Sunday, June 1, 2014

Sajak-sajak Yuli Nugrahani

Lelaki di Batang Tapak Liman

Sedetik ketika tanah dekil menumbuhkan biji gulma
tapak liman menggeliat dari sela kerikil menjelma pagi.

Lelaki itu sudah menunggu sejak subuh belum bertabuh
mesra merayu di gerigi daunnya yang lancip berpeluh.

"Aku menumpang udara mengambil semesta yang kuperlu
juga kesempatan merapat di batangmu, Kekasih."

Lelaki itu mengikatkan diri pada tangkai tapak liman
ikut menjulur pada titik tumbuh merangkai ketinggian.

Tak ada yang bisa membatalkan hasratnya
terlebih ketika luka ikut menjadi balatentara.

"Aku akan tetap di sini menunggu ungu di pucukmu
sementara serupa kasim tersemat takdir, tak mengapa."

Lagak tapak liman tak terduga tak terkenali tabiatnya
pun lelaki itu bersabar terus menyapa Kekasih, Cahaya.

Pada batang tegak dan daun yang setia merapat tanah
dia percaya sedang menuju hakekat tantra sempurna.

Inilah saat dia mengemas seluruh masa sebagai penantian
hingga nanti suara lugas berucap di seluruh nada Amin.

(2013—2014)



Perempuan

Ini perempuan kelewat batu

Kurusetra bukan hanya tempat ksatriya
karena ke sanalah perempuan itu pergi
menangisi setiap huruf yang terhapus

"Kau sudah butakan inderawiku
lalu kau buka jendela. Jadi, di mana dunia,
Tuan, supaya kulanjutkan penciptaan?"

ini perempuan terlanjur gagu

kamus menjadi lembaran hancur
dibukanya halaman per halaman
andai satu saja masih tersisa

itulah kata yang akan diucapkannya.

(2014))



Liris

Para dakini mengiringku ke belukar walikukun
di tepi hutan jati pinggir sungai, menopangku
bersila memandang ke Timur, arah matahari
tengah menari dengan kaki telanjang, sembari
mengerling pada puluhan rusa-rusa jantan
yang menunggu musim bertemu pasangan.

Ada setetes embun (harusnya dua tetes,
setetes lagi dijumput cahaya yang tidak sabar
menantiku datang, dijadikan mata cincin
cemerlang di ujung paruh manyar) tersenyum,
aku juga tersenyum menggapainya, pelahan.

Tentu, tentu saja aku memiliki segala hujan
deras setiap detik bisa kureguk, melimpah.
Tapi embun, setetes embun di ujung jari,
meluapkan dunia kecilku jadi puisi dan tari.

Tapi embun, setetes embun di ujung jari,
membuatku bertangan bermata berhati utuh,
ditarik kutup-kutup simetris yang manis.

Jadi, jangan lagi
kau pertanyakan, dia

milikku.

(2014)


---------------
Yuli Nugrahani, lahir tahun 1974. Tinggal di Hajimena, Lampung. Aktivis bidang justice and peace, mulai memublikasikan puisi tahun 2013. Selain puisi, ia juga menulis prosa yang dimuat di berbagai media. Buku puisinya yang baru terbit, Pembatas Buku (2014).
   

Lampung Post, Minggu, 1 Juni 2014





No comments:

Post a Comment