Sunday, February 23, 2014

Sajak-Sajak Ahmad Musabbih

Burung-Burung Origami

Selepas pagi burung-burung origami
pergi bermigrasi. Menggantungkan sepenggal mimpi
di bawah atap-atap putih.

Aku masih sibuk dengan kantuk
membolak-balik kepala ke dalam pejam.

Agar mimpi kembali
dan burung-burung origami tergantung lagi.

Tapi matahari, seperti halnya dalam kisah cinta buta,
selalu mengusik keremangannya.

Akhirnya tak bisa kutulis apa-apa
dan hanya sebuah nama,
yang akan menyimpan rahasia
sepanjang perjalanan cinta.

2013

 
Burung-Burung Gereja di Antena


Meski musim layang-layang
berganti gegundu,
kau masih saja memainkan
sepasang sayapmu,
di tengah halaman madrsah.

Kau pun lelah, lalu beristirah
di tangkai-tangkai antena,
sebelah rumah.

Dalam kamar
gambar televisiku bergetar
hatiku naik pitam
hingga datang petir menyambar,

Astaga, kebahagianku terbakar.

2013



Garis Tangan

Bersyukur menjalani air
sebagai takdir
kelok bukit muram
dan berbatu jagal
kubasuh dengan tenang

Bersyukur hanya kau
yang sanggup mengukirku
jadi penyair
penolak kafir

Bersyukur dari fajar
kembali fajar
limbah-limbah kulewati
dengan tabah

Bersyukur menjalani air
sebagai takdir,
mencukupi sawah-sawah
yang tak henti tengadah

2013



Puisi Pertama

Di sinilah ayah,
mula luka yang kini kita rasa,

udara yang tak pernah kita
tahu warnanya,

tanah yang tak pernah kita
duga baunya,

desir yang tak pernah kita
dengar,

dan bahasa yang selalu
kita tunda maknanya.

2013



-----------------------
Ahmad Musabbih, puisinya pernah masuk di beberapa antologi bersama seperti KSI Award (2011) dan Pukau Kampung Semaka (2011), dan media cetak seperti Bali Pos dan Minggu Pagi. Juga pernah meraih juara II lomba puisi nasional Batu Bedil Award Lampung (2011). Kini, alumnus mahasiswa Sastra Indonesia UNY ini bekerja di Jakarta.




Lampung Post, Minggu, 23 Februari 2014

Sunday, February 16, 2014

Sajak-Sajak Akhmad Sadad

Kalimat Melepuh

Di sini ada jejakku
kutoreh kata dalam sajakku
ribuan kalimat melepuh
berumah lembar kertas
berdiam di rongga teka-teki waktu
memendam letih membentur mimpi
puas menghambur

Bandar Lampung, 20 November 2013



Kasih Pembukti

Pagi datang
meninggalkan kelam merangkul cemas
dalam kungkungan malam
berahi lepas di ujung senja tadi
walau risau kasih pembukti
cinta abadi belum terpenggal

Aku lupa menghitung kali
selongsong sunyi belum kutemui lagi
kau tidak dalam mimpi
jejakmu ada di sini
dalam benakku yang mengalir
sesegar embun pagi ini

Bandar Lampung, 9 November 2013



Hujan Pagi

Pagi ini
hujan mencumbui dedaunan
mendesirkan bait-bait sahaja
di sela pucuk daun markisah
kau titipkan lirik kesunyian
segala keinginan

Pagi ini
pekik kerinduan hening
melesap di ujung kemarau
seirama rinai hujan
debu luka meluruh dipelukan waktu

Bandar Lampung, 18 Oktober 2013


Senyap Menyamun

Malam kelam
senyap menyamun
rasa hambar
kantuk belum membuai
pikiran menembus kabut
memaknai jejak-jejak

Sunyi di luar
larut sudah
tak banyak tarian lidah
kata langsap dalam makna
perangainya lelah
mengangkang di pagi buta
besok apalagi namanya

