Sunday, June 30, 2013

Sajak-sajak Ahmad Yulden Erwin

Amsal Keluarga Bahagia

Aku menunggumu, adikku, di tepian rawa itu
Lelehan waktu pada kalender, detik-detik biru
Tumbuh di lipatan awan, kau tak hadir di situ.

Kakakku mujair, ah, kadang suka melompat
Tiba-tiba, sebuah sirkus natural, lebih cepat
Mengejar kilau sisik ungu hingga kecipak air.

Datukku selalu mengalir, meski tanpa gerak
Seperti pertapa stroke di puncak Mahameru
Terjaga ia melihat langit di bawah tumitnya.

Ibuku elang raja terbang di bawah lebat hujan
Sekilat cahaya syamsi menukik ke sungai tawa
Ah, ia sambar tubuh kakakku dengan cakarnya.

Lebih lengang tinimbang malam itulah keluarga
Bintang kejora, di kening langit, menelan bulan
Di tebing selatan: hatiku matang ditanak cuaca!

Bapakku sehelai rambut kini terhidang di meja
Makan, seharian bekerja akhirnya cuma semaput
Di usus lima ekor anaknya: keluarga yang bahagia.



Hidup Normal

Efisien dan kukuh
bagai cangkang kerang,
Dari atap gedung lantai
sepuluh, segalanya
tampak bagai mosaik
dan meluas, sebelum runtuh.

Bolak-balik mengejar
mandi, memeras cangkir
di ember cucian, mimpi
tercuci di selokan, tanpa air.

Tahan dalam tekanan,
Tanpa keluh, seperti
seorang pelari jarak jauh
melintasi sepinggan tulang ikan.

Hidup mulai normal kembali
pagi ini, perjanjian kerja
telah direvisi, seperti biasa,
Molotov dan pentungan polisi.

‘Ketatkan lambung anda,
Bandara siap mendarat
di pesawat kenaikan harga.’

Ujung sepatu kirimu
terlepas solnya — pintu
menganga — dan tertawa.



Keluar
Keluar! Hidung perlu udara segar
Menghirup harum hening padang
Cahaya, di ranum puting semesta
Lidah mesti menyesap embun pagi
Berkilau selengkung mata capung
Lesap ke hijau rimbun dedaun turi
Telinga perlu menangkap kicau 
Kenari, di pucuk ranting pelangi
Bagai mata bajing lapar, lihatlah
Keningmu kini bergetar menyulur
Ke ladang-ladang hati bagai napas
Bagai akar bagai tunas bagai awan
Gelisah tenang utuh ragu percaya
Jatuh bangun sebagai tanda sebagai
Makna sebagai hantu sebagai kisah
Sebagai madu di lidah pahit cuaca
Keluar! Penari! Keluar! Lihatlah:
Lututmu meluas menjelma semesta.



Robot

Robot bunga matahari itu bersinar
Di tengah padang kata-kata. Larva
Kuning membentangkan sayapnya,

Meringkik kepada cahaya. Penyair
Hitam menjemput gelap ke dalam
Pelupuk matanya. Robot kumbang

Hinggap di petal padma. Jemarimu
Mulai bersinar seperti lampu sorot
Mengejek kerling satori bodhisatwa

Usai menatap bintang fajar. Pikiran
Gelisah berputar bagai roda karma;
Kerut keningmu berdenyut lembut,

Semesta seringan bulu. 30 abad lalu
Melingkar dalam jejaring ketiadaan,
Lelaki begini belum mampu melihat

Dusta dharma di depan biji matanya;
Kini kucipta tulpa robot bermata biru
Agar dapat kaulihat semesta mimpiku.



Tiga Kilasan Gaya John Kuan

1.
Ini bukan soal tiga pon jerami, barangkali
Cuma cahaya tiga lampion, atau mirip senyum
Peramal Tao dengan sebotol arak di bahunya
Lalu pergi: jalan itu, kerikil itu – ia melangkah
Lurus, pelan – sesekali bayangnya bisa menoleh

2.
Tiga koi merah bersisik perak di kepala
Berkilat di kolam dekat kuil; jembatan itu lama
Ditinggalkan – hanya sesekali gema genta
Dicuil jadi sarapan bangau lukisan – mereka
Sebut itu gugus awan: jembatan Joshu yang lain

3.
Koko telanjang dada di bawah bulan petik
Kecapi – sebelum lubang cacing putih memilin
Ujung telunjuk Juzhi pada touchscreen – mungkin
Kita pas berpisah frekwensi di ruang yang sama
Begini saja mestinya sudah cukup jadi jalan pulang


-----------
Ahmad Yulden Erwin, lahir di Tanjungkarang. Beberapa puisinya  diterbitkan di berbagai media massa, juga dalam beberapa antologi puisi bersama di antaranya: Memetik Puisi Dari Udara (1987), Jung (1994), Daun-Daun Jatuh Tunas-Tunas Tumbuh (1995), Festival Januari (1996), Refleksi Setengah Abad Indonesia (1995), Dari Huma Lada (1996), Mimbar Penyair Abad 21 (1997), dan Cetik (1999).


Lampung Post, Minggu, 30 Juni 2013

No comments:

Post a Comment