Senandung Biji Kopi
: Bunda
di setiap subuh yang basah
tanganmu tak akan pernah mengalah
memetik tubuhku, mencium daunku
sampai petang datang menyerang
membekukan akar-akar harapan
yang sabar menyimpan kenangan
dengan keranjang setinggi punggung
seperti harapan panjang dan agung
kau memilih warna paling merah
paling besar menyimpan gairah
sedangkan tubuhku yang lain
kau biarkan menunggu, mengamati
waktu belajar untuk kembali
bila aku telah memenuhi keranjangmu
pertanda pagi telah mencuri matahari
kau lihat ilalang menguning
maka hidupku akan dibakar dan digiling
telah kuikhlaskan segalanya untukmu
seharum aromaku saat dihidangkan
di atas meja panjang, di pinggir kolam
saat pagi mengundang dingin yang dalam
Lombok, 2013
Musim Layang-Layang
kami tandai angin di pohon kelapa
batang-batang tebu dan boneka padi
juga burung kecial kuning
yang bila mereka bernyanyi
musim kanak-kanak bakal dimulai
benang sepanjang kelok ke rinjani
kami gulung pada kaleng tak berisi
anak-anak bambu kami tebang
kami rajut dengan sabar jadi bagan
lalu kami kumpulkan anak jeliwang
kami sambung jadi tubuh yang ringan
murahnya harga kesenangan kami
layang-layang masa kecil ini
kami kenang pada musim harga tinggi
Lombok, 2013
Musim Kelereng
kami hanya senang bila dapat menjengkal tangan
mendekati keberadaan lawan di pinggir lubang
meski terkadang saat berada di tempat sempit
kami terpaksa harus diam-diam melebarkan kaki
untuk mendapat letak pukul yang pasti.
betapa lebih senangnya lagi, bila hasil pukulan kami
membuat tanda serius di tubuh musuh
sampai musim permainan ini berakhir
sungguh kami tak pernah mengerti
ketika terjatuh ke lubang yang sama berkali-kali
Lombok, 2013
Gadis Meliwis
bulan terang bertandang ke pelabuhan
menerangi ingatan pada tubuhmu
seakan memandang sisa kesedihan
di tengah pelayaran panjang
cahaya itu bertebaran bersama harum malam
menyulap wajahmu menjadi tempat istirah
bagi lelah yang kehilangan angin dan arah
terkadang di bawah pohon ketapang
aku merasakan kecupan yang tak sengaja kau sisakan
bersama kepulangan para nelayan
ketika langit pagi menyimpan sisa bulan
kupandang laut ini sangat bersih untuk dikenang
bersama tubuhmu di malam yang tenang
Lombok, 2013
Takdir Kerikil
sungai yang sabar adalah ibu
mengandung batu sebelum dipalu
melihat masa depan yang kelak
menggelincir kecil di telapak kaki
oh, jangan lupakan tubuhku ini
yang tak dipandang bila sendiri
Lombok, 2013
-------
Fatih Kudus Jaelani, lahir di Pancor, Lombok Timur, 31 Agustus 1989. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Hamzanwadi Selong. Aktif mengelola Komunitas Rabu Langit, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis puisi dan telah disiarkan di sejumlah media cetak dan beberapa antologi bersama.
Lampung Post, Minggu, 10 November 2013
: Bunda
di setiap subuh yang basah
tanganmu tak akan pernah mengalah
memetik tubuhku, mencium daunku
sampai petang datang menyerang
membekukan akar-akar harapan
yang sabar menyimpan kenangan
dengan keranjang setinggi punggung
seperti harapan panjang dan agung
kau memilih warna paling merah
paling besar menyimpan gairah
sedangkan tubuhku yang lain
kau biarkan menunggu, mengamati
waktu belajar untuk kembali
bila aku telah memenuhi keranjangmu
pertanda pagi telah mencuri matahari
kau lihat ilalang menguning
maka hidupku akan dibakar dan digiling
telah kuikhlaskan segalanya untukmu
seharum aromaku saat dihidangkan
di atas meja panjang, di pinggir kolam
saat pagi mengundang dingin yang dalam
Lombok, 2013
Musim Layang-Layang
kami tandai angin di pohon kelapa
batang-batang tebu dan boneka padi
juga burung kecial kuning
yang bila mereka bernyanyi
musim kanak-kanak bakal dimulai
benang sepanjang kelok ke rinjani
kami gulung pada kaleng tak berisi
anak-anak bambu kami tebang
kami rajut dengan sabar jadi bagan
lalu kami kumpulkan anak jeliwang
kami sambung jadi tubuh yang ringan
murahnya harga kesenangan kami
layang-layang masa kecil ini
kami kenang pada musim harga tinggi
Lombok, 2013
Musim Kelereng
kami hanya senang bila dapat menjengkal tangan
mendekati keberadaan lawan di pinggir lubang
meski terkadang saat berada di tempat sempit
kami terpaksa harus diam-diam melebarkan kaki
untuk mendapat letak pukul yang pasti.
betapa lebih senangnya lagi, bila hasil pukulan kami
membuat tanda serius di tubuh musuh
sampai musim permainan ini berakhir
sungguh kami tak pernah mengerti
ketika terjatuh ke lubang yang sama berkali-kali
Lombok, 2013
Gadis Meliwis
bulan terang bertandang ke pelabuhan
menerangi ingatan pada tubuhmu
seakan memandang sisa kesedihan
di tengah pelayaran panjang
cahaya itu bertebaran bersama harum malam
menyulap wajahmu menjadi tempat istirah
bagi lelah yang kehilangan angin dan arah
terkadang di bawah pohon ketapang
aku merasakan kecupan yang tak sengaja kau sisakan
bersama kepulangan para nelayan
ketika langit pagi menyimpan sisa bulan
kupandang laut ini sangat bersih untuk dikenang
bersama tubuhmu di malam yang tenang
Lombok, 2013
Takdir Kerikil
sungai yang sabar adalah ibu
mengandung batu sebelum dipalu
melihat masa depan yang kelak
menggelincir kecil di telapak kaki
oh, jangan lupakan tubuhku ini
yang tak dipandang bila sendiri
Lombok, 2013
-------
Fatih Kudus Jaelani, lahir di Pancor, Lombok Timur, 31 Agustus 1989. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Hamzanwadi Selong. Aktif mengelola Komunitas Rabu Langit, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis puisi dan telah disiarkan di sejumlah media cetak dan beberapa antologi bersama.
Lampung Post, Minggu, 10 November 2013
No comments:
Post a Comment