjemput maut. Pada pipi ibu yang basah kuyup, menyesali kenapa dulu mau dikawini ayah, yang penyair. Penyair yang gemar mengobral tanduk puisi di halaman koran. Yang bersedia dibayar recehan, namun akhirnya harus mendengkur di bui paling kejam.
Meskipun sesenggukan, aku mengerti bahwa menangisnya Dirman menunjukkan kegembiraan. Hal itu tampak ketika suatu hari ia mengaku bermimpi bertemu kuda telanjang. Ia tidak menangis lantaran kelopak matanya terpejam. Anehnya, dari kemaluannya bercucuran air mata keruh, kental, gurih, menggiurkan. Dan, sejak balig itulah Dirman kerap merajukku untuk bersama-sama mengangon kata, walau ketika aku menyanggupi, ia malah menangis. Tangis yang pura-pura. Tangis yang sebetulnya adalah tawa.
Tapi, sejak ia berusia dua puluh tahunan, aku mulai resah dan menjauh dari Dirman. Pasalnya, semua puisi yang kupelihara selama ini ternyata tertular derita Dirman: bermata satu, bertelinga satu, berbokong tiga, beranu sepertiga. “Ah, kasihan!”
Yogyakarta, 2012
Keterangan: puisi ini terinspirasi dari puisi Mardi Luhung berjudul Sungai Kembar.
-----------
Riza Multazam Luthfy, Pendiri dan kontributor komunitas Sastra Minggu. Karya-karyanya bertebaran di beberapa media dan antologi.
Lampung Post, Minggu, 3 Agustus 2014
Gerimis gundul tiba-tiba datang serupa iblis bermata garang. Ia dengan bengis menginjak-injak pohon rindu yang baru dua tahun kutanam. Di ladang perasaan. Di kebun mimpi yang hijau dan rindang.
Seperti juga kuda pasukan Sparta kala menyerbu Kampung Laconia, gerimis itu begitu beringasnya. Sampai-sampai tiada mampu ia bedakan mana kaki-kakinya yang mengancam. Mana pula tumbuhan yang hendak diluluhlantakkan. Sampai-sampai pohon kecilku tumbang. Akarnya berserakan, melebur dengan muka tanah yang bulat panjang. Daun yang semestinya berkorban demi lambung ulat, berceceran tanpa secuil pun mengais manfaat.
Padahal, seperti pesan Eyang, pohon satu ini tampak kurang tertarik dengan segala jenis cairan. Ia macam kaktus, tapi bukan. Ia sangat benci jika suatu hari seekor makhluk sengaja melumeri punggungnya. Atau kepalanya. Atau lehernya. Atau anggota tubuh yang jamak disebut daun dan dahan, tapi ia lebih suka menyebut kaki dan tangan.
Maka, gerimis bedebah! Ketahuilah, bahwa aku memberinya minum bukan dengan cara sembarang. Berbulan-bulan sebelumnya aku mengambil segayung air dari Sungai Nil untuk kemudian kutitipkan pada tanaman-tanaman rambat di sekitarnya. Merekalah yang kumintai bantuan untuk memasukkan setetes demi setetes ke mulutnya, ketika sudah benar-benar mendengkur.
Pohon kesayanganku memang pemalu. Makanya, jangan heran jikalau ia memilih bermukim di lahan yang subur. Dengan begitu, ia bisa terus mengalirkan napas tanpa terlihat sibuk mencari cairan. Ia pura-pura menyapa tetangga, berjabat tangan, lantas mengusapkan jemarinya yang basah—karena bersentuhan dengan tanaman lain—ke sekujur badan. Ia belum mengerti bahwa aku, pemiliknya, telah turut serta menyelundupkan larutan yang sangat diperlukan dalam hidupnya.
Ah, sudahlah. Kau, gerimis! Kau boleh tertawa sesuka perutmu, sebab menerka bahwa sebentar lagi aku terlunta-lunta. Menderita atas gugurnya pohon kiriman perempuan yang amat kupuja. Ya, kupuja lantaran ia tak menaruh rasa sama sekali, tapi aku sungguh mencintainya.
Terima kasih, pohon rindu. Pohon yang memutuskan mati ketimbang memanggul malu. Pohon yang pernah mengantar hatiku mekar, meski aroma senyumku makin tawar.
Yogyakarta, 2012
Kasihan!
Setiap aku mengangon kata, setiap itu pula tetanggaku ikut bergabung. Namanya Dirman. Ia dipanggil Kasihan.
Benar. Orang-orang menyebutnya demikian, dikarenakan memang ia pantas dikasihani. Bayangkan! Dirman terlahir dari rongga kemaluan babi betina yang ditemukan Pak Joko waktu berburu di hutan. Mata satu. Telinga satu. Bokong tiga. Anunya sepertiga.
Oh, pasti kalian benar-benar kasihan kalau mengetahui sejak balita Dirman tak bisa mengucap apa-apa. Ia cuma menitihkan air mata jika menghendaki sesuatu. Air mata yang tersendat-sendat, karena diperas dari satu mata; lubang yang begitu mungil ukurannya. Sayang sekali, Pak Joko sulit memantau mana Dirman yang berduka, mana Dirman yang bersuka, karena antara kesedihan dan kegembiraan telanjur tiada sekat. Berkelindan. Bertukar tampang. Mengembar siam. Siam yang mustahil dibedakan.
Sejak umur tujuh tahun aku rajin mengajak Dirman mengangon kata. Dengan bersamanya, aku sering mengumpulkan air matanya yang berbau keemasan. Air mata yang mengingatkanku pada kakek yang menggerung-gerung sesaat sebelum menjemput maut. Pada pipi ibu yang basah kuyup, menyesali kenapa dulu mau dikawini ayah, yang penyair. Penyair yang gemar mengobral tanduk puisi di halaman koran. Yang bersedia dibayar recehan, namun akhirnya harus mendengkur di bui paling kejam.
Meskipun sesenggukan, aku mengerti bahwa menangisnya Dirman menunjukkan kegembiraan. Hal itu tampak ketika suatu hari ia mengaku bermimpi bertemu kuda telanjang. Ia tidak menangis lantaran kelopak matanya terpejam. Anehnya, dari kemaluannya bercucuran air mata keruh, kental, gurih, menggiurkan. Dan, sejak balig itulah Dirman kerap merajukku untuk bersama-sama mengangon kata, walau ketika aku menyanggupi, ia malah menangis. Tangis yang pura-pura. Tangis yang sebetulnya adalah tawa.
Tapi, sejak ia berusia dua puluh tahunan, aku mulai resah dan menjauh dari Dirman. Pasalnya, semua puisi yang kupelihara selama ini ternyata tertular derita Dirman: bermata satu, bertelinga satu, berbokong tiga, beranu sepertiga. “Ah, kasihan!”
Yogyakarta, 2012
Keterangan: puisi ini terinspirasi dari puisi Mardi Luhung berjudul Sungai Kembar.
-----------
Riza Multazam Luthfy, Pendiri dan kontributor komunitas Sastra Minggu. Karya-karyanya bertebaran di beberapa media dan antologi.
Lampung Post, Minggu, 3 Agustus 2014
No comments:
Post a Comment