Mata Dadu
seperti senyum belati ia menatapmu
memindahkan warna merah api pada tapak tanganmu
siapa yang bisa tahan pada lambaiannya?
telah dipindahkan rasa lapar pada gairah merah seorang pelahap
yang terampil mengasah pisau dan menusukkan garpu
melahap tandas kerat-kerat daging dan gumpalan roti hingga remah terakhir
---Drupadi, tak ada kasta pada pesta perjamuan ini!
semua orang akan berebut menanggalkan jubah dan mantelnya di meja makan ini
bersama sejarah yang mengabur dan ingatan menjelma jejak sembab pantai amis yang kelabu
di jantungmu bayang-bayang akan meledak bersama taifun di dasar kebisuan
setelah pesta usai kau akan membangun monumen di matamu
bersama bunyi geluduk yang tak henti-henti mencacah musim
bukit-bukit akan hancur bergiliran dan dosa-dosa menjadi karam
bumi menggigil dalam ketelanjanganmu yang mengutuki sunyi
yang lebih sepi dari seribu kematian membusuk bersama salju
dan kembali sejarah menjadi kabur menunggu nyala api
Ngawi, 2012
Ulat dalam Apel
suatu saat kelak aku akan tumbuh menjadi naga menyediakan sebiji taring dan sekecup upas
tanda cinta sebagai ganti ucapan mesra seorang kekasih yang dibisikkan dari balik selimut dalam
geliat ranjang yang basah, membiusmu lelap tertidur dalam ranjang yang hangat oleh keringat.
dalam mimpimu kau akan bercerita tentang cinta masa lalu, dua kerat rindu dan segelas
cocacola.dalam mimpimu itu pula aku menjelma angin yang tak berbekas di baris pasir-pasir
pantai, menghilang bersekutu dengan langit menjadi teka-teki di jagat ini.
jauh dan bisu.
suatu saat kelak aku akan tumbuh menjadi naga. di kutuk untuk selalu menggeliat di ranum
buah dalam genggaman jari-jarimu, atau menggelantung di ujung bibirmu menangkap deru
nafasmu lalu tergelincir ke dalam lorong tanpa cahaya menerobos labirin di dasar detak
jantungmu melahirkan erangan senyap yang panjang. berpinak dalam gelisah yang panas tak
pernah lunas terbalas sampai waktu menjebak kita pada teka-teki yang bergaung pada bukit-bukit
gurun dan tarian daun yang ranggas
jauh dan bisu.
Ngawi, 2012
Lelaki yang Memotong Jari-jarinya
“Mana buktinya bahwa kau benar muridku dan aku benar gurumu, wahai sang jagoan?” demikian kabar berita yang dibawa sepotong senja ke kediamannya yang sepi di ceruk lembah senyap di tengah hutan yang coklat.
“Kuberikan potongan jari-jariku padamu sebagai baktiku padamu guru!”
demikian kalimat terakhir yang ia ucapkan sambil menyorongkan potongan jari-jarinya ke muka gurunya.Lalu perlahan tubuhnya layu merangkul bumi di depan gurunya dan patung gurunya.
“Ekalaya, Mengapa kau begitu bodoh percaya hanya pada sebongkah patung yang cuma serupa aku?”
Tanya pak tua itu memunguti potongan-potongan jari yang berserakan di atas rumput yang masih basah oleh embun, oleh-oleh buat muridnya yang seorang lagi.
Tak ada yang menjawabnya kecuali hutan yang makin senyap dan makin coklat.
Lelaki Pengampak Kepala
“Ini kapak pembelah kayu untuk mengampak kepala Ibumu?” demikian kata bapak sembari mengobarkan api Syiwa di matanya. Dapat kau bayangkan betapa groginya aku di depan ibu. Lututku gemetar dan kuda-kudaku goyah di ujung lembing mata ibu yang sayu.
“Parasu mengapa kau ragu? Kalau kau benar-benar mencintai ibu, janganlah ragu segera kapak leherku!” kata perempuan itu lembut tersenyum sambil menyibakkan rambutnya yang hitam di kuduk leher yang jenjang.
Tak ada lagi yang berkata-kata. Hanya warna merah melengkapi senja.
Ngawi, 2012
--------
Tjahjono Widijanto, lahir di Ngawi, 18 April 1969. Menulis puisi, esai, dan sesekali cerpen di berbagai media nasional. Bukunya yang baru terbit: Dari Zaman Kapujanggan Hingga Kapitalisme: Segugusan Esai dan Telaah Sastra (Januari 2011) dan kumpulan sajak Janturan (Juni, 2011).