Bandar Lampung, 20 Oktober 2013



Jiwaku Menikmati

Laut menghampar
nelayan mendayung sampan
burung layang-layang terbang berputar
langit mematuk pulau
karang diam membosan
jiwaku menikmati

Kerang kecil bertabur
batu membisu
pasir putih tak suci
sampah datang mencemari
bersama ombak menerjang tepi
langkahku belum terhenti

Bandar Lampung, 13 November 2013



-------------
Akhmad Sadad, lahir di Tanjungsejaro, OI, Sumatera Selatan, 23 Agustus 1974. Tahun 1999 hijrah ke Lampung. Menulis buku sejarah, pariwisata daerah, dan biografi. Beberapa puisi dan cerita bersambungnya di media massa. Saat ini aktif di yayasan sosial anak.


Lampung Post, Minggu, 16 Februari 2014

Sunday, February 9, 2014

Sajak-Sajak Destaayu Wulandari

Rumah

Malam hampir menua
Wajahnya yang penuh kerutan kian pucat menelan angin yang mampir ke jendela
Di sebuah lubang, di balik sebatang kerinduan yang sungsang di halaman belakang
Di getirnya kesepian di ketiadaan
Aku tinggal jendela
Setiap malam kutelan diam-diam pesanmu yang sesenggukan menahan angin
Setiap diam kutikam jarak yang menjauhkanmu dari kenyataan
Semu. Semua yang kau kirimkan adalah kepura-puraan yang memaksa
Omong kosong
Tinggal aku jendela
Di pintu, pernah pesanmu meringkuk sendiri dilayati angin yang kedinginan
angin yang kepayahan
Pesanmu tak bisa sampai lewat pintu depan. Pintu yang sudah mati kehilangan kunci
Lalu kupungut. Kupungut lalu kumasukkan lewat jendela. Aku jendela
Tapi pesanmu tak bisa terbaca
Jendela tinggal aku
Tinggal aku yang sesekali sempoyongan menahan angin.
Aku tinggal. Tanpa pintu tanpa ruang tengah
Di jendela, pesanmu tak pernah sampai. Tak ada suara di ruang tengah
Pesanmu seharusnya sudah sampai di sana, dan kau baca:
Tak ada lagi rumah. Tak usah pulang.

Semarang, 18 Mei 2012



Tak

Tak ada yang tersisa dari setangkai jalanan yang terbelah menjadi dua helai ketiadaan
Saat pagi memang telah cukup renta untuk sekadar menuangkan embun dari matanya yang tuli tertutup dingin
Tak ada yang mampu memahami
Bahkan kita hanya saling membodohi diri dengan memetik akar yang menggantung di pucuk perjalanan
Kita lupa bagaimana cara menyirami kuncup yang tak juga mekar
Kita hanya tahu bahwa ada pisau yang kerap bertunas di setiap menjelang akhir malam
Tak ada kah yang mampu kita ingat?
Atau setidaknya berpura-pura mengingat.

Jepara, Jawa Tengah, 28 Juli 2012



Dua Penunggu di Kereta

ada yang tertinggal di kereta kita menyusuri ingatan
kau, dengan diam yang kian terbata-bata seolah ingin katakan
bahwa perjalanan tak lebih dari penungguan yang bernyawa
diam-diam kita menyusun cerita di jendela yang basah oleh sisa hujan kemarin sore
"tak perlu berhenti menunggu, teruslah berjalan dengan rindu-rindu yang selalu tunas pasca jarak yang menua"
kulihat bibirmu terbakar oleh kemarau yang tiba-tiba menyusup lewat jendela

kita akan terus menunggu
hingga waktu benar-benar mati
hingga apa yang menghidupi kita habis oleh kemarau yang tak pernah sampai ke matamu itu

sebab di perjalanan ini, kita adalah dua penunggu yang tersesat di gerbong yang sama
saling menulis cerita di jendela
aku dengan rindu retak di saku
kau dengan kemarau yang terbawa-bawa

hujan kembali tiba di luar jendela
membawa kita pada kemarin yang begitu rapuh
kita hanya bertemu dalam penungguan tak bertuju
di kereta kita saling menunggu masa lalu kita sendiri-sendiri

Lampung Selatan, 8 Februari 2012



Pasang Surut

ketika waktu telah mencatat kemudian lompat pada jarak yang sempat terhenti,
kurasa kita telah samasama belajar memahami detail makna sebuah persudahan.
tentang jika tiba-tiba hujan datang menggelar jembatan, menyajikan ingatan
: merindu dan seketika angin mendesau menabur-hambur pasir ke sela karang yang terlampau tegar. dan hujan mereda.
Tak ada lagi yang tinggal hingga ombak kembali bergulunggulung.

Lampung Selatan, 4 Agustus 2010


----------
Destaayu Wulandari, lahir pada 14 Desember 1991 dan besar di Lampung. Sempat tinggal dan “berproses” selama empat tahun di Semarang dan menggondol gelar sarjana humaniora (2013) dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Beberapa puisinya termuat dalam antologi bersama, Kota dan Orang-Orang Gila.


Lampung Post, Minggu, 9 Februari 2014



Sunday, February 2, 2014

Sajak-Sajak Isbedy Stiawan Z.S.

Dari Tubuh Hujan

tubuh hujan semakin jauh
dari sisa jejaknya tak bisa
lagi kubaca namamu

juga permata yang selalu
menyilau dari tubuhnya

mungkin di ujung petir
debar dadaku memanggil;

kau telah ditakdirkan
bercahaya dari jutaan batu
di dalam tanah,

menyeru-nyeru

26.12.2013


Lalu Jalan Menunjuk Padamu

setiap melewati laman ini
lalu jalan menunjuk padamu
aku tak cari arah lain
meski aku tak ingin berpapasan
apalagi menyapamu

lalu dengan cara apa
kukubur kenangan denganmu
pelan pelan?

sebab aku tahu di tubuhmu pualam
makin tumbuh banyak makam
menulis epitaph
atau cuma sebaris kalimat

sementara jejakku yang pernah
menulis kalam
mungkin sudah semakin kusam

tapi, kutahu;
suatu saat berbuah ayatayat

30 Desember 2013



Kata Puisiku Tubuhku Rindu

1
jika kau hanya mencintai puisiku
kau akan mendekap ke tubuhku
sekiranya kau ingin memilikiku
maka puisiku akan menolak kausentuh

dengan rindu apa kau dapat mendekati puisiku
senyum yang kaulukis di tubuhku
tak pernah jadi puisi

2
kata puisiku, tubuhku rindu:
namun jangan beri ciuman
dari pagimu yang bau alkohol

dulu katamu puisiku sewangi melati
hingga tersihir ke dalam ruang
seperti ngaceng belati
menusuk jantung; bersemi cintamu

hanya pada tubuhku
puisi akan raib dari ingatan

3
kata puisiku,

kita sepuisi
berlayar di atas bumi
menari hingga ke batas langit

dan hujan yang turun
menulis puisi ngungun
di tiap lekuk tubuhmu

"aku sudah menandai," kata puisiku

4
di kota mana
di penginapan yang mana
puisiku menuliskan untukmu
sepuas kecupan,
sedalam tanda

sepuah janji!
anak yang akan menjadi puisi
di hati...

5
kata puisiku,
kita sepuisi
tubuhku rindu

menghimpun katakata
sebagai tekateki
rahasia Ilahi

di sepanjang puisimu
aku tak lagi lelap...

Lampung, Akhir Desember 2013


---------------------
Isbedy Stiawan ZS, lahir, besar dan bermastautin di Tanjungkarang (Lampung). Puisi, cerpen, esai dan karya jurnalistiknya dimuat di Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Nova, Horison, Jurnal Nasional, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Jawa Pos, Lampung Post, Radar Lampung, Kedaulatan Rakyat, Riau Pos, dan banyak lagi.

 

Lampung Post, Minggu, 2 Februari 2014