Siapa yang Mengambil Suara itu
adakah kau tahu, suara-suara kita hilang.
lenyap dan tak berbekas. angin mungkin
telah menggodanya untuk membawanya
entah ke mana. kau mencoba mencari ke
segala penjuru namun tak muncul harap,
sebab waktu tak lagi memihak.
siapa yang mengambil suara itu?
suara-suara bekas tabunganku. dari periode
masa lalu hingga tersingkap berat zaman
yang kacau ini. dari harapan terkurung
dulu hingga mencoba arus di kanan-kiri.
selatpanjang, juni 2014
Urutan yang Bisu
kita hanya bisa mengeja satu persatu tentang:
harap, keadaan, dan mungkin juga ingatan.
sebab katamu, tak ada yang dapat ditunggu
amuk itu akan lenyap kalau tak kita kejar.
tiba-tiba kau menudingku. mengatakan
satu persatu, apakah keadilan, tuntutan, dan
hak, namun kau jawab tak tahu, sebab waktu
tak lagi memihakmu.
dalam urutan yang ke sekian kita tak tahu lagi
entah kemana pergi. pesan-pesan hanya silih
berganti. menikam, menghunus, dan sulit di
kendali juga sulit dimengerti.
selatpanjang, juni 2014
Kita Hanya Berharap
kita hanya berharap tentang hati yang jujur
mirip kata yang tak mau menipu dari hakikat
maknanya. setelah itu kita bawa kepada cinta
untuk mengobatinya.
kita hanya berharap, tentang tangan yang
terjulur; pada siapa saja. mirip dedaunan
yang menaungi kita dari terik panas matahari.
setelah itu kita bawa menjadi hangat dalam
arti keindahan.
kita hanya berharap, tentang kaki yang tak
akan pergi ke jalan murka. mirip rambu-rambu
sebagai tanda pada benak kita. yang melewat
akan mengingat pada kematian sebaliknya
juga pintasan dari nyawa yang tak sempat
kau semai menjadi kata-kata.
selatpanjang, juni 2014
Separuh Ungkap
sebagian saja aku hanya bisa mengungkap
dari jerit hatimu padamu. semua luka membandang
dalam pikir yang tak lagi hendak mengukir.
kita barangkali duri yang rapuh di tanah sendiri.
hanya mampu berucap dan tak dapat menggaung.
dan kita mungkin sepi yang terkurung bagai jeruji.
seperuh ungkap hanya itu yang terucap.
sekian detik lewat senyap. dan aku masih
menantimu.
selatpanjang, juni 2014
Yang Datang
yang datang adalah angka, meneror tubuh kita.
memakan sisa usia.
yang datang adalah jarak, menepikan mata
dari sudut lihat paling fana.
yang datang adalah ucap, mengatur pasti
dari harap yang kian gigil didapat.
yang datang mungkin langkahmu sendiri,
digelap legam malam, disunyi telanjang.
dikurung pikir yang goyang bahwa kau mengeja
tentang hal rumpang yang belum ada.
yang datang mungkin sorotan matamu itu,
tajam menikam mata hatiku. menjelma makna
dalam yang belum sempat kita eja, namun kau
berharap akan ada waktu untuk mencerna.
selatpanjang, juni 2014
--------
Riki Utomi, penggiat dan penikmat sastra. Buku cerpen tunggalnya Mata Empat (2013). Berproses sebagai guru di SMA Negeri 3 Tebingtinggi, Selatpanjang, Riau.
Lampung Post, Minggu, 31 Agustus 2014
adakah kau tahu, suara-suara kita hilang.
lenyap dan tak berbekas. angin mungkin
telah menggodanya untuk membawanya
entah ke mana. kau mencoba mencari ke
segala penjuru namun tak muncul harap,
sebab waktu tak lagi memihak.
siapa yang mengambil suara itu?
suara-suara bekas tabunganku. dari periode
masa lalu hingga tersingkap berat zaman
yang kacau ini. dari harapan terkurung
dulu hingga mencoba arus di kanan-kiri.
selatpanjang, juni 2014
Urutan yang Bisu
kita hanya bisa mengeja satu persatu tentang:
harap, keadaan, dan mungkin juga ingatan.
sebab katamu, tak ada yang dapat ditunggu
amuk itu akan lenyap kalau tak kita kejar.
tiba-tiba kau menudingku. mengatakan
satu persatu, apakah keadilan, tuntutan, dan
hak, namun kau jawab tak tahu, sebab waktu
tak lagi memihakmu.
dalam urutan yang ke sekian kita tak tahu lagi
entah kemana pergi. pesan-pesan hanya silih
berganti. menikam, menghunus, dan sulit di
kendali juga sulit dimengerti.
selatpanjang, juni 2014
Kita Hanya Berharap
kita hanya berharap tentang hati yang jujur
mirip kata yang tak mau menipu dari hakikat
maknanya. setelah itu kita bawa kepada cinta
untuk mengobatinya.
kita hanya berharap, tentang tangan yang
terjulur; pada siapa saja. mirip dedaunan
yang menaungi kita dari terik panas matahari.
setelah itu kita bawa menjadi hangat dalam
arti keindahan.
kita hanya berharap, tentang kaki yang tak
akan pergi ke jalan murka. mirip rambu-rambu
sebagai tanda pada benak kita. yang melewat
akan mengingat pada kematian sebaliknya
juga pintasan dari nyawa yang tak sempat
kau semai menjadi kata-kata.
selatpanjang, juni 2014
Separuh Ungkap
sebagian saja aku hanya bisa mengungkap
dari jerit hatimu padamu. semua luka membandang
dalam pikir yang tak lagi hendak mengukir.
kita barangkali duri yang rapuh di tanah sendiri.
hanya mampu berucap dan tak dapat menggaung.
dan kita mungkin sepi yang terkurung bagai jeruji.
seperuh ungkap hanya itu yang terucap.
sekian detik lewat senyap. dan aku masih
menantimu.
selatpanjang, juni 2014
Yang Datang
yang datang adalah angka, meneror tubuh kita.
memakan sisa usia.
yang datang adalah jarak, menepikan mata
dari sudut lihat paling fana.
yang datang adalah ucap, mengatur pasti
dari harap yang kian gigil didapat.
yang datang mungkin langkahmu sendiri,
digelap legam malam, disunyi telanjang.
dikurung pikir yang goyang bahwa kau mengeja
tentang hal rumpang yang belum ada.
yang datang mungkin sorotan matamu itu,
tajam menikam mata hatiku. menjelma makna
dalam yang belum sempat kita eja, namun kau
berharap akan ada waktu untuk mencerna.
selatpanjang, juni 2014
--------
Riki Utomi, penggiat dan penikmat sastra. Buku cerpen tunggalnya Mata Empat (2013). Berproses sebagai guru di SMA Negeri 3 Tebingtinggi, Selatpanjang, Riau.
Lampung Post, Minggu, 31 Agustus 2014
No comments:
Post a Comment