Ini Masih Rumah Kita
: aleya
Ini masih rumah kita, aleya
tempat kita dulu biasa menanam hujan di pekarangan
ketika angin menghembus lembut senja kemerahan
dan kau yang belum mengerti arti tarian dedaunan
ini masih rumah kita, aleya
sejarah memang tak pernah bisa menyembunyikan diri dari takdir
setelah berlalu, akan ada masa dimana sejarah tak lagi bisa terungkap
atau sengaja dibungkam dalam hari-hari yang hanya punya bahasa sendiri
ini masih rumah kita, aleya
ketika kau datang dari masa yang entah tak bisa lagi kukenali
aku hanya tahu kau ingin kita mengulang sejarah dulu
bahwa kita pernah bersama dalam satu rumah yang kau bangun dengan cerita
ini masih rumah kita, aleya
bukankah kau bisa lihat hujan telah tumbuh lebat di pekarangan
begitu rupa
hujan yang kita tanam sambil tak henti berkisah
kau bilang, ini akan jadi sejarah
aku bilang, takdir akan jadi pengubur sejarah
dan kita saling tatap waktu itu
lalu tertawa
tak mengerti akan ada hari ini, ketika kau datang ke rumah ini lagi
dan aku yang hanya bisa mengenali ceritamu dari angin yang menghembus senja kemerahan dan daun-daun yang menari
maka,
tak perlulah kau menatap rumah ini dari kejauhan
sendiri dan merasa bukan lagi tempat kita berteduh
karena ini masih rumah kita, aleya
Natar, 17 April 2013
Bersama Hujan
Aku bukan senja yang kau sebut pada setiap bait puisimu yang basah
juga bukan malam yang kau rapalkan bersama dingin yang menggigilkan daun-daun
atau jika kau lelah dan terpaksa menuruti kantukmu,
aku bukan lagi pagi yang menentramkan embun surgawi
juga bukan siang yang mengekalkan matahari
-lalu apa?- katamu dengan lelah
aku adalah kata-kata yang kau taburkan bersama hujan
yang mengekalkan kerinduan
dan mengabadikan sebuah perjalanan
Natar, 11 April 2013
Kuburan Luka>
: batari dan akasia
Kini memang tak ada lagi sepatah kata yang kau hidangkan di waktu pagi,
atau secangkir kopi saat pertama kali kau tawarkan hujan dan sepi
lalu aku jadi kaktus yang hingga kini tak sanggup menampung hati dari kebisuan masa lalumu
ah, sudahlah, batari
biar kuanyam senja ini tanpa secangkir kopi lagi
mengapa masih jua tak mempercayai kata-kataku di waktu yang lalu?
aku tak hendak tawarkan sepi, hanya selarik ucap yang mengapung dalam diamnya udara pagi
kau masih jua berharap banyak, padahal aku sendiri pun ragu akan hari yang telah lelah kuuntai jadi semacam pusaka di saat aku tiada
sudahlah, akasia
biar waktu yang mengajarimu tentang asa yang sebenarnya sama-sama kita jadikan mimpi di malam hari
biar waktu yang menjawab semua tanya yang makin nyata berputar-putar dalam minda
dan akan menghilang, tak usah kenangkan
aroma jejakku di pertemuan yang masih pagi
cuma terserak makna sesaat
setelah itu menguap tanpa ingatan
di jalan penuh lelah, dan lubang yang kugali untuk mengubur hatiku yang mati
lagi-lagi waktu lah yang akan mengubur semua dukamu
biar jadi humus yang suburkan lahan dalam kehidupan senjamu
jangan pernah menangis, akasia
sebab air mata tak pernah bisa menguatkanmu
ia hanya pintar menertawakan setiap luka yang menganga
memberinya rasa perih juga pedih yang kian membuat basah luka-luka
Antara Plaju dan Sekip Ujung,
1 April 2011
------------
Laela Awalia, lahir di Natar, Lampung Selatan. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi dan artikel lepas dimuat di beberapa media massa. Salah satu puisinya Cerita Tentang Nenek dan Bocah Kecil, masuk dalam antologi puisi bersama 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 (Pena Kencana, 2008).
