Segalanya
segalanya akan terbilang saja ketika kau
mengingat satu persatu tentang luka.
gores lurus, pikir berarus, bintik yang ketus
membungkus paling halus ke tiap tidurmu.
segalanya mungkin terbuang, satu demi satu.
di segala arah yang pupus. kita mencoba
meronta. pahit dan manis di makan bersama.
tawar dan asin di minun bergema. hal itu
membuncah sampai kita tak ada.
(selatpanjang, 2015)
Titik Malam
di titik malam adalah energi paling teguh
merambat pikirmu. apa saja mencoba menyesuaikan
segala bentuk kata-kata. aku dan kau membuncah,
menjengah untuk dapat memasuki ruang paling indah.
ke titik malam mungkin sentuhan yang tak dapat
lagi berkata. kata-kata pupus, hanyut, dan entah
kemana. hanya akan dapat kita aduk dalam hati.
menyetelnya selaras tik-tok jarum jam yang dingin.
lalu membuangnya ketika datang pagi.
lewat titik malam adakah yang kau risaukan lagi.
setelah aku menempuh seluruh ruang pikirmu.
mempretelinya satu demi satu hingga tak bersisa.
kau makin menjauh. menyepai ke dalam malam,
mengunci di gelapnya.
(selatpanjang, 2015)
Pedang Kayu
bocah itu menyulap kayu menjadi pedang. di genggamnya
dengan yakin bahwa hari-hari seperti perlawanan melawan
kezaliman. pedang kayu dalam genggam itu menjadi nyata
dalam pikirnya; kelak dapat meminum darah, memakan
pikir yang jengah.
melintas saja deru mobil kilat, menyilau mata. ketika pintu
terbuka, bocah itu langsung menghadang; “serahkan kuasa
kalian!” lengkingnya bagai anjing. seraya menghunus
dengan yakin, sedang pedang kayu di genggamannya itu
hampir patah. matanya tajam—mata elang—menghunus
ingin memakan.
(selatpanjang, 2015)
Dilema
dilema kita sekarang adalah:
tangan menghapus kejujuran.
hati ditumpas ketimpangan.
bibir dipoles kehinaan.
mata menculas menekan tajam.
dilema kita berujung pada:
daun yang bergoyang dengan
gigil menguning tubuhnya;
apakah kau terasa? debar
hatinya dan getar gelegar,
apakah kau bersedia?
dilema kita menukik pada:
kata-kata tajam, menusukmu.
sepi enggan mengungkap
apapun. kau menggigit jari.
menyumpah mengapa kau
terlahir hari ini.
(selatpanjang, 2015)
Kita Ada, Waktu Menjelma
kita ada, kalaupun tidak, aku menemanimu
sampai kau hilang. titik-titik gerimis yang gugur
adalah kata-katamu mengguyur hati, larut
begitu saja tanpa kita tahu.
lalu, seperti apa harus kumaknakan hari-harimu?
padahal kau tahu waktu begitu lesap. dia memoles
segala yang ada dan kau pasti lenyap entah kemana.
(selatpanjang, 2015)
---------------
Riki Utomi, lahir di Pekanbaru, 19 Mei 1984. Menggerakkan wadah kreatif kepenulisan Cahayapena. Sejumlah puisinya terangkum dalam antologi bersama. Buku fiksinya: Mata Empat (2013).
Lampung Post, Minggu, 18 Januari 2015
segalanya akan terbilang saja ketika kau
mengingat satu persatu tentang luka.
gores lurus, pikir berarus, bintik yang ketus
membungkus paling halus ke tiap tidurmu.
segalanya mungkin terbuang, satu demi satu.
di segala arah yang pupus. kita mencoba
meronta. pahit dan manis di makan bersama.
tawar dan asin di minun bergema. hal itu
membuncah sampai kita tak ada.
(selatpanjang, 2015)
Titik Malam
di titik malam adalah energi paling teguh
merambat pikirmu. apa saja mencoba menyesuaikan
segala bentuk kata-kata. aku dan kau membuncah,
menjengah untuk dapat memasuki ruang paling indah.
ke titik malam mungkin sentuhan yang tak dapat
lagi berkata. kata-kata pupus, hanyut, dan entah
kemana. hanya akan dapat kita aduk dalam hati.
menyetelnya selaras tik-tok jarum jam yang dingin.
lalu membuangnya ketika datang pagi.
lewat titik malam adakah yang kau risaukan lagi.
setelah aku menempuh seluruh ruang pikirmu.
mempretelinya satu demi satu hingga tak bersisa.
kau makin menjauh. menyepai ke dalam malam,
mengunci di gelapnya.
(selatpanjang, 2015)
Pedang Kayu
bocah itu menyulap kayu menjadi pedang. di genggamnya
dengan yakin bahwa hari-hari seperti perlawanan melawan
kezaliman. pedang kayu dalam genggam itu menjadi nyata
dalam pikirnya; kelak dapat meminum darah, memakan
pikir yang jengah.
melintas saja deru mobil kilat, menyilau mata. ketika pintu
terbuka, bocah itu langsung menghadang; “serahkan kuasa
kalian!” lengkingnya bagai anjing. seraya menghunus
dengan yakin, sedang pedang kayu di genggamannya itu
hampir patah. matanya tajam—mata elang—menghunus
ingin memakan.
(selatpanjang, 2015)
Dilema
dilema kita sekarang adalah:
tangan menghapus kejujuran.
hati ditumpas ketimpangan.
bibir dipoles kehinaan.
mata menculas menekan tajam.
dilema kita berujung pada:
daun yang bergoyang dengan
gigil menguning tubuhnya;
apakah kau terasa? debar
hatinya dan getar gelegar,
apakah kau bersedia?
dilema kita menukik pada:
kata-kata tajam, menusukmu.
sepi enggan mengungkap
apapun. kau menggigit jari.
menyumpah mengapa kau
terlahir hari ini.
(selatpanjang, 2015)
Kita Ada, Waktu Menjelma
kita ada, kalaupun tidak, aku menemanimu
sampai kau hilang. titik-titik gerimis yang gugur
adalah kata-katamu mengguyur hati, larut
begitu saja tanpa kita tahu.
lalu, seperti apa harus kumaknakan hari-harimu?
padahal kau tahu waktu begitu lesap. dia memoles
segala yang ada dan kau pasti lenyap entah kemana.
(selatpanjang, 2015)
---------------
Riki Utomi, lahir di Pekanbaru, 19 Mei 1984. Menggerakkan wadah kreatif kepenulisan Cahayapena. Sejumlah puisinya terangkum dalam antologi bersama. Buku fiksinya: Mata Empat (2013).
Lampung Post, Minggu, 18 Januari 2015
No comments:
Post a Comment