Sunday, February 1, 2015

Sajak-sajak Rizkia Hasmin

Jalan Berkelok di Palupuah

Pohon-pohon tegak rimbun di sisi jalan sudah tinggal jauh
sebentar lagi jalan akan berkelok melewati cadas tebing tinggi-tinggi
cermin besar di kelok jalan itu masih tetap sama
:memantulkan bayang-bayang pohon di sisi jalan yang berliku

Di tepi jalan, kedai-kedai kopi berjejer
menebar harum kayu manis ke pangkal hidung
singgahlah, sekedar menjaga cerlang di matamu yang kantuk
menyeruputnya dalam bisu paling lama
menyelinapkan mata ke sebuah rumah bagonjong
anak gadis yang menatapmu itu memiliki rona  pipi merah jambu

Di balik kelokan pohon cemara
ada jalan melewati tikungan paling tajam
tubuhmu berguncang berayun-ayun
dalam hati kau berkata, aku selalu mabuk melewati
kelok jalan di palupuah

(2014)




Menggambar Hujan

Di luar, udara sedingin tubuh bambu
aku menggambar hujan dari balik kaca jendela
embun mengalun, luruh lembut ke ujung-ujung daun
membeku, berkilauan dipandang mata.
oh semesta.

Di luar, udara harum bunga jambu
aku menggambar rona semerah saga dari balik kaca jendela
di wajahmu Sumur mengalir mencapai jantung
melaju kencang menggapai ngilu batang punggung

Di luar udara sejuk teduh mata perdu
aku menggambar tatapmu dari balik kaca jendela
sepasang mata yang diam-diam menikamku
dengan jarum-jarum yang menukik dari atas langit

Aku menggambarnya dari balik kaca jendela

(Padang, Juni 2014)



Menunggu Durian Jatuh

Di dangau, kami menunggu durian jatuh
Hanya yang lepas di tampuk.
Sebab jika diperam, harganya tak seberapa.

sejak kanak-kanak, orang tua kami selalu mengatakan:
Tunggulah buah itu lepas di tampuk.
Perhatikan daun-daun yang luruh menunggam tanah.
lihat warna dan raginya.

Jika merah tua, bersiaplah turun dari dangau,
sebab sebentar lagi, buah bakal jatuh menampuk
Daun yang luruh menunggam merupakan petanda pesan:
Sesuatu bakal jatuh menggema menghantam bumi

Lekaslah berlari sebelum ada yang mendahului. 

(Padang, Juni 2014)


Orang-Orang Gunung

kami lahir dari kuntum bunga nyala
di pendapa, kami dibuahi lewat doa pada riuh air gedabak
tinggal di sebuah negeri tempat limbubu saling bertemu

kami lah orang-orang gunung
pada pendar bulan kami duduk bersimpuh
bicara tentang bedil; ujungnya runcing seperti ujung gading
panjangnya setengah depa orang dewasa.
jika bidik tepat ke mangsa 
pastilah tembus  ke pangkal dada

kami lesap di antara lembah yang limbung
naik-turun batu. berbagai nama berbagai rupa
penat betis hingga pangkal paha
berjingkat di bibir tebing
kalau terjengkang tinggal lah nama

di sini tempat kami bernyawa
di dasar lembah tempat situkah bermuara
mari tembangkan doa seiring dian menyala
dua tiga pelatuk ditarik seirama.

sambil menyelam kau cari jua dengan gigil
yang membikin gigimu saling beradu.
sedang si buyung malah asik mengepul nipah
sambil komat-kamit membaca mantra.

di sana, di pucuk gunung
di sebalik lembah: pekerjaan sedang dirampungkan

di dapur, emak sendirian menanak nasi,
upik tengah asik dengan parutan kelapa.
bungsu di kebun belakang memetik semanggi,
gardamunggu dan ruku-ruku.

bapak masih saja bergelung sedari pagi.

(Padang, April 2014)


Burung Pemikat

di tajuk pohon berdaun lebat
ia mengulur tali penjulang ranting
getah tarap getah cempedak
dibuhul ke cabang-cabang kering

aku burung pemikat dari pucuk bukit pematang kabut
dibawa anak orang simpanglangsat
jika kau tawar tak harap dapat

sisi dagu biru memukau
badan tegap mahir berkicau
ekor sayap hijau benderang
sekali kepak sampai ke sarang
leher pipi hitam mengkilat 
tersebutlah ia burung pemikat

aku burung pemikat dari pucuk bukit pematang kabut
menetaskan berpuluh telur dalam sekali eram 
merampungkan buruan dalam sekali jerat
sekali pikat

di tajuk pohon berdaun lebat
di lereng bukit pematang kabut
ia anak orang simpanglangsat
mengintai buru berharap temu:

si paruh lurus berpangkal tebal
leher panjang padat berisi
pemakan kelabang dan ulat bambu

di lereng bukit pematang kabut
ia sedang mengukur jarak
tanpa jejak tak ada derak
tak hendak tekukur merbuk atau jambur
tak ingin sisik pecah tak harap tuah
yang aku tuju hanya satu
sekali kepak datang padaku

(Pasa ambacang, Mei 2014)


----------------
Rizkia Hasmin, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang.


Lampung Post, Minggu, 1 Februari 2015

No comments:

Post a Comment