Mimpi Eden
kau tahu mimpi itu, eden. tempat orang-orang melabuhkan kerja dan perih dari seluruh pengembaraan di dunia bawah sana. tak beda rahasia yang tersimpan ketika laut dan hampar daratan masuk ke dalam buntalan pak janggut. betapa selembar kain menutup biografi orang dan deret nama, kenang atau perbuatan - selesai seirama doa para pelayat.
kau tahu mimpi itu, eden. sarang sakit dari cita-cita yang tak tergapai, yang tak selalu diwakili jerit, bahkan lenguh pendek sekalipun. layar mimpi yang sobek, dayung yang patah, samudera cuma masa silam pada tatahan marmer nisan. batu adalah pena yang tertatah matahari-setiap hari. kerasnya mengiris udara; memang memuai tapi mewariskan luka.
kau tahu peristirahatan itu, eden. seharusnya kau bangga menampung semua yang sia-sia menjadi ada dan beranak-pinak disana. di antara buah dan aib kenangan; atau dosa keturunan yang lindap di taman-tamanmu-bersama lidah iblis dan cawat merah. kita tak hendak pergi, tapi semua sia-sia, sebagaimana kesombongan tanah lempung
hancur dalam cetakan Tuhan.
kau tahu kenangan itu, eden. benang adam dan hawa yang putus kerap tercipta lagi dari bulu dan jemari malaikat. orang di dunia bawah bahkan tak memiliki nostalgia sedikit pun di keriput otak dan mata rabunnya. tapi demikianlah, mereka memelihara gelisah di antara ketuk gerimis pada tubuh yang gemetar dan basah. mereka pelupa tapi mereka tahu di mana pintu dan jalan itu.
: semua menuju-Nya.
Waris Almanak
menyimpan hak waris almanak itu, tanggal-tanggal telah dilepaskan ketika kayuh kita sampai ke hari lepas yang masih berkeliaran. ada mantera, wasiat, dan air mata yang seakan merasuk ke pundi aladin, sehasta beban yang pernah diletakkan di pundak, jomplang dalam arus hari yang berpusar;
di bawah matahari yang memancari bunga-bunga, muncratlah benang sari mengejar putik di dalam gelap kemudian. ya, kita memelihara bebijian hanya untuk menjadi tunas di padang kenangan. tunas berdaun muda;
di padang itu, lalu oasis pun dipetakan, menjadi tempat air mata tergelincir lalu kita menggenanginya sebagai kolam-kolam kerinduan;
itulah ingatan, ketika tanggal menyisakan jejak di atas tanah -mungkin basah atau mungkin berdebu-setapak jalan liar menuju padang penghabisan;
berharaplah malaikat kelak mempertemukannya setelah rangkai perpisahan yang entah. dalam jawaban tak ada pangkalnya: ya, siapa tahu kelak masa itu bertemu jua di sana.
Peri Tutup Buku
demikian telah ditutup buku itu; maka gambar pun lenyap serupa kertas gosong di jilatan api-hanya hangat yang bersisa. ke mana kelak istirah dilabuhkan, katanya, bila akhirnya tak jadi tegukan teh di atas meja itu, bahkan pembakaran adonan belum sampai ke mulut. tidur pun tak jadi.
syahdan, pernah ada kisah-kisah dituahkan. tentang peri tidur yang merangkak dari dipan di antara senja. lalu terbang serupa camar; melupakan buku-buku. sebab peri lebih cinta laut dan petualangan. ketimbang rumah dan perpustakaan-apalagi buku gambar.
Ajari Aku
ajari aku menjadi batu. sebab kutahu beringin dan cemara
tumbang dilapuki musim dan waktu. dalam diam, bongkah
mengalahkan getir dan sangsai.
walau dingin, walau tumpat, walau padat. tapi kekal.
hanya kalah,
oleh putih yang metah
: bila saatnya...
Kalau Dunia
kalau dunia melupakan jejak pena di lontar dan kertas. melainkan hanya mencatat huruf dan angka di tugu sebagai sejarah. maka, serahkanlah pada tanah dan hujan dan matahari, yang bersiap membusukkan dan mengeringkan. demikian kedua peristiwa terjadi, hingga masa lalu menjelma fosil. dan sejarah menyembul bukan di tanah ini, tapi di lapis ke berapa, ratusan tahun, ketika engkau dan anak dan cucu mereka sudah tiada...
demikianlah kita tak pernah takut pada sejarah, sebagaimana pohon yang dalam kekeringan batang pun kelak berbunga. lalu beringin menghasilkan tunas ketika bijinya berada dalam tembolok burung yang mengarungi samudera di dua benua. demikian sajak, menggarisbawahi jejak besar hidupmu, menyeretnya dengan seribu makna melalui keakraban satu-dua kata.
--------------
Sihar Ramses Simatupang, kelahiran Jakarta, 1 Oktober 1974. Pernah kuliah di Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Sam Ratulangi, Manado (1992-1993) dan menamatkan studi sebagai Sarjana Sastra di Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya. Bergabung di Komunitas Gapus dan Teater Puska di Surabaya juga ikut mendirikan komunitas Rumpun Jerami dan pernah aktif dalam diskusi rutin Meja Budaya di Pusat Dokumentasi HB Jassin, Jakarta. Buku puisinya: Metafora Para Pendosa (2004), Manifesto (2009), dan Semadi Akar Angin (2014).
