Lukisan Penari (1)
aku tak kuasa menera
asal usul dan alamatmu
sedemikian kilat engkau keluar
dari sebalik cermin langit
tempatku berkaca untuk
menanyakan gerak kupu kupu
di antara aroma nektar yang
menguar menyerbu
aku tak sanggup menerka
apa rerumpun kata yang hendak
kau terbitkan pada sendi jelajah
para pemburu takjub yang
bertumbuhan di kanal kanal
kenangan dan harapan
yang melintasi wilayah wilayah
percakapan sepi
pada lentik gerik
dan runcing kerlingmu
aku menafsir siluet siluet
kehidupan yang penuh dendang
yang acap dilumur ratap radang
2013
Afeksi (1)
engkaukah yang melambatkan putaran jarum di arlojiku.
lalu malam menjelma labirin yang dipenuhi kerlip kesepian.
dan jarak menjadi kanvas yang teramat luas, sedangkan
belum muncul juga: tentang apa yang hendak digoreskan
oleh kuas yang terburu terpukau warna.
engkaukah yang telah menjadi arlojiku, yang melingkari
nadi gerakku. wajahmu serupa nebula yang terus mengitari
pergelangan, membuat lintasan orbit di sekeliling taman
degupku. kautebarkan aroma rempah ke udara malam,
sehingga bertumbuh desir kegaiban berbalur nujum
perjamuan.
2013
Berburu Maafmu
: yuni kurniasari
masih kusimpan getar tarian bibirmu
menyapu kanvas malam
yang mengirimkan suar nyala paling madu
kemeriahan yang ritmis
mekar di taman bergantung
pada kedalaman matamu yang lembayung
kuda andong yang gemar mengukur jalanan
tumpukan durian memompakan manis tebaran
serta keramaian jamu kranggan yang tak lekang
oleh gerah tahun tahun yang nyalang berlepasan
becak di perempatan
menafsir usia kesepian
kemarau gigilkan roda ban
pada lintasan penantian
ada degap kepiluan patung pemain biola
merunut kelok panjang pengakuan kelahiran
di kolong sayup lagu kebangsaan negeri yang pucat
aku yang dikerubut racun metropolitan
memutus tali emas dalam erupsi nanar
dan kini aku sendiri yang terkapar
oleh serapah percakapan diam jalanan perkotaan
telah kukunyah petikan karma darimu
hingga menjadi roman temaram di alur aliran sungai
yang mencari muara ke langit
entah bila,
dapat kusadap sari kata darimu
buat membasuh kekelaman ruang napasku
Purworejo, 2010
Cemara Tujuh
aku terkenang tujuh tubuh
yang meninggi mengusap langit
ilusi dialiri bulir sepoi sore
bersama denting gamelan dan kicau burung
mengirimkan keharuan zaman
ke jantung matahari tembaga
rerupa bunga padma
menjadi lelampu di rantingmu
di seberang kekar pilar pilar dan
lembar selasar yang tergelar
merawi takzim agung balairung
memeram riwayat renung
dalam khusyuk kembara
berkali aku menyunting auramu, hingga
mengepul rindu. amuk risau menderu.
2012
----------------
Budhi Setyawan, lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 9 Agustus 1969. Tulisannya dimuat di banyak media nasional dan daerah. Sekarang aktif di kegiatan bulanan Sastra Reboan di Bulungan, Jakarta Selatan, serta sebagai penggagas dan ketua Forum Sastra Bekasi.
Lampung Post, Minggu, 1 Desember 2013
aku tak kuasa menera
asal usul dan alamatmu
sedemikian kilat engkau keluar
dari sebalik cermin langit
tempatku berkaca untuk
menanyakan gerak kupu kupu
di antara aroma nektar yang
menguar menyerbu
aku tak sanggup menerka
apa rerumpun kata yang hendak
kau terbitkan pada sendi jelajah
para pemburu takjub yang
bertumbuhan di kanal kanal
kenangan dan harapan
yang melintasi wilayah wilayah
percakapan sepi
pada lentik gerik
dan runcing kerlingmu
aku menafsir siluet siluet
kehidupan yang penuh dendang
yang acap dilumur ratap radang
2013
Afeksi (1)
engkaukah yang melambatkan putaran jarum di arlojiku.
lalu malam menjelma labirin yang dipenuhi kerlip kesepian.
dan jarak menjadi kanvas yang teramat luas, sedangkan
belum muncul juga: tentang apa yang hendak digoreskan
oleh kuas yang terburu terpukau warna.
engkaukah yang telah menjadi arlojiku, yang melingkari
nadi gerakku. wajahmu serupa nebula yang terus mengitari
pergelangan, membuat lintasan orbit di sekeliling taman
degupku. kautebarkan aroma rempah ke udara malam,
sehingga bertumbuh desir kegaiban berbalur nujum
perjamuan.
2013
Berburu Maafmu
: yuni kurniasari
masih kusimpan getar tarian bibirmu
menyapu kanvas malam
yang mengirimkan suar nyala paling madu
kemeriahan yang ritmis
mekar di taman bergantung
pada kedalaman matamu yang lembayung
kuda andong yang gemar mengukur jalanan
tumpukan durian memompakan manis tebaran
serta keramaian jamu kranggan yang tak lekang
oleh gerah tahun tahun yang nyalang berlepasan
becak di perempatan
menafsir usia kesepian
kemarau gigilkan roda ban
pada lintasan penantian
ada degap kepiluan patung pemain biola
merunut kelok panjang pengakuan kelahiran
di kolong sayup lagu kebangsaan negeri yang pucat
aku yang dikerubut racun metropolitan
memutus tali emas dalam erupsi nanar
dan kini aku sendiri yang terkapar
oleh serapah percakapan diam jalanan perkotaan
telah kukunyah petikan karma darimu
hingga menjadi roman temaram di alur aliran sungai
yang mencari muara ke langit
entah bila,
dapat kusadap sari kata darimu
buat membasuh kekelaman ruang napasku
Purworejo, 2010
Cemara Tujuh
aku terkenang tujuh tubuh
yang meninggi mengusap langit
ilusi dialiri bulir sepoi sore
bersama denting gamelan dan kicau burung
mengirimkan keharuan zaman
ke jantung matahari tembaga
rerupa bunga padma
menjadi lelampu di rantingmu
di seberang kekar pilar pilar dan
lembar selasar yang tergelar
merawi takzim agung balairung
memeram riwayat renung
dalam khusyuk kembara
berkali aku menyunting auramu, hingga
mengepul rindu. amuk risau menderu.
2012
----------------
Budhi Setyawan, lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 9 Agustus 1969. Tulisannya dimuat di banyak media nasional dan daerah. Sekarang aktif di kegiatan bulanan Sastra Reboan di Bulungan, Jakarta Selatan, serta sebagai penggagas dan ketua Forum Sastra Bekasi.
Lampung Post, Minggu, 1 Desember 2013
No comments:
Post a Comment