Cermin Cembung
Di hadapan cermin cembung itu, kata-kata kembali bertukar sisi. Menyulitkanku membaca kembali apa yang kau maknai sebagai peringatan. Sedangkan hari, memang tampak terburu-buru. Hujan menjadi deras seketika. Aku dan kau, yang tak memilih berteduh, seperti bertarung menghadapi air. Kita kalah. Sekujur badan basah. Telapak tangan mengkerut.
– kalau jadinya begitu,” katamu kecut, “kapan air akan surut?”.
Aku berhenti di rumahmu. Menatapmu mendatangi pintu gerbang, mengusir sampah dari rumahmu. Kau membungkusnya rapat-rapat, dan memastikan, tetangga tak melihat.
A’dam
“aku ingin berumah
di Tanjung Karang,” kata
lelaki itu, yang baru saja
meninggalkan kamar kos nomer 15. Dilihatnya,
wajah tuhan
runtuh, dan berkata, “
Ia yang lebih tahu setelahku,
ingin pergi karena kesepian.”
sebelum mengangkat tasnya,
tulang rusuk lelaki itu
dicabut pelan-pelan. Kemudian,
iklan tivi terdengar semakin
tegas.
“Demikian, kesepian,” katanya, “
semakin lenyap dengan kehilangan.”
kemudian ia bangun,
dengan punggung yang pegal.
Innocent
Di atas bantal yang tidak nyaman untuk ditiduri,
ia kembali membaca buku.
Di halaman ke tujuh,
ia temukan naratif.
Di halaman ke sembilan,
ia temukan motif.
Kemudian,
ia temukan dekonstruksi, serta kamar
yang telah banjir.
Ia tumbang di baris akhir.
Doa Sebelum Tidur
Ia yang tidak ingin tidur terlalu larut, mengangkat kedua tangannya. Di atas tempat tidur itu, ia kembali ucapkan kata ‘tuhan’. Ia menunduk khusuk, seperti membaca garis tangan nasib.
“Tuhan Yang Maha Asing,” ungkapnya, “aku serahkan sepenuhnya penyelesaian pertempuran besok seperti_apa yang pernah kau singkapkan – mengenai kebenaran dan kemenangan itu.”.
Ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah menutup doanya.
Sebelum tidur.
Irama Lain Kesedihan
aku tetap memilih kesedihan, kelopak mawar pelan-pelan mengkisut, layu dalam kalbu. mengatakan, ya, untuk yang tak pernah mungkin.
kita jalani saja, dan tetap memilih kesedihan sebagai ujung tombak keberadaan. bertahan, berpaling dari mengemisi hari yang terus saja terik, serta mulai bersikap dingin terhadap kehidupan. "peradaban," katamu, "yang tetap menghindar."
kita kehilangan, suara-suara kian basi. lelaki datang untuk tak pernah kembali. dan perasaanku; toilet semakin miring ke kiri. kenyamanan lenyap dalam target. tekanan menyusut sampai ke ulu hati. seperti mawar; mekar, lalu abai pesona. indah; lalu abai menatap.
dan kita; yang kecil ini, diatur untuk bicara. diarahkan, mewacana kemana-mana. sebab yang hilang, katamu, yang berterus terang.
maka, kita sependapat, untuk memelihara kesedihan, menyiapkannya berkesudahan, dan bangkit. melangkah seperti biasa. bersikap, seperti tak pernah mengerti. diam, seperti bicara, yang tak memberikan apa-apa. kecuali hanya lubang, lubang baru, menutup perlahan karena hujan, dan berangsur-angsur dijaga untuk tak pernah diungkapkan. dijaga pulih oleh kesedihan.
Cinta
Cinta yang diturunkan,
dalam darah, dalam daging,
dalam daging, dalam darah
melebur tanpa kata-kata
Cinta yang dinaikkan,
baru saja berangkat,
mereda dalam doa,
menghitmat.
--------
Oky Sanjaya, lahir di Sanggi, Lampung, 13 Oktober 1988. Alumnus FKIP Unila, sekarang mengajar di SMA YP Unila. Buku puisinya, Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan (2009).
