Sunday, February 8, 2015

Sajak-sajak Dahta Gautama

Aku Tersesat di Perut Jane

Kureguk dengan ketegangan yang gawat
cangkir terakhir capucino, pemberian Jane
pelayan cantik bermuka merah jambu itu.
“anda minta saya membuatnya kembali,” tanya Jane.
“tak usah, engkau duduk di sini saja. di bangku ini. saya dingin,” sambil kurengkuh bahunya.
Begitulah, pada malam yang jahat
aku memasuki perempuan pemilik bokong padat itu
di kafe yang sebenarnya tak aku inginkan kehadirannya.
Aku tak pernah yakin
apakah perempuan pasti mati dalam pelukan
lelaki layu. atau ia sudah dusta pada kelangsungan
kejujuran lain. namun malam ini, aku benar-benar tersesat
dalam prilaku busuk.
Cuaca di luar buruk, malam tak bisa selamat
karena jarum jam telah berhenti diangka lemah.
namun aku tak punya alasan yang runut
untuk membiarkan perempuan itu pergi dari perutku.
“kita selesaikan saja. anda sangat gelisah, saya tak nyaman,” pinta Jane.
“baiklah, kita hentikan. malam pun sudah terlalu busuk.
saya ingin tamat. saya tak ingin memelukmu selama hayat.
pergilah.”
Bintang telah redup, lampu-lampu lemah sinarnya.
aku pulang ke rumah, melalui jalan gelap dan lembap.



Kopi Terakhir Penyair

Aku sangat hirau jika engkau sakit
dan mati. Meski aku paham, bahwa lelaki
adalah manusia, yang juga memiliki
sifat alamiah, seperti hewan juga.
Maka, pada malam yang tajam ini
aku memintamu untuk berhenti menulis
puisi tentang sayap kupu-kupu. Bukankah engkau
tahu, begitu sering, penyair menulis kupu-kupu?
Apa hebatnya, kupu-kupu, ia cuma bisa terbang
pendek dan hinggap di tempat yang rendah.
Sudah, habiskan saja kopi itu
barangkali menjadi minuman terakhir
sebelum engkau pulang ke rumahmu
sebelum engkau menemui kondisi lain
dari cuaca yang sering buruk itu.


Persengkongkolan Anjing


Anjing-anjing berburu tuhan di rumahmu, di tempat yang paling basah dalam keluargamu. Istri selalu mengira, bahwa engkau pulang membungkus nabi dalam tas ranselmu. Ia tak pernah memahami, gerakan anjing bisa melukai rumah tangga.
Demikianlah, anjing mencarinya, dan menemui tuhan di rumah itu. Sementara engkau, menjadi lelaki yang selalu marah. dan tuhan, tak pernah memberi mukjizat pada laki-laki jahat, maka engkau hanya dapat menjumpai perempuan kering di atas ranjang berderik. Nabi yang dipuja istri, tak pernah engkau bawa pulang. padahal engkau sudah terlalu payah untuk bernapas.


Rumah Anjing

Rumah bercat abu-abu itu pernah dihuni oleh orang-orang yang ingin pulang. Saban sore, mereka ngobrol tentang lengking anjing yang berasal dari ladang yang berada di sebelah kanan dapur. Kata ayah, gonggong anjing itu sangat buruk, lengkingnya tidak memanjang dan mengerecut. Berhenti di tengah, serupa kakek ketika batuk.
“Sangat mengganggu, seperti bunyi deham lelaki TBC,” ujar ibu.
“Kalau begitu, kita sembelih saja. Dagingnya kita bagi tetangga,” kata ayah.
“Bagaimana kalau rumah ini kita jual,” saran ibu.
“Jadi, kita tak perlu membunuh anjing,” lanjut ibu.
“Begini saja, anjing itu tetap kita bunuh. Kepalanya akan saya pukul pakai linggis, supaya tak berisik,” kata ayah.
Maka pada sore yang jahat, anjing berbulu coklat yang buruk rupa itu, mereka bunuh. dan bangkainya, di tanam di tengah rumah. Setelah itu, mereka menjual rumah itu kepada pendeta.


Tuhan Yang Sama

kepada Saprudin M Suhaemi

dia sudah jauh memperkenalkan aku kepada sunyi.
selalu sunyi yang ia tawarkan. padahal aku
tak sudi menerima sunyi sebagai keadaan lain dalam hidup.
aku bersama dia memilih Tuhan yang sama, sebab itu
kami sepakat untuk tidak pernah lupa cara berdoa.
begitulah, kami ucap doa yang sama, namun
memiliki sunyi yang berbeda.


-----------
Dahta Gautama. Lahir di Hajimena, Lampung Selatan, 24 Oktober 1974. Menekuni sastra secara serius sejak tahun 1993. Buku puisi: Ular Kuning (2011) dan Manusia Lain (2013).


Lampung Post, Minggu, 8 Februari 2015

No comments:

Post a Comment