Sunday, April 5, 2015

Sajak-Sajak Oky Sanjaya

Waktu

adalah punggungku
yang baru saja selesai dikerok istriku
memerah dalam kesuntukan
merekah dalam aroma balsam

adalah pagi hari
dan berita tentang negaraku
dan telor mata sapi
dan kopi

adalah argumentasi
adalah pergi



Tempat

jika tuhan adalah kata, maka tuhan berada dalam ketakberhinggaan kata-kata
jika tuhan adalah makna, maka tuhan berada dalam ketakberhinggaan peristiwa
jika tuhan adalah peristiwa, maka tuhan berada dalam ketakberhinggaan konsep
jika tuhan adalah konsep, maka tuhan berada dalam ketakberhinggaan prinsip
jika tuhan adalah prinsip, maka tuhan berada dalam ketakberhinggaan kepribadian
jika tuhan adalah kepribadian, maka tuhan berada dalam derajad kemanusian
jika tuhan adalah kemanusian, maka tuhan kehilangan derajadnya sebagai tuhan
namun jika tuhan 0 derajad kemanusian, dan tuhan adalah 0 manusia, maka
Tuhan adalah segala-galanya 1.



Sandal dan Kepergianku

1
Sandal, aku telah kembali memakai sepatu.  Aku kenakan kembali seragam hari Rabu, dan kacamata bertangkai kuning mengkayu itu.

Pagi sekali, aku kembali meninggalkanmu. Meninggalkan rumah kontrakan dan tanaman.

“Pastikan. Pastikan.” katamu.

Pagi sekali, aku memastikan buku-buku pelajaran itu, - laptop, absen, dan hasil koreksian ujian.

Aku memastikan kepergian.

2
Setiap kepulangan, katamu, ada istirahat dan pintu gerbang yang terhambat. Ada kisah cinta siswa yang selintas lewat. Ada ingatanku mengenai subbab-subbab.

Dan keinginanku untuk kembali melepas sepatu.

Sandalku, aku kembali mencoba memahamimu. Memahami waktu, dan lekuk sintalmu. Memahami keperluan, dan kekuranganku hari Rabu.

“Meskipun kau akhirnya mengangkatku, memindahkan maksud, dan menutup pintu? Apakah berarti, berhenti sejenak, menjinakkan amarahku? Kau hampir saja menghindar dari rumah.”

“Tidak. Aku hanya mencakupkan maksud dan penipuan itu.”

3
Selepas sepatu, kita pergi bersantai di teras depan. Menghadapi “lidah mertua”, yang entah kapan akan kuning tebal. Kita lupa hari, kapan kita benar-benar menanamnya. Lihatlah!, tanaman kita kembali bertambah tunas. – sepertinya, jika tunas itu benar-benar tumbuh, kita seperti telah – melunasi sesuatu.

“Aku mengerti. Tetapi, bisakah kita, hanya memikirkan kita?”



Dialogis Genesis

Radin, kerbau itu, bukanlah perkara yang baru turun gunung, melainkan anggapan kita untuk mencintai saudara. Seperti aku, yang tidak memiliki posisi apapun dalam kondisi ini. Tetapi hak, tetaplah hak. Sedangkan kewajiban telah lama tunai. Pajak datang tanpa diminta.  Maka, selamatkanlah segalanya atas nama rakyat.  Rakyat yang begitu mencintaimu. Keadilan ada diujung lidahmu. Meski akhirnya terjadi pula, kau tewas diracun. Saat angin Kuripan gersang. Saat tumbuhan merambat, menambat hatimu untuk bersembunyi. Saat pelor yang bersarang mulai membuat ngilu tulangmu. Saat impian-impian bertualang terbang. Saat kami, benar-benar menemukan, engkau, “Allahuakbar, hinji Radin kham.”.


---------------
Oky Sanjaya, lahir di Sanggi, Tanggamus, Lampung, 13 Oktober 1988. Menulis puisi sejak 2006 melalui Klinik Sastra Bintang Pelajar Lampung Post yang diasuh Udo Z Karzi. Buku puisinya: Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan (2009).


Lampung Post, Minggu, 5 April 2015

No comments:

Post a Comment