Lampung Post, Minggu, 15 Februari 2015
kau tahu mimpi itu, eden. tempat orang-orang melabuhkan kerja dan perih dari seluruh pengembaraan di dunia bawah sana. tak beda rahasia yang tersimpan ketika laut dan hampar daratan masuk ke dalam buntalan pak janggut. betapa selembar kain menutup biografi orang dan deret nama, kenang atau perbuatan - selesai seirama doa para pelayat.
kau tahu mimpi itu, eden. sarang sakit dari cita-cita yang tak tergapai, yang tak selalu diwakili jerit, bahkan lenguh pendek sekalipun. layar mimpi yang sobek, dayung yang patah, samudera cuma masa silam pada tatahan marmer nisan. batu adalah pena yang tertatah matahari-setiap hari. kerasnya mengiris udara; memang memuai tapi mewariskan luka.
kau tahu peristirahatan itu, eden. seharusnya kau bangga menampung semua yang sia-sia menjadi ada dan beranak-pinak disana. di antara buah dan aib kenangan; atau dosa keturunan yang lindap di taman-tamanmu-bersama lidah iblis dan cawat merah. kita tak hendak pergi, tapi semua sia-sia, sebagaimana kesombongan tanah lempung
hancur dalam cetakan Tuhan.
kau tahu kenangan itu, eden. benang adam dan hawa yang putus kerap tercipta lagi dari bulu dan jemari malaikat. orang di dunia bawah bahkan tak memiliki nostalgia sedikit pun di keriput otak dan mata rabunnya. tapi demikianlah, mereka memelihara gelisah di antara ketuk gerimis pada tubuh yang gemetar dan basah. mereka pelupa tapi mereka tahu di mana pintu dan jalan itu.
: semua menuju-Nya.
Waris Almanak
menyimpan hak waris almanak itu, tanggal-tanggal telah dilepaskan ketika kayuh kita sampai ke hari lepas yang masih berkeliaran. ada mantera, wasiat, dan air mata yang seakan merasuk ke pundi aladin, sehasta beban yang pernah diletakkan di pundak, jomplang dalam arus hari yang berpusar;
di bawah matahari yang memancari bunga-bunga, muncratlah benang sari mengejar putik di dalam gelap kemudian. ya, kita memelihara bebijian hanya untuk menjadi tunas di padang kenangan. tunas berdaun muda;
di padang itu, lalu oasis pun dipetakan, menjadi tempat air mata tergelincir lalu kita menggenanginya sebagai kolam-kolam kerinduan;
itulah ingatan, ketika tanggal menyisakan jejak di atas tanah -mungkin basah atau mungkin berdebu-setapak jalan liar menuju padang penghabisan;
berharaplah malaikat kelak mempertemukannya setelah rangkai perpisahan yang entah. dalam jawaban tak ada pangkalnya: ya, siapa tahu kelak masa itu bertemu jua di sana.
Peri Tutup Buku
demikian telah ditutup buku itu; maka gambar pun lenyap serupa kertas gosong di jilatan api-hanya hangat yang bersisa. ke mana kelak istirah dilabuhkan, katanya, bila akhirnya tak jadi tegukan teh di atas meja itu, bahkan pembakaran adonan belum sampai ke mulut. tidur pun tak jadi.
syahdan, pernah ada kisah-kisah dituahkan. tentang peri tidur yang merangkak dari dipan di antara senja. lalu terbang serupa camar; melupakan buku-buku. sebab peri lebih cinta laut dan petualangan. ketimbang rumah dan perpustakaan-apalagi buku gambar.
Ajari Aku
ajari aku menjadi batu. sebab kutahu beringin dan cemara
tumbang dilapuki musim dan waktu. dalam diam, bongkah
mengalahkan getir dan sangsai.
walau dingin, walau tumpat, walau padat. tapi kekal.
hanya kalah,
oleh putih yang metah
: bila saatnya...
Kalau Dunia
kalau dunia melupakan jejak pena di lontar dan kertas. melainkan hanya mencatat huruf dan angka di tugu sebagai sejarah. maka, serahkanlah pada tanah dan hujan dan matahari, yang bersiap membusukkan dan mengeringkan. demikian kedua peristiwa terjadi, hingga masa lalu menjelma fosil. dan sejarah menyembul bukan di tanah ini, tapi di lapis ke berapa, ratusan tahun, ketika engkau dan anak dan cucu mereka sudah tiada...
demikianlah kita tak pernah takut pada sejarah, sebagaimana pohon yang dalam kekeringan batang pun kelak berbunga. lalu beringin menghasilkan tunas ketika bijinya berada dalam tembolok burung yang mengarungi samudera di dua benua. demikian sajak, menggarisbawahi jejak besar hidupmu, menyeretnya dengan seribu makna melalui keakraban satu-dua kata.
--------------
Sihar Ramses Simatupang, kelahiran Jakarta, 1 Oktober 1974. Pernah kuliah di Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Sam Ratulangi, Manado (1992-1993) dan menamatkan studi sebagai Sarjana Sastra di Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya. Bergabung di Komunitas Gapus dan Teater Puska di Surabaya juga ikut mendirikan komunitas Rumpun Jerami dan pernah aktif dalam diskusi rutin Meja Budaya di Pusat Dokumentasi HB Jassin, Jakarta. Buku puisinya: Metafora Para Pendosa (2004), Manifesto (2009), dan Semadi Akar Angin (2014).
Lampung Post, Minggu, 15 Februari 2015
No comments:
Post a Comment