Lampung Post, Minggu, 3 Maret 2013
seperti senyum belati ia menatapmu
memindahkan warna merah api pada tapak tanganmu
siapa yang bisa tahan pada lambaiannya?
telah dipindahkan rasa lapar pada gairah merah seorang pelahap
yang terampil mengasah pisau dan menusukkan garpu
melahap tandas kerat-kerat daging dan gumpalan roti hingga remah terakhir
---Drupadi, tak ada kasta pada pesta perjamuan ini!
semua orang akan berebut menanggalkan jubah dan mantelnya di meja makan ini
bersama sejarah yang mengabur dan ingatan menjelma jejak sembab pantai amis yang kelabu
di jantungmu bayang-bayang akan meledak bersama taifun di dasar kebisuan
setelah pesta usai kau akan membangun monumen di matamu
bersama bunyi geluduk yang tak henti-henti mencacah musim
bukit-bukit akan hancur bergiliran dan dosa-dosa menjadi karam
bumi menggigil dalam ketelanjanganmu yang mengutuki sunyi
yang lebih sepi dari seribu kematian membusuk bersama salju
dan kembali sejarah menjadi kabur menunggu nyala api
Ngawi, 2012
Ulat dalam Apel
suatu saat kelak aku akan tumbuh menjadi naga menyediakan sebiji taring dan sekecup upas
tanda cinta sebagai ganti ucapan mesra seorang kekasih yang dibisikkan dari balik selimut dalam
geliat ranjang yang basah, membiusmu lelap tertidur dalam ranjang yang hangat oleh keringat.
dalam mimpimu kau akan bercerita tentang cinta masa lalu, dua kerat rindu dan segelas
cocacola.dalam mimpimu itu pula aku menjelma angin yang tak berbekas di baris pasir-pasir
pantai, menghilang bersekutu dengan langit menjadi teka-teki di jagat ini.
jauh dan bisu.
suatu saat kelak aku akan tumbuh menjadi naga. di kutuk untuk selalu menggeliat di ranum
buah dalam genggaman jari-jarimu, atau menggelantung di ujung bibirmu menangkap deru
nafasmu lalu tergelincir ke dalam lorong tanpa cahaya menerobos labirin di dasar detak
jantungmu melahirkan erangan senyap yang panjang. berpinak dalam gelisah yang panas tak
pernah lunas terbalas sampai waktu menjebak kita pada teka-teki yang bergaung pada bukit-bukit
gurun dan tarian daun yang ranggas
jauh dan bisu.
Ngawi, 2012
Lelaki yang Memotong Jari-jarinya
“Mana buktinya bahwa kau benar muridku dan aku benar gurumu, wahai sang jagoan?” demikian kabar berita yang dibawa sepotong senja ke kediamannya yang sepi di ceruk lembah senyap di tengah hutan yang coklat.
“Kuberikan potongan jari-jariku padamu sebagai baktiku padamu guru!”
demikian kalimat terakhir yang ia ucapkan sambil menyorongkan potongan jari-jarinya ke muka gurunya.Lalu perlahan tubuhnya layu merangkul bumi di depan gurunya dan patung gurunya.
“Ekalaya, Mengapa kau begitu bodoh percaya hanya pada sebongkah patung yang cuma serupa aku?”
Tanya pak tua itu memunguti potongan-potongan jari yang berserakan di atas rumput yang masih basah oleh embun, oleh-oleh buat muridnya yang seorang lagi.
Tak ada yang menjawabnya kecuali hutan yang makin senyap dan makin coklat.
Lelaki Pengampak Kepala
“Ini kapak pembelah kayu untuk mengampak kepala Ibumu?” demikian kata bapak sembari mengobarkan api Syiwa di matanya. Dapat kau bayangkan betapa groginya aku di depan ibu. Lututku gemetar dan kuda-kudaku goyah di ujung lembing mata ibu yang sayu.
“Parasu mengapa kau ragu? Kalau kau benar-benar mencintai ibu, janganlah ragu segera kapak leherku!” kata perempuan itu lembut tersenyum sambil menyibakkan rambutnya yang hitam di kuduk leher yang jenjang.
Tak ada lagi yang berkata-kata. Hanya warna merah melengkapi senja.
Ngawi, 2012
--------
Tjahjono Widijanto, lahir di Ngawi, 18 April 1969. Menulis puisi, esai, dan sesekali cerpen di berbagai media nasional. Bukunya yang baru terbit: Dari Zaman Kapujanggan Hingga Kapitalisme: Segugusan Esai dan Telaah Sastra (Januari 2011) dan kumpulan sajak Janturan (Juni, 2011).
Lampung Post, Minggu, 3 Maret 2013
No comments:
Post a Comment