Tanah Kepulangan
matahari rapi berbaris di matamu, pagi membelai siwalan dengan celuritnya. aku merayap selangkah ke musim tua. kusembahyang laut menuju gelombang. aku tanam di wajahmu tanah kesetiaan. di bibirmu yang kucium karena menggagalkan diriku masuk ke corong kesunyian.
usai kau meladang tercium baju dan pergelangan tanganmu seperti membawaku ke pergulatan kehidupan. orang-orang membangun masa depan di punggungnya, meletakkan api di kepala mereka. sementara kau memahat angka-angka di kalender. di bilik kau sampaikan. ketika kau meladang kucium bau pepadi kuning.
usai meladang aku pulang. tak pernah terbalaskan dan kau merenda karena cinta masih luka yang rekayasa.
2012
Di Lorong Tubuh
di lorong tubuhmu aku berlari-lari
jalanan ini meruntuhkan pusara dan nestapa, di tiap tikungan tarian, kecak dan rancak kakimu seperti suasana riuh pasar tanah garam seperti tadarus mengendap dan ramai di jantungmu. ya, padahal jutaan kata-kata terlahir sebelum penyair, ingin aku menjelma celurit seperti membaca dendam di lubuk orang hitam dan aku memasuki tubuhmu yang rimba.
karena airmatamu hijrah maka akan ada senja memilihkanku jalan tak petang di lorong tubuhmu
di lorong tubuhmu aku berlari-lari
2012
Jika Hujan Datang
kususuri jalan-jalan sepanjang desa, petani mungil menabur kegigihan rela mengangkut tubuh hampir rubuh air-air diambil dari sebidang kolam.
seperti mimpi bagi mereka menata cinta anak-anak tembakau. merayakan ulang tahun untuk ladang mereka dan aku. seperti menari-nari di jerami, kami sanggul mimpi itu dan pulang tak bawa apa-apa, hanya serpih api-api. usang meladang, tembakau telanjang. di keutuhan malam hari, merekamlah kami tentang musim-musim. jika hujan datang, mungkin kami melabuhkan tubuh kepada majikan. meskipun kami mengguyuri diri dengan sesal yang kelam.
Probolinggo, 2010
Ibu
di kerutan dahi ibuku. aku lukis pematang. seribu impian. rindu padang sepanjang halaman. bunga-bunga kelindan dan terumbu keindahan. ditumbuhi pohon-pohon siwalan. dan selalu datang rembulan kalau aku dendangkan nyanyian kepada ibuku. tak sempat kuhabiskan senjaku. ibuku menggambarkan surga. menghampar ladang seluas-luasnya melebihi bumi ini. aku menandai senja ini dengan kemahakuasaan. ibuku, surga yang meladang ke hatiku. di tangan ibuku, aku menjadi reranting yang siap patah. karena kuasa ibu bersanding dengan tuhan. di kaki ibuku, aku menjadi manusia yang usang. terlampau rendah dan terlalu ringan untuk dihempaskan. di lengkung matanya, kusebut nama pahlawan setiap waktu. ibuku. sekarang surga yang ibu mau ada padaku.
Probolinggo, 2010
Lelaki Pematang
lelaki pematang memasang matahari di kepalanya. di setiap jemari ia tandai angka-angka. Ia menghitung usia panen pematang. sudah kudengar namanya. sudah bertahun-tahun lamanya. lelaki pematang jejak-jejak tuhan telah tertanam di diri yang senja. bila musim hama dan tanaman menyerbu. dengan airmata pun menghadirkan obat yang dinantikan. orang bertanya tentang siapa yang aku pilih dari sekian perempuan pematang?
