Aroma Kematian
Ada semangkok sepi pengganti semangkok sop kepiting, selalu kau habiskan sampai sesap terakhir
Lalu setangkup rindu menjadi dingin, mengering digerus waktu, terpanggang mentari tiap hari
Namun mengapa sketsamu masih membingkai di samudra jiwa, seperti enggan pergi
Meski aku telah menganggapmu mati
Berhelai rambut diterbangkan angin, kesiur lekat di jenjang tak berbenang
Setiap irama angin, seriuh gesekan para daun yang bermimpi menaklukan gelap
Sedasyat tsunami yang menumbangkan kesenjangan, keterbatasan dan keterasingan
Adalah nyanyian angin yang berparodi dengan nyanyian kematian
Di batas sunyi, tepat disini
Sepucuk daun, sekuntum bunga dan sebilah belati
Lalu seperangkat alat mandi dan jubah-jubah
Tak pernah ada yang tahu untuk siapa
Kau atau aku..
Merah
Merahnya langit, menghitamnya mata menahan tumpahan air mata
Merah tak lagi serupa kesumat yang menghapus rambu jalan dan merobek peta kehidupan
Merah, adalah perjalan darah menuntaskan amarah
Di rimbunan sepi, anak panah terasah detik demi detik, menunggu
Kau atau aku, memerah
Saat
Kukenang bukan saat kau menyetubui jiwaku lalu merampas semua pikiranku
Ingin kutikamkan belati di perbatasan jarak dan waktu yang terentang tak terjangkau
Seekor pungguk tak bolehkah bermimpi merengkuh rembulan
Seekor katak tak layakkah memetik teratai
Berjuta tanya menggantung di selubung awan hitam
Tak berjawab sampai saat itu tiba
Tak Ada
Tak ada yang bisa kita bilang tentang cinta, bagimu cinta adalah kacang yang kau buka kulitnya lalu kau kunyah dan jika pahit langsung kau lepeh
Tak kan ada yang bisa kita bilang tentang rindu, sebab bagimu rindu serupa berita televisi yang lebih banyak membuat kepala pusing dan rambut cepat beruban
Tak ka nada yang bisa kita bilang tentang rumah cinta, sebab bagimu rumah tak lebih baik dari penjara yang hanya akan mengangkangi kebebasan dan keliaranmu menjelajahi belantara yang lembab
Tak ada yang bisa kita bilang tentang mimpi, sebab mimpi kita berbeda cerita
---------
Tita Tjindarbumi, banyak menulis sajak dan cerpen di Anita Cemerlang, Gadis, Mitra, Tiara, Liberty, Kartini, Lampung Post, Story, Say, dll. Pernah menjadi jurnalis di majalah Editor, dll. Penulis asal Lampung ini kini bermukim di Surabaya.
Lampung Post, Minggu, 10 Maret 2013
Ada semangkok sepi pengganti semangkok sop kepiting, selalu kau habiskan sampai sesap terakhir
Lalu setangkup rindu menjadi dingin, mengering digerus waktu, terpanggang mentari tiap hari
Namun mengapa sketsamu masih membingkai di samudra jiwa, seperti enggan pergi
Meski aku telah menganggapmu mati
Berhelai rambut diterbangkan angin, kesiur lekat di jenjang tak berbenang
Setiap irama angin, seriuh gesekan para daun yang bermimpi menaklukan gelap
Sedasyat tsunami yang menumbangkan kesenjangan, keterbatasan dan keterasingan
Adalah nyanyian angin yang berparodi dengan nyanyian kematian
Di batas sunyi, tepat disini
Sepucuk daun, sekuntum bunga dan sebilah belati
Lalu seperangkat alat mandi dan jubah-jubah
Tak pernah ada yang tahu untuk siapa
Kau atau aku..
Merah
Merahnya langit, menghitamnya mata menahan tumpahan air mata
Merah tak lagi serupa kesumat yang menghapus rambu jalan dan merobek peta kehidupan
Merah, adalah perjalan darah menuntaskan amarah
Di rimbunan sepi, anak panah terasah detik demi detik, menunggu
Kau atau aku, memerah
Saat
Kukenang bukan saat kau menyetubui jiwaku lalu merampas semua pikiranku
Ingin kutikamkan belati di perbatasan jarak dan waktu yang terentang tak terjangkau
Seekor pungguk tak bolehkah bermimpi merengkuh rembulan
Seekor katak tak layakkah memetik teratai
Berjuta tanya menggantung di selubung awan hitam
Tak berjawab sampai saat itu tiba
Tak Ada
Tak ada yang bisa kita bilang tentang cinta, bagimu cinta adalah kacang yang kau buka kulitnya lalu kau kunyah dan jika pahit langsung kau lepeh
Tak kan ada yang bisa kita bilang tentang rindu, sebab bagimu rindu serupa berita televisi yang lebih banyak membuat kepala pusing dan rambut cepat beruban
Tak ka nada yang bisa kita bilang tentang rumah cinta, sebab bagimu rumah tak lebih baik dari penjara yang hanya akan mengangkangi kebebasan dan keliaranmu menjelajahi belantara yang lembab
Tak ada yang bisa kita bilang tentang mimpi, sebab mimpi kita berbeda cerita
---------
Tita Tjindarbumi, banyak menulis sajak dan cerpen di Anita Cemerlang, Gadis, Mitra, Tiara, Liberty, Kartini, Lampung Post, Story, Say, dll. Pernah menjadi jurnalis di majalah Editor, dll. Penulis asal Lampung ini kini bermukim di Surabaya.
Lampung Post, Minggu, 10 Maret 2013
No comments:
Post a Comment