Lampung Post, Minggu, 23 Juni 2013
: aleya
Ini masih rumah kita, aleya
tempat kita dulu biasa menanam hujan di pekarangan
ketika angin menghembus lembut senja kemerahan
dan kau yang belum mengerti arti tarian dedaunan
ini masih rumah kita, aleya
sejarah memang tak pernah bisa menyembunyikan diri dari takdir
setelah berlalu, akan ada masa dimana sejarah tak lagi bisa terungkap
atau sengaja dibungkam dalam hari-hari yang hanya punya bahasa sendiri
ini masih rumah kita, aleya
ketika kau datang dari masa yang entah tak bisa lagi kukenali
aku hanya tahu kau ingin kita mengulang sejarah dulu
bahwa kita pernah bersama dalam satu rumah yang kau bangun dengan cerita
ini masih rumah kita, aleya
bukankah kau bisa lihat hujan telah tumbuh lebat di pekarangan
begitu rupa
hujan yang kita tanam sambil tak henti berkisah
kau bilang, ini akan jadi sejarah
aku bilang, takdir akan jadi pengubur sejarah
dan kita saling tatap waktu itu
lalu tertawa
tak mengerti akan ada hari ini, ketika kau datang ke rumah ini lagi
dan aku yang hanya bisa mengenali ceritamu dari angin yang menghembus senja kemerahan dan daun-daun yang menari
maka,
tak perlulah kau menatap rumah ini dari kejauhan
sendiri dan merasa bukan lagi tempat kita berteduh
karena ini masih rumah kita, aleya
Natar, 17 April 2013
Bersama Hujan
Aku bukan senja yang kau sebut pada setiap bait puisimu yang basah
juga bukan malam yang kau rapalkan bersama dingin yang menggigilkan daun-daun
atau jika kau lelah dan terpaksa menuruti kantukmu,
aku bukan lagi pagi yang menentramkan embun surgawi
juga bukan siang yang mengekalkan matahari
-lalu apa?- katamu dengan lelah
aku adalah kata-kata yang kau taburkan bersama hujan
yang mengekalkan kerinduan
dan mengabadikan sebuah perjalanan
Natar, 11 April 2013
Kuburan Luka>
: batari dan akasia
Kini memang tak ada lagi sepatah kata yang kau hidangkan di waktu pagi,
atau secangkir kopi saat pertama kali kau tawarkan hujan dan sepi
lalu aku jadi kaktus yang hingga kini tak sanggup menampung hati dari kebisuan masa lalumu
ah, sudahlah, batari
biar kuanyam senja ini tanpa secangkir kopi lagi
mengapa masih jua tak mempercayai kata-kataku di waktu yang lalu?
aku tak hendak tawarkan sepi, hanya selarik ucap yang mengapung dalam diamnya udara pagi
kau masih jua berharap banyak, padahal aku sendiri pun ragu akan hari yang telah lelah kuuntai jadi semacam pusaka di saat aku tiada
sudahlah, akasia
biar waktu yang mengajarimu tentang asa yang sebenarnya sama-sama kita jadikan mimpi di malam hari
biar waktu yang menjawab semua tanya yang makin nyata berputar-putar dalam minda
dan akan menghilang, tak usah kenangkan
aroma jejakku di pertemuan yang masih pagi
cuma terserak makna sesaat
setelah itu menguap tanpa ingatan
di jalan penuh lelah, dan lubang yang kugali untuk mengubur hatiku yang mati
lagi-lagi waktu lah yang akan mengubur semua dukamu
biar jadi humus yang suburkan lahan dalam kehidupan senjamu
jangan pernah menangis, akasia
sebab air mata tak pernah bisa menguatkanmu
ia hanya pintar menertawakan setiap luka yang menganga
memberinya rasa perih juga pedih yang kian membuat basah luka-luka
Antara Plaju dan Sekip Ujung,
1 April 2011
------------
Laela Awalia, lahir di Natar, Lampung Selatan. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi dan artikel lepas dimuat di beberapa media massa. Salah satu puisinya Cerita Tentang Nenek dan Bocah Kecil, masuk dalam antologi puisi bersama 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 (Pena Kencana, 2008).
Lampung Post, Minggu, 23 Juni 2013
No comments:
Post a Comment