Mangga
Adam terus-terus saja
mengingatkan Hawa,
jangan memetik buah mangga itu.
Ini di surga.
Tetapi,
awalnya dipetik juga.
Kulit mangga muda itu,
dikupasnya.
Tampaklah utuh dagingnya.
Tercium semerbak getahnya.
Garam, cabai rawit
pada piring,
dicocolnya,
digigitnya,
ngilu pantatnya.
Kemudian,
Adam, suaminya itu, pulang dari tualang,
mendapati istrinya, menggigi karena asam.
“Siapa yang menggodamu?” Adam bertanya.
“Buah mangga itu sendiri,” jawab istrinya.
Adam pun diam.
Ia tatap mata istrinya, dan berkata
“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”
Air
Air berlari melewati pipa itu,
datang bertekanan rendah. Lalu wadah
berdiameter 50 cm, menampung
segala benturan. Air tidak tewas.
Mengisi kembali silsilah tumpah.
Dalam wadah, air digunakan.
Membasuh utuh tubuh gelas,
sendok, mangkok, piring, kemudian teplon.
Serta panci, serta kuali,
memantaskan kembali sabun
yang telah lebih dulu, melepas lemak–katamu,
lemak yang melekat.
Dalam wadah, air bergelombang. Seperti sekali lagi
menyatakan,
tidak bisa disamakan,
yang dibuat karam, yang dibuat tenggelam.
Dalam wadah, air membersihkan.
Hidangan
secentong nasi yang kau rebahkan di atas piring
membebaskan air
melangkah kembali
mendatangi daur
menasbihkan getir sayur
Sampai,
akhirnya,
perutku kembali mengendur.
Lanskap Perahu
dan laut, memisahkan kita cukup jauh. perahu tambah usang.
garis pantai, hanya pemikiran kita yang verbal. kemudian,
perlahan-lahan, kita mulai saling melupakan. perahu
menyisakan tulang. tandas, dibiarkan begitu saja
bersandar. ia tak lagi oleng. karena yang selalu menyentuhnya,
tak pernah lagi mampu membawa. namun meninggalkan,
basah yang cukup, dan memastikan, tidak ada lagi
yang turut terserak. di antara tumpukan buih dan pasir.
-----------
Oky Sanjaya, lahir di Sanggi, Kabupaten Tanggamus, Lampung, 13 Oktober 1988. Alumnus di Jurusan Pendidikan MIPA Fisika Universitas Lampung. Buku puisinya, Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan (2009).
Lampung Post, Minggu, 8 Juni 2014
Adam terus-terus saja
mengingatkan Hawa,
jangan memetik buah mangga itu.
Ini di surga.
Tetapi,
awalnya dipetik juga.
Kulit mangga muda itu,
dikupasnya.
Tampaklah utuh dagingnya.
Tercium semerbak getahnya.
Garam, cabai rawit
pada piring,
dicocolnya,
digigitnya,
ngilu pantatnya.
Kemudian,
Adam, suaminya itu, pulang dari tualang,
mendapati istrinya, menggigi karena asam.
“Siapa yang menggodamu?” Adam bertanya.
“Buah mangga itu sendiri,” jawab istrinya.
Adam pun diam.
Ia tatap mata istrinya, dan berkata
“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”
Air
Air berlari melewati pipa itu,
datang bertekanan rendah. Lalu wadah
berdiameter 50 cm, menampung
segala benturan. Air tidak tewas.
Mengisi kembali silsilah tumpah.
Dalam wadah, air digunakan.
Membasuh utuh tubuh gelas,
sendok, mangkok, piring, kemudian teplon.
Serta panci, serta kuali,
memantaskan kembali sabun
yang telah lebih dulu, melepas lemak–katamu,
lemak yang melekat.
Dalam wadah, air bergelombang. Seperti sekali lagi
menyatakan,
tidak bisa disamakan,
yang dibuat karam, yang dibuat tenggelam.
Dalam wadah, air membersihkan.
Hidangan
secentong nasi yang kau rebahkan di atas piring
membebaskan air
melangkah kembali
mendatangi daur
menasbihkan getir sayur
Sampai,
akhirnya,
perutku kembali mengendur.
Lanskap Perahu
dan laut, memisahkan kita cukup jauh. perahu tambah usang.
garis pantai, hanya pemikiran kita yang verbal. kemudian,
perlahan-lahan, kita mulai saling melupakan. perahu
menyisakan tulang. tandas, dibiarkan begitu saja
bersandar. ia tak lagi oleng. karena yang selalu menyentuhnya,
tak pernah lagi mampu membawa. namun meninggalkan,
basah yang cukup, dan memastikan, tidak ada lagi
yang turut terserak. di antara tumpukan buih dan pasir.
-----------
Oky Sanjaya, lahir di Sanggi, Kabupaten Tanggamus, Lampung, 13 Oktober 1988. Alumnus di Jurusan Pendidikan MIPA Fisika Universitas Lampung. Buku puisinya, Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan (2009).
Lampung Post, Minggu, 8 Juni 2014
No comments:
Post a Comment