Telapak Waktu
Kau adalah telapak waktu. Yang menjejak di tubuhku, sepanjang hari yang penuh duri. Kerumun mimpi yang tak usai kupunguti satu per satu. Namun kau terus melangkah, berharap tak kesasar bersama sejarah yang hambar. Di jalan yang gelap tanpa kertas peta, kau tarik lenganku dan memancung segala purnama yang hinggap di langit. Tapi orang-orang lebih senang merayakan luka dari pori-pori kulit mereka. Memasuki serapah yang dipenuhi ludah, atau segala tabiat jahat sebelum malam berangkat. Dan engkau masih terus menyobek hari yang tertanda dalam almanak. Seperti segala dosa dan sedih telah tamat. Di rimbun kota, aku dihinggapi cemas yang runcing di ujung rambut. Suara anjing yang terus melolong, dan kota yang telah menjelma jadi raksasa hitam. Namun tahun memang menua, jejaknya masih kau catat, di sebuah buku yang telah terjatuh di lorong gelap. Suara teriakan itu bergumul, memanggul semua jasad yang kehilangan kenangan.
Engkau adalah telapak waktu. Jejak tanpa muslihat, mendekapku dalam muram.
Edelweis, 2014
Gumam Puisi
Sejauh mana engkau pergi
Kota telah buta oleh cahaya
Kata menjadi rekah fajri
Yang melulu dihimpun sunyi
*
Mungkin tangis
Yang tak sempat direkam
Oleh gumpalan luka
Menggumul dari sisa cahaya
*
Aku dan kamu membaca
Sepanjang aksara
Yang tak juga
Jadi tua
*
Sepanjang puisi
Bara kata yang hampir mati
Kenangan terasa sunyi
Memanggil suara lain
Yang mungkin abadi
*
Langkah kaki
Terseret pergi
Wangi sunyi
Terbakar lagi
2014
Hujan Juli yang Dingin
Sepanjang hari, Juli tertempa hujan. Dingin abadi di jalanan, sementara orang-orang melangkah dalam puasa yang teduh, atau menanti siapa yang kelak jadi presiden. Hujan merantau di seluruh ruangan, merebut segala bayangan angin. Kaca-kaca berembun, kenangan membasah, airmata terus berjatuhan. Tubuh-tubuh berdesakan, mencari payung atau sekadar mantel hangat. Aku merapat ke masalalu, yang selalu saja buntu. Melangkah di antara genangan luka yang lama membatu. Juli terus membasah, di tiang-tiang listrik. Cemeti sunyi merebak, menapak tanpa jejak diusap air. Mengalir dari setiap pangkal kesedihan. Hujan belum juga berhenti. Dan kerumun orang masih menepi, bercanda dengan degup waktu yang makin nampak di dada.
Juli 2014
Kita
- asrina
Ingin kucabuti segala sedihmu. Sembilan tahun dan kita berangkat menjadi tua. Tapi selalu ciumanmu kutunggu, di batas pagi atau malam. Agar segala sesak di dadaku terdiam. Bukankah selalu ada pintu rumah yang terbuka; dengan tawa kanak-kanak setiap kali kita tiba? Maka akan kuredakan sesal yang kausimpan dari jalanan. Pernikahan ini akan melingkar di seluruh tubuh, sebab engkau bukan lagi dara yang kerap menunggu mekar mawar.
Ini musim hujan, yang selalu kauarsir dengan cemas. Bersama dinginnya yang muram, menghitung kelam demi kelam. Tetapi, aku akan selalu tiba untukmu. Bertahun-tahun meski berkerumun dendam dan demam. Merindukan selalu, pelukanmu yang rapat itu.
Juli 2014
Bermain dengan Hujan
Bukankah itu adalah hujan yang kautemui waktu kanak dulu? Dengan tubuh kecilmu berlari sepanjang jalan, hingga tubuhmu kuyup, kulitmu mengerut. Tanpa cemas. Dan itulah kenangan yang panjang, meski engkau meriang, menahan gemetar tubuh yang dibalut dingin. Gigimu gemeretuk, mengetuk mimpi yang binar. Nampak pijar matamu selalu berdenyar, sepanjang hari.
Kini engkau jalani lagi ingatan itu, namun tubh yang dewasa tak sanggup menampung segala riang hujan. Tubuhmu ngilu dan dihajar influenza berat. Kau coba mengingat; ternyata kilap hujan lebih kuat. Tak bisa kautampung hingga rampung di tempurung kepalamu. Hanya ingatan pada selimut hangat atau jalanan yang terus membasah dalam kecambah hujan.
Kebon Jeruk, 2014
-----------
Alex R. Nainggolan, lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di Jurusan Manajemen FE Unila. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di berbagai media dan antologi bersama. Bukunya: Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, 2012), dan Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, 2012).