Lampung Post, Minggu, 26 Mei 2013
Di hadapan cermin cembung itu, kata-kata kembali bertukar sisi. Menyulitkanku membaca kembali apa yang kau maknai sebagai peringatan. Sedangkan hari, memang tampak terburu-buru. Hujan menjadi deras seketika. Aku dan kau, yang tak memilih berteduh, seperti bertarung menghadapi air. Kita kalah. Sekujur badan basah. Telapak tangan mengkerut.
– kalau jadinya begitu,” katamu kecut, “kapan air akan surut?”.
Aku berhenti di rumahmu. Menatapmu mendatangi pintu gerbang, mengusir sampah dari rumahmu. Kau membungkusnya rapat-rapat, dan memastikan, tetangga tak melihat.
A’dam
“aku ingin berumah
di Tanjung Karang,” kata
lelaki itu, yang baru saja
meninggalkan kamar kos nomer 15. Dilihatnya,
wajah tuhan
runtuh, dan berkata, “
Ia yang lebih tahu setelahku,
ingin pergi karena kesepian.”
sebelum mengangkat tasnya,
tulang rusuk lelaki itu
dicabut pelan-pelan. Kemudian,
iklan tivi terdengar semakin
tegas.
“Demikian, kesepian,” katanya, “
semakin lenyap dengan kehilangan.”
kemudian ia bangun,
dengan punggung yang pegal.
Innocent
Di atas bantal yang tidak nyaman untuk ditiduri,
ia kembali membaca buku.
Di halaman ke tujuh,
ia temukan naratif.
Di halaman ke sembilan,
ia temukan motif.
Kemudian,
ia temukan dekonstruksi, serta kamar
yang telah banjir.
Ia tumbang di baris akhir.
Doa Sebelum Tidur
Ia yang tidak ingin tidur terlalu larut, mengangkat kedua tangannya. Di atas tempat tidur itu, ia kembali ucapkan kata ‘tuhan’. Ia menunduk khusuk, seperti membaca garis tangan nasib.
“Tuhan Yang Maha Asing,” ungkapnya, “aku serahkan sepenuhnya penyelesaian pertempuran besok seperti_apa yang pernah kau singkapkan – mengenai kebenaran dan kemenangan itu.”.
Ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah menutup doanya.
Sebelum tidur.
Irama Lain Kesedihan
aku tetap memilih kesedihan, kelopak mawar pelan-pelan mengkisut, layu dalam kalbu. mengatakan, ya, untuk yang tak pernah mungkin.
kita jalani saja, dan tetap memilih kesedihan sebagai ujung tombak keberadaan. bertahan, berpaling dari mengemisi hari yang terus saja terik, serta mulai bersikap dingin terhadap kehidupan. "peradaban," katamu, "yang tetap menghindar."
kita kehilangan, suara-suara kian basi. lelaki datang untuk tak pernah kembali. dan perasaanku; toilet semakin miring ke kiri. kenyamanan lenyap dalam target. tekanan menyusut sampai ke ulu hati. seperti mawar; mekar, lalu abai pesona. indah; lalu abai menatap.
dan kita; yang kecil ini, diatur untuk bicara. diarahkan, mewacana kemana-mana. sebab yang hilang, katamu, yang berterus terang.
maka, kita sependapat, untuk memelihara kesedihan, menyiapkannya berkesudahan, dan bangkit. melangkah seperti biasa. bersikap, seperti tak pernah mengerti. diam, seperti bicara, yang tak memberikan apa-apa. kecuali hanya lubang, lubang baru, menutup perlahan karena hujan, dan berangsur-angsur dijaga untuk tak pernah diungkapkan. dijaga pulih oleh kesedihan.
Cinta
Cinta yang diturunkan,
dalam darah, dalam daging,
dalam daging, dalam darah
melebur tanpa kata-kata
Cinta yang dinaikkan,
baru saja berangkat,
mereda dalam doa,
menghitmat.
--------
Oky Sanjaya, lahir di Sanggi, Lampung, 13 Oktober 1988. Alumnus FKIP Unila, sekarang mengajar di SMA YP Unila. Buku puisinya, Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan (2009).
Lampung Post, Minggu, 26 Mei 2013
No comments:
Post a Comment