Penambang Karst
baju yang ia pakai tak pernah
istimewa. begitu pula dengan
pekerjaan yang ia lakukan. tangannya
hangat, kaki dan batunya selalu semangat
menaiki tekstur gunung batu.
ada yang sebenarnya ia kehendaki, namun
sulit dilakukan. ia hanya ingin bahagia
tak pernah lebih dari itu
dilain waktu, ia memikul batu serta
membawanya ke rumah. “batu ini bagus
istriku” tersenyum ramah. waktu akan
menjadi batu. menjadi sesuatu
yang bisa saja berharga. bisa juga tidak
ia memahat batu itu sambil
berbicara pada istri dan anaknya
“untuk kuburanku nanti”
Tandur
(sebelum lupa karena terlalu
bahagia, sebaiknya tidur sejenak)
percayalah, akan ada indung padi
yang ranum meski tanpa sesaji. sebab
selalu ada yang dilupakan setiap kali
mencangkul. istrimu serta senyummu
yang menyusut
tuhan adalah tanah dan air ini,
menumbuhkan helai demi helai
daun padi, menumbuhkan anak-anak
padi
sebab padi adalah waktu untuk setiap
waktu yang berhenti
sejenak
Kepada Perajin Tikar
terima kasih, aku ingat kembali
bagaimana cara merapikan
keindahan kenangan
Kepada Seorang Pengendali
belum pernah aku melihat seseorang
yang luar biasa peduli akan rakyatnya. sekali pun
dalam wayang. atau film atau drama atau
pada suatu kesempatan di desa terpencil
di ujung jawa barat. ada yang berbicara pelan
padaku, suaranya radio rusak. aku
bulan yang kehilangan malam. dua belas jam
berada di pasar. wajah-wajah berputar, memilin
cerita dari bau amis ikan, sayuran yang mulai
layu. laguku sandal jepit dan suara orang-orang
yang saling tawar menawar. semua
orang berbicara, tapi tak saling mengenal
apakah ini film atau cerita drama atau lakon wayang?
apabila kau tak pernah datang ke sini
ke pasar ini, ke ujung jawa barat
maka kusampaikan padamu salam
hangat dari sini. setelah itu
aku hanya ingin mencintaimu. ini puisiku
untukmu para pengendali
Morse
bila saja kedipan itu matamu
maka aku akan sangan paham dan
mengerti
The Road
sebenarnya aku tidak tahu jalan ini
maka selalu tersandung, selalu menginjak
apa saja yang tidak pernah aku tahu
jalan ini semakin menyempit, kakiku dan
kepalaku terasa semakin besar
tanganku menggapai apa saya yang terlihat
namun aku selalu tersandung
sebab aku tak tahu jalan ini
juga kenangan
-----------
Heri Maja Kelana, lahir 14 Januari 1986. Sekarang aktif di Institut Sastra Cikalong dan mengasuh di Rumah Baca Taman Sekar Bandung. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media lokal dan nasional.
Lampung Post, Minggu, 17 November 2013
baju yang ia pakai tak pernah
istimewa. begitu pula dengan
pekerjaan yang ia lakukan. tangannya
hangat, kaki dan batunya selalu semangat
menaiki tekstur gunung batu.
ada yang sebenarnya ia kehendaki, namun
sulit dilakukan. ia hanya ingin bahagia
tak pernah lebih dari itu
dilain waktu, ia memikul batu serta
membawanya ke rumah. “batu ini bagus
istriku” tersenyum ramah. waktu akan
menjadi batu. menjadi sesuatu
yang bisa saja berharga. bisa juga tidak
ia memahat batu itu sambil
berbicara pada istri dan anaknya
“untuk kuburanku nanti”
Tandur
(sebelum lupa karena terlalu
bahagia, sebaiknya tidur sejenak)
percayalah, akan ada indung padi
yang ranum meski tanpa sesaji. sebab
selalu ada yang dilupakan setiap kali
mencangkul. istrimu serta senyummu
yang menyusut
tuhan adalah tanah dan air ini,
menumbuhkan helai demi helai
daun padi, menumbuhkan anak-anak
padi
sebab padi adalah waktu untuk setiap
waktu yang berhenti
sejenak
Kepada Perajin Tikar
terima kasih, aku ingat kembali
bagaimana cara merapikan
keindahan kenangan
Kepada Seorang Pengendali
belum pernah aku melihat seseorang
yang luar biasa peduli akan rakyatnya. sekali pun
dalam wayang. atau film atau drama atau
pada suatu kesempatan di desa terpencil
di ujung jawa barat. ada yang berbicara pelan
padaku, suaranya radio rusak. aku
bulan yang kehilangan malam. dua belas jam
berada di pasar. wajah-wajah berputar, memilin
cerita dari bau amis ikan, sayuran yang mulai
layu. laguku sandal jepit dan suara orang-orang
yang saling tawar menawar. semua
orang berbicara, tapi tak saling mengenal
apakah ini film atau cerita drama atau lakon wayang?
apabila kau tak pernah datang ke sini
ke pasar ini, ke ujung jawa barat
maka kusampaikan padamu salam
hangat dari sini. setelah itu
aku hanya ingin mencintaimu. ini puisiku
untukmu para pengendali
Morse
bila saja kedipan itu matamu
maka aku akan sangan paham dan
mengerti
The Road
sebenarnya aku tidak tahu jalan ini
maka selalu tersandung, selalu menginjak
apa saja yang tidak pernah aku tahu
jalan ini semakin menyempit, kakiku dan
kepalaku terasa semakin besar
tanganku menggapai apa saya yang terlihat
namun aku selalu tersandung
sebab aku tak tahu jalan ini
juga kenangan
-----------
Heri Maja Kelana, lahir 14 Januari 1986. Sekarang aktif di Institut Sastra Cikalong dan mengasuh di Rumah Baca Taman Sekar Bandung. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media lokal dan nasional.
Lampung Post, Minggu, 17 November 2013
No comments:
Post a Comment