Lampung Post, Minggu, 27 Juli 2014
Kau adalah telapak waktu. Yang menjejak di tubuhku, sepanjang hari yang penuh duri. Kerumun mimpi yang tak usai kupunguti satu per satu. Namun kau terus melangkah, berharap tak kesasar bersama sejarah yang hambar. Di jalan yang gelap tanpa kertas peta, kau tarik lenganku dan memancung segala purnama yang hinggap di langit. Tapi orang-orang lebih senang merayakan luka dari pori-pori kulit mereka. Memasuki serapah yang dipenuhi ludah, atau segala tabiat jahat sebelum malam berangkat. Dan engkau masih terus menyobek hari yang tertanda dalam almanak. Seperti segala dosa dan sedih telah tamat. Di rimbun kota, aku dihinggapi cemas yang runcing di ujung rambut. Suara anjing yang terus melolong, dan kota yang telah menjelma jadi raksasa hitam. Namun tahun memang menua, jejaknya masih kau catat, di sebuah buku yang telah terjatuh di lorong gelap. Suara teriakan itu bergumul, memanggul semua jasad yang kehilangan kenangan.
Engkau adalah telapak waktu. Jejak tanpa muslihat, mendekapku dalam muram.
Edelweis, 2014
Gumam Puisi
Sejauh mana engkau pergi
Kota telah buta oleh cahaya
Kata menjadi rekah fajri
Yang melulu dihimpun sunyi
*
Mungkin tangis
Yang tak sempat direkam
Oleh gumpalan luka
Menggumul dari sisa cahaya
*
Aku dan kamu membaca
Sepanjang aksara
Yang tak juga
Jadi tua
*
Sepanjang puisi
Bara kata yang hampir mati
Kenangan terasa sunyi
Memanggil suara lain
Yang mungkin abadi
*
Langkah kaki
Terseret pergi
Wangi sunyi
Terbakar lagi
2014
Hujan Juli yang Dingin
Sepanjang hari, Juli tertempa hujan. Dingin abadi di jalanan, sementara orang-orang melangkah dalam puasa yang teduh, atau menanti siapa yang kelak jadi presiden. Hujan merantau di seluruh ruangan, merebut segala bayangan angin. Kaca-kaca berembun, kenangan membasah, airmata terus berjatuhan. Tubuh-tubuh berdesakan, mencari payung atau sekadar mantel hangat. Aku merapat ke masalalu, yang selalu saja buntu. Melangkah di antara genangan luka yang lama membatu. Juli terus membasah, di tiang-tiang listrik. Cemeti sunyi merebak, menapak tanpa jejak diusap air. Mengalir dari setiap pangkal kesedihan. Hujan belum juga berhenti. Dan kerumun orang masih menepi, bercanda dengan degup waktu yang makin nampak di dada.
Juli 2014
Kita
- asrina
Ingin kucabuti segala sedihmu. Sembilan tahun dan kita berangkat menjadi tua. Tapi selalu ciumanmu kutunggu, di batas pagi atau malam. Agar segala sesak di dadaku terdiam. Bukankah selalu ada pintu rumah yang terbuka; dengan tawa kanak-kanak setiap kali kita tiba? Maka akan kuredakan sesal yang kausimpan dari jalanan. Pernikahan ini akan melingkar di seluruh tubuh, sebab engkau bukan lagi dara yang kerap menunggu mekar mawar.
Ini musim hujan, yang selalu kauarsir dengan cemas. Bersama dinginnya yang muram, menghitung kelam demi kelam. Tetapi, aku akan selalu tiba untukmu. Bertahun-tahun meski berkerumun dendam dan demam. Merindukan selalu, pelukanmu yang rapat itu.
Juli 2014
Bermain dengan Hujan
Bukankah itu adalah hujan yang kautemui waktu kanak dulu? Dengan tubuh kecilmu berlari sepanjang jalan, hingga tubuhmu kuyup, kulitmu mengerut. Tanpa cemas. Dan itulah kenangan yang panjang, meski engkau meriang, menahan gemetar tubuh yang dibalut dingin. Gigimu gemeretuk, mengetuk mimpi yang binar. Nampak pijar matamu selalu berdenyar, sepanjang hari.
Kini engkau jalani lagi ingatan itu, namun tubh yang dewasa tak sanggup menampung segala riang hujan. Tubuhmu ngilu dan dihajar influenza berat. Kau coba mengingat; ternyata kilap hujan lebih kuat. Tak bisa kautampung hingga rampung di tempurung kepalamu. Hanya ingatan pada selimut hangat atau jalanan yang terus membasah dalam kecambah hujan.
Kebon Jeruk, 2014
-----------
Alex R. Nainggolan, lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di Jurusan Manajemen FE Unila. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di berbagai media dan antologi bersama. Bukunya: Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, 2012), dan Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, 2012).
Lampung Post, Minggu, 27 Juli 2014
No comments:
Post a Comment