Seorang Bajang di Atas Tunggangan
padang malam dengan serabut kabut
kaok burung jangkung melengkung
dalam gelap, derap bajang di atas tunggangan
tanpa sanggurdi, tanpa kelewang tajam
hanya sekendi air,
sesekali diteguk bila kantuk merasuk ke lubuk
ini jalan memanjang ke langit tak bergarit
tapi harus kau kumpulkan riwayat kampung
meski hanya serpih buih di cangkang pipih
cangkang kerang mati yang kau temui di pantai nanti
saat tunggangan menjelma sampan ringkih
maka padang malam disulam, serabut kabut disulut
untuk penempuhan terpanjang seorang bajang
merunut masa silam, mencari jalan pulang
serupa mencuri linang anak perawan!
Seorang Petinju Kepada Istrinya
tak pernah kumenangkan pertarungan denganmu
meski di gelanggang aku begitu garang
berapa tahun semenjak kau tahan tuhan
agar meluruskan seluruh jalan
di lorong penuh laron tempat kau muncul bagai roh pohon
justru karena kelemahan paling terpahamkan
tulang-tulang jantan seakan talang karatan
di bawah tatap-ratap anak-anak kita
mereka satu persatu menyisa batu
bertuliskan nama lahir dan tanggal terakhir
menghirup tetes-rembes ruap udara
ini akhir tahun dan hantu mereka berayun di jendela
barangkali bisa kau minta tuhan menjalin jalan
agar aku kembali turun gelanggang
meski sekarang tak ada lagi yang datang
untuk memohon atau menonton
kecuali laron dan pohon-pohon
Istri
seluruh kampung dipenuhi gunjing miring
seperti gemerincing di kaki kepiting
sabda minerva dari gigir bibirmu
segera diterpa udara yang membuka rahangnya
sebuah gang menegang, lantas semakin renggang
rumah-rumah di sekitar seketika membesar
kau sendirian, sebab aku harus berlari
mencari tangan puisi yang sekiranya sudi memberkati
Kumbang Kebun Enau
aku bahkan tengah melamun ketika sayapnya yang keras
berdenging dekat liang telinga
mataku menangkap silau kemilau
pantulan dari batang enau,
tetes enau ditampung gelas mika
begitu lekas si pemanjat mencari batang lain
batang terakhir sebelum segalanya rampung
ada yang malas dan berteriak dari barak
atap jerami sedikit gemetar ketika seekor bekisar
gemetar melompati udara
lalu suara tertawa melipat pagi berlemak
manakala sisa unggun menguap ke daun-daun
aku bahkan tengah membayangkan
sayap-sayapnya bisa kupinjam untuk mengantar kelakar
ke kampung tempat kita pernah bersama menanam biji sesal
lalu setelah semua kembali dalam kelaziman
kita sama-sama percaya pada kezaliman
yang memukulkan sepasang tangan ke sayap-sayap itu
hingga melekat di kulit, mati seolah tanpa rasa sakit
Kawasan Makelar
jalan ke barat dari simpang lima menuju pantai
jalan lurus dengan beberapa simpang kecil
ke Kampung Melayu, ke Gang Buntu
tangki pertamina dan sebuah gudang tua
jalan ke Kampung Melayu tembus pula
ke pasar sepeda, ada jendela-jendela kayu
sepanjang gang itu.
jendela dengan serbuk debu dan laba-laba kecil
rumah orang arab yang kadang keluar
bercakap-cakap dengan makelar sepeda
banyak makelar di gang itu
makelar arloji dan cincin batu
di rahang gang, sebuah toko bangunan
seorang perempuan setengah botak
menggendong boneka
dulu, boneka itu anaknya yang mati kena malaria
pada jam tertentu gang itu begitu kusam
anak-anak menyeret ban bekas
mencari sisa-sisa percakapan
seperti mencari kenangan
di jalan-jalan kecil Ampenan
-------
Kiki Sulistyo, lahir di Kota Ampenan, Lombok. Menekuni puisi dan menulis esai. Bekerja pada Departemen Sastra Komunitas Akarpohon sembari mengelola Pengajian Sastra Senin Sore. Mukim di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Lampung Post, Minggu, 2 Juni 2013
padang malam dengan serabut kabut
kaok burung jangkung melengkung
dalam gelap, derap bajang di atas tunggangan
tanpa sanggurdi, tanpa kelewang tajam
hanya sekendi air,
sesekali diteguk bila kantuk merasuk ke lubuk
ini jalan memanjang ke langit tak bergarit
tapi harus kau kumpulkan riwayat kampung
meski hanya serpih buih di cangkang pipih
cangkang kerang mati yang kau temui di pantai nanti
saat tunggangan menjelma sampan ringkih
maka padang malam disulam, serabut kabut disulut
untuk penempuhan terpanjang seorang bajang
merunut masa silam, mencari jalan pulang
serupa mencuri linang anak perawan!
