Rumah
Malam hampir menua
Wajahnya yang penuh kerutan kian pucat menelan angin yang mampir ke jendela
Di sebuah lubang, di balik sebatang kerinduan yang sungsang di halaman belakang
Di getirnya kesepian di ketiadaan
Aku tinggal jendela
Setiap malam kutelan diam-diam pesanmu yang sesenggukan menahan angin
Setiap diam kutikam jarak yang menjauhkanmu dari kenyataan
Semu. Semua yang kau kirimkan adalah kepura-puraan yang memaksa
Omong kosong
Tinggal aku jendela
Di pintu, pernah pesanmu meringkuk sendiri dilayati angin yang kedinginan
angin yang kepayahan
Pesanmu tak bisa sampai lewat pintu depan. Pintu yang sudah mati kehilangan kunci
Lalu kupungut. Kupungut lalu kumasukkan lewat jendela. Aku jendela
Tapi pesanmu tak bisa terbaca
Jendela tinggal aku
Tinggal aku yang sesekali sempoyongan menahan angin.
Aku tinggal. Tanpa pintu tanpa ruang tengah
Di jendela, pesanmu tak pernah sampai. Tak ada suara di ruang tengah
Pesanmu seharusnya sudah sampai di sana, dan kau baca:
Tak ada lagi rumah. Tak usah pulang.
Semarang, 18 Mei 2012
Tak
Tak ada yang tersisa dari setangkai jalanan yang terbelah menjadi dua helai ketiadaan
Saat pagi memang telah cukup renta untuk sekadar menuangkan embun dari matanya yang tuli tertutup dingin
Tak ada yang mampu memahami
Bahkan kita hanya saling membodohi diri dengan memetik akar yang menggantung di pucuk perjalanan
Kita lupa bagaimana cara menyirami kuncup yang tak juga mekar
Kita hanya tahu bahwa ada pisau yang kerap bertunas di setiap menjelang akhir malam
Tak ada kah yang mampu kita ingat?
Atau setidaknya berpura-pura mengingat.
Jