Sunday, April 6, 2014

Sajak-Sajak Maulana Satrya Sinaga

Telaga Wree

suara jangkrik di belakang rumah adalah suara ritual rembulan. malam-malam yang gelap dan api unggun adalah cahaya kunang-kunang yang kecil. perempuan-perempuan akan berkaca pada telaga tujuh rupa yang ditabur bunga-bunga. telaga wree yang disebut dewi-dewi sebagai penabur bibit padi.
serupa gerimis, air telaga disiramkan pada ladang, atas nama asap kemenyan dan dupa yang berdiri di janggut para tetua tepat purnama bulat di atas kepala. tujuh ikat pisang, jeruk-jeruk pada altar nyiur yang membentuk. angin yang berhembus di pertengahan tahun adalah muasal selendang yang turun dari langit lalu singgah ke gunung. menyiramkan tanah gersang jadi subur tempat cacing berdiam ratusan tahun  ritual terus dijunjung dan bersambung.
tujuh perempuan membasuh ladang, bibit-bibit kecil bermekaran.

Medan, Januari 2014


Ritual Sampan

Datuk meritualkan sampan.
Sampan dikirim ke laut pasang.
Pasang baut telah terpasang dari kecil hingga sedang.
Sedang istri dirumah menyiapkan gulai kepala ikan.
Ikan-ikan ‘kan ditangkap atas nama sampan orang-orang kampung.
Kampung di pesisir dinamakan Belawan dan anak-anak yang membantu mengembangkan layar.
Layar bergambar jaring.
jaring tergulung siap ditebar.
Tebar senyum istri melambai pada suami.
Suami-suami yang ditakdirkan bertarung pada badai dan menjauhi si ayah karang.
Karang yang kadang membuat perempuan bersedih karena terlambat pulang.
“Pulangkan, pulangkan mereka wahai penghuni lautan. Dengan selamat. Selamatkan. limpahkan. Limpahkan ikan wahai tuan..” Datuk menutup doa dan sampan diantarkan pada lautan.

Medan, Januari 2014


Ketika Ibu Pulang ke Rumah

ibu akan kembali membuka pagar, memberi kabar lewat daun-daun karena rajukan telah turun dari mendung. ayah akan menyambutnya tidak dengan sebatang rokok. karena naga tiada lagi bernapas api. di teras rumah dengan angin seadanya dan kursi yang telah berabu karena saban hari kerja ayah merontokkan rambutnya atas nama kesalahan. ia menyambut ibu dengan pelukan erat lagi tenang.

Medan, Januari 2014


Sampan Gelombang

izinkan kubawa kau ke penghulu
(oy, datok gelombang, surukkan perempuanku di tebing-tebing curam)
kita saling menanam jantung di tanjung-tanjung
prihal ayahmu yang tak pandai menerka rasa dan melarang mekar mawar-mawar di dada
(maka datok, pinjamkanlah, pinjamkanlah dua bait puisi dari si tegar karang)
nandung-nandung pasang gelombang, rangkul-rangkul sampan bersampan
tiada pulangkah apa itu semayam di kedalaman yang dibawa nelayan di haluan
(datok, segala datok, rinaikan, lebatkan, jatuhkan nyiur agar kami sampai ke sujud syukur).

Medan, Januari 2014



Adik Kecil

matanya mata ikan mak, mari kita panggang ia di matahari dengan janji-janji. kita ajarkan ia mengaji agar tak mencuri dan berbaik hati agar tak bersifat dengki.
bau tubuhnya bau sampan, mari kita layarkan ia sampai ke gelombang dan biarkan karang bersemayam agar ia tahu, jantungnya keras dan tak bertanya lagi ketika kita bilang “ayah telah lama hilang.”
kakinya pucuk nyiur, biarkan ia tumbuh bersama angin-angin dari daging.biarkan ia secahaya mercusar agar ia berkabar, setelah kupingnya di azankan. mari mak.

Medan, Januari 2014


Hikayat Pinangan

sebab datuk rubah tak menerima pinangan pangeran, jalan-jalan berliku dibuat melintang. ia akan menikmati suara meriam saat subuh terangkat dan matahari adalah pekat yang berdarah lebat. ia turut anak gadisnya yang manis lagi rupawan seperti durian yang tak kehabisan aroma mengenyangkan. ia tak pula berbunga hati ketika anaknya dijadikan istri oleh lelaki yang tak baik akhlak dan sholatnya.
maka, setelah matahari terbit sejengkal. datuk rubah mendengar keluh dan teriak prajuritnya. ia mengambil keris dan mengejutkan dengan suara halilintar. semua terbakar, namun. ada parang sepanjang punggung dan ia mampu membelah gunung dengan sekali tebasan. datuk rubah terdiam. dan dalam tangis panjang anak gadis termakan pinangan.

Medan, Januari 2014


---------------
Maulana Satrya Sinaga, lahir di Medan, 4 Januari 1989. Bermukim di Medan. Saat ini sedang studi di Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah, Sumatera Utara. Karya-karyanya dimuat di berbagai media dan antologi bersama.



Lampung Post, Minggu, 6 April 2014

No comments:

Post a Comment