Seorang Petinju Kepada Istrinya
tak pernah kumenangkan pertarungan denganmu
meski di gelanggang aku begitu garang
berapa tahun semenjak kau tahan tuhan
agar meluruskan seluruh jalan
di lorong penuh laron tempat kau muncul bagai roh pohon
justru karena kelemahan paling terpahamkan
tulang-tulang jantan seakan talang karatan
di bawah tatap-ratap anak-anak kita
mereka satu persatu menyisa batu
bertuliskan nama lahir dan tanggal terakhir
menghirup tetes-rembes ruap udara
ini akhir tahun dan hantu mereka berayun di jendela
barangkali bisa kau minta tuhan menjalin jalan
agar aku kembali turun gelanggang
meski sekarang tak ada lagi yang datang
untuk memohon atau menonton
kecuali laron dan pohon-pohon
Istri
seluruh kampung dipenuhi gunjing miring
seperti gemerincing di kaki kepiting
sabda minerva dari gigir bibirmu
segera diterpa udara yang membuka rahangnya
sebuah gang menegang, lantas semakin renggang
rumah-rumah di sekitar seketika membesar
kau sendirian, sebab aku harus berlari
mencari tangan puisi yang sekiranya sudi memberkati
Kumbang Kebun Enau
aku bahkan tengah melamun ketika sayapnya yang keras
berdenging dekat liang telinga
mataku menangkap silau kemilau
pantulan dari batang enau,
tetes enau ditampung gelas mika
begitu lekas si pemanjat mencari batang lain
batang terakhir sebelum segalanya rampung
ada yang malas dan berteriak dari barak
atap jerami sedikit gemetar ketika seekor bekisar
gemetar melompati udara
lalu suara tertawa melipat pagi berlemak
manakala sisa unggun menguap ke daun-daun
aku bahkan tengah membayangkan
sayap-sayapnya bisa kupinjam untuk mengantar kelakar
ke kampung tempat kita pernah bersama menanam biji sesal
lalu setelah semua kembali dalam kelaziman
kita sama-sama percaya pada kezaliman
yang memukulkan sepasang tangan ke sayap-sayap itu
hingga melekat di kulit, mati seolah tanpa rasa sakit
Kawasan Makelar
jalan ke barat dari simpang lima menuju pantai
jalan lurus dengan beberapa simpang kecil
ke Kampung Melayu, ke Gang Buntu
tangki pertamina dan sebuah gudang tua
jalan ke Kampung Melayu tembus pula
ke pasar sepeda, ada jendela-jendela kayu
sepanjang gang itu.
jendela dengan serbuk debu dan laba-laba kecil
rumah orang arab yang kadang keluar
bercakap-cakap dengan makelar sepeda
banyak makelar di gang itu
makelar arloji dan cincin batu
di rahang gang, sebuah toko bangunan
seorang perempuan setengah botak
menggendong boneka
dulu, boneka itu anaknya yang mati kena malaria
pada jam tertentu gang itu begitu kusam
anak-anak menyeret ban bekas
mencari sisa-sisa percakapan
seperti mencari kenangan
di jalan-jalan kecil Ampenan
-------
Kiki Sulistyo, lahir di Kota Ampenan, Lombok. Menekuni puisi dan menulis esai. Bekerja pada Departemen Sastra Komunitas Akarpohon sembari mengelola Pengajian Sastra Senin Sore. Mukim di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Lampung Post, Minggu, 2 Juni 2013
No comments:
Post a Comment