Batu Asahan Mengasah Mata Cangkul
pada tumpul mata cangkul, mataku, kau batu asahan
kau asah hidupku, serupa hidup petani yang bangun
pagi hari, kau tajamkan yang tumpul, biar lunak
tanah yang keras.
air basahan batu asahan itu juga yang memoles
tubuhku, berkarat telah mengkilat, tajam telah
bersepuh, kini sepuh milikku, padamu tubuh susut
di tajam mataku.
(Rumahkayu, 2013)
Hujan Desember
di musim hujan Desember, daun berguguran di ladang,
murai berhenti berkicau, engkau terukakan cangkul
ke tanah, musim hujan ini musim meneruka,
menanam tampang kentang, menyemai benih cabai.
makin kasar garis tanganmu saat buruh di kota
di detik yang sama meneriakkan perlawanan
jangan kempeskan perut kami, pada garis tanganmu
sungai mengalir mengaliri perih,
jatuhnya di tangkai cangkul.
di kota pada tempat yang berbeda, di musim hujan
di detik yang sama, orang pinggiran berbicara
air ini telah sampai batas leher kami, besok
menutupi ubun kepala.
(Rumahkayu, 2013)
Kota Tua Batangarau
aku menelusuri jalan ini, kiri-kanan gedung tinggal
peninggalan Hindia-Belanda, jendela pecah,
pintu dirantai, dinding yang dijalari bunga,
tenggerek bersuara nyaring dari dalam, jauh di depan
jejak pelabuhan masih bernada.
pikiranku menuju masa lampau di gedung ini,
bau alkohol menyeruak dari gelas dan botol
miliki Hindia-Belanda di hari pesta, anak-anak
kulit putih bernyanyi riang menjelang berangkat
sekolah.
tiba-tiba gedung ini telah kosong, kemerdekaan
mengosongkannya.
(Rumahkayu, 2013)
Puisi yang Aku Cintai
seperti, "daun yang mencintai batang, menggugurkan
dirinya, agar batang bertambah tumbuh kembangnya,
daun menjadi pupuk, pupuk menjadi makanan batang,
sirna dirinya."
aku mencintai puisi, puisi mencintai aku,
aku datang kepadanya dengan sayang,
dia serahkan dirinya kepadaku dengan sayang,
aku belai rambut puisi yang hitam, lalu memerah,
lalu memutih, puisi sambut tanganku yang halus,
lalu kasar, lalu keriput, aku cium bibir puisi,
puisi terima lidahku yang harum, hambar, busuk.
kami saling cinta, aku menikahi puisi, pengantinku
bergaun, ungu, merah jambu, jingga, ke kamarku
kubawa dia, "kita melahirkan anak puisiku sayang,
karena cintaku padamu tumbuh berkembang."
puisi melahirkan satu anak
aku berikan seratus bakal anak, puisi melahirkan
seratus anak, aku berikan seribu bakal anak, puisi
melahirkan seribu anak, aku gugur dan dan cintaku
yang bernama puisi tumbuh berkembang, semusim,
seabad, seratus abad, seribu abad.
(Rumahkayu, 2013)
Hitam Rambutmu
pada ujung kuku, pada sentuhan itu, pada belaian
lima jemariku, pada puncak hidungku, pada angin harum
aroma rambutmu yang melesat ke dadaku,
mengingat warna rambutmu yang menghangatkan
di tepi kota, di pelabuhan pertemuan dan perpisahan
segelap hitam yang tidak mau mengalah,
aku lakon cinta yang tidak kalah dengan perpisahan,
sepi memang bermain dalam kenangan, tapi kenangan
menghidupkan seteguh burung laut yang terbang
sepanjang tahun dan tahun berikutnya.
kapal itu telah berlayar sepanjang pulau dan air yang surut
ke tengah lautan, ke palung yang menyusuri tubuhnya
sendiri,
dan kau di dalamnya sewarna hitam rambutmu
yang makin aku cinta, aku mesra, aku abadikan dalam
sajak ini meski sajak ini sajak terakhir untukmu.
(Rumahkayu, 2013)
----------
Alizar Tanjung, sedang menyelesaikan S-2 di IAIN Imam Bonjol Padang. Karya-karyanya dipublikasikan di koran lokal dan nasional.
Lampung Post, Minggu, 29 September 2013
pada tumpul mata cangkul, mataku, kau batu asahan
kau asah hidupku, serupa hidup petani yang bangun
pagi hari, kau tajamkan yang tumpul, biar lunak
tanah yang keras.
air basahan batu asahan itu juga yang memoles
tubuhku, berkarat telah mengkilat, tajam telah
bersepuh, kini sepuh milikku, padamu tubuh susut
di tajam mataku.
(Rumahkayu, 2013)
Hujan Desember
di musim hujan Desember, daun berguguran di ladang,
murai berhenti berkicau, engkau terukakan cangkul
ke tanah, musim hujan ini musim meneruka,
menanam tampang kentang, menyemai benih cabai.
makin kasar garis tanganmu saat buruh di kota
di detik yang sama meneriakkan perlawanan
jangan kempeskan perut kami, pada garis tanganmu
sungai mengalir mengaliri perih,
jatuhnya di tangkai cangkul.
di kota pada tempat yang berbeda, di musim hujan
di detik yang sama, orang pinggiran berbicara
air ini telah sampai batas leher kami, besok
menutupi ubun kepala.
(Rumahkayu, 2013)
Kota Tua Batangarau
aku menelusuri jalan ini, kiri-kanan gedung tinggal
peninggalan Hindia-Belanda, jendela pecah,
pintu dirantai, dinding yang dijalari bunga,
tenggerek bersuara nyaring dari dalam, jauh di depan
jejak pelabuhan masih bernada.
pikiranku menuju masa lampau di gedung ini,
bau alkohol menyeruak dari gelas dan botol
miliki Hindia-Belanda di hari pesta, anak-anak
kulit putih bernyanyi riang menjelang berangkat
sekolah.
tiba-tiba gedung ini telah kosong, kemerdekaan
mengosongkannya.
(Rumahkayu, 2013)
Puisi yang Aku Cintai
seperti, "daun yang mencintai batang, menggugurkan
dirinya, agar batang bertambah tumbuh kembangnya,
daun menjadi pupuk, pupuk menjadi makanan batang,
sirna dirinya."
aku mencintai puisi, puisi mencintai aku,
aku datang kepadanya dengan sayang,
dia serahkan dirinya kepadaku dengan sayang,
aku belai rambut puisi yang hitam, lalu memerah,
lalu memutih, puisi sambut tanganku yang halus,
lalu kasar, lalu keriput, aku cium bibir puisi,
puisi terima lidahku yang harum, hambar, busuk.
kami saling cinta, aku menikahi puisi, pengantinku
bergaun, ungu, merah jambu, jingga, ke kamarku
kubawa dia, "kita melahirkan anak puisiku sayang,
karena cintaku padamu tumbuh berkembang."
puisi melahirkan satu anak
aku berikan seratus bakal anak, puisi melahirkan
seratus anak, aku berikan seribu bakal anak, puisi
melahirkan seribu anak, aku gugur dan dan cintaku
yang bernama puisi tumbuh berkembang, semusim,
seabad, seratus abad, seribu abad.
(Rumahkayu, 2013)
Hitam Rambutmu
pada ujung kuku, pada sentuhan itu, pada belaian
lima jemariku, pada puncak hidungku, pada angin harum
aroma rambutmu yang melesat ke dadaku,
mengingat warna rambutmu yang menghangatkan
di tepi kota, di pelabuhan pertemuan dan perpisahan
segelap hitam yang tidak mau mengalah,
aku lakon cinta yang tidak kalah dengan perpisahan,
sepi memang bermain dalam kenangan, tapi kenangan
menghidupkan seteguh burung laut yang terbang
sepanjang tahun dan tahun berikutnya.
kapal itu telah berlayar sepanjang pulau dan air yang surut
ke tengah lautan, ke palung yang menyusuri tubuhnya
sendiri,
dan kau di dalamnya sewarna hitam rambutmu
yang makin aku cinta, aku mesra, aku abadikan dalam
sajak ini meski sajak ini sajak terakhir untukmu.
(Rumahkayu, 2013)
----------
Alizar Tanjung, sedang menyelesaikan S-2 di IAIN Imam Bonjol Padang. Karya-karyanya dipublikasikan di koran lokal dan nasional.
Lampung Post, Minggu, 29 September 2013