Probolinggo, 2010
-----
Husen Arifin, lahir di Probolinggo, 28 Januari 1989. Pernah meraih penghargaan dalam Lomba Cerpen Tingkat Nasional IPB (2011), Lomba Cerpen Islami Se-Jawa Timur di ITS (2011). Karya-karyanya dimuat di berbagai media dan antologi bersama.
matahari rapi berbaris di matamu, pagi membelai siwalan dengan celuritnya. aku merayap selangkah ke musim tua. kusembahyang laut menuju gelombang. aku tanam di wajahmu tanah kesetiaan. di bibirmu yang kucium karena menggagalkan diriku masuk ke corong kesunyian.
usai kau meladang tercium baju dan pergelangan tanganmu seperti membawaku ke pergulatan kehidupan. orang-orang membangun masa depan di punggungnya, meletakkan api di kepala mereka. sementara kau memahat angka-angka di kalender. di bilik kau sampaikan. ketika kau meladang kucium bau pepadi kuning.
usai meladang aku pulang. tak pernah terbalaskan dan kau merenda karena cinta masih luka yang rekayasa.
2012
Di Lorong Tubuh
di lorong tubuhmu aku berlari-lari
jalanan ini meruntuhkan pusara dan nestapa, di tiap tikungan tarian, kecak dan rancak kakimu seperti suasana riuh pasar tanah garam seperti tadarus mengendap dan ramai di jantungmu. ya, padahal jutaan kata-kata terlahir sebelum penyair, ingin aku menjelma celurit seperti membaca dendam di lubuk orang hitam dan aku memasuki tubuhmu yang rimba.
karena airmatamu hijrah maka akan ada senja memilihkanku jalan tak petang di lorong tubuhmu
di lorong tubuhmu aku berlari-lari
2012
Jika Hujan Datang
kususuri jalan-jalan sepanjang desa, petani mungil menabur kegigihan rela mengangkut tubuh hampir rubuh air-air diambil dari sebidang kolam.
seperti mimpi bagi mereka menata cinta anak-anak tembakau. merayakan ulang tahun untuk ladang mereka dan aku. seperti menari-nari di jerami, kami sanggul mimpi itu dan pulang tak bawa apa-apa, hanya serpih api-api. usang meladang, tembakau telanjang. di keutuhan malam hari, merekamlah kami tentang musim-musim. jika hujan datang, mungkin kami melabuhkan tubuh kepada majikan. meskipun kami mengguyuri diri dengan sesal yang kelam.
Probolinggo, 2010
Ibu
di kerutan dahi ibuku. aku lukis pematang. seribu impian. rindu padang sepanjang halaman. bunga-bunga kelindan dan terumbu keindahan. ditumbuhi pohon-pohon siwalan. dan selalu datang rembulan kalau aku dendangkan nyanyian kepada ibuku. tak sempat kuhabiskan senjaku. ibuku menggambarkan surga. menghampar ladang seluas-luasnya melebihi bumi ini. aku menandai senja ini dengan kemahakuasaan. ibuku, surga yang meladang ke hatiku. di tangan ibuku, aku menjadi reranting yang siap patah. karena kuasa ibu bersanding dengan tuhan. di kaki ibuku, aku menjadi manusia yang usang. terlampau rendah dan terlalu ringan untuk dihempaskan. di lengkung matanya, kusebut nama pahlawan setiap waktu. ibuku. sekarang surga yang ibu mau ada padaku.
Probolinggo, 2010
Lelaki Pematang
lelaki pematang memasang matahari di kepalanya. di setiap jemari ia tandai angka-angka. Ia menghitung usia panen pematang. sudah kudengar namanya. sudah bertahun-tahun lamanya. lelaki pematang jejak-jejak tuhan telah tertanam di diri yang senja. bila musim hama dan tanaman menyerbu. dengan airmata pun menghadirkan obat yang dinantikan. orang bertanya tentang siapa yang aku pilih dari sekian perempuan pematang?
Probolinggo, 2010
-----
Husen Arifin, lahir di Probolinggo, 28 Januari 1989. Pernah meraih penghargaan dalam Lomba Cerpen Tingkat Nasional IPB (2011), Lomba Cerpen Islami Se-Jawa Timur di ITS (2011). Karya-karyanya dimuat di berbagai media dan antologi bersama.
No comments:
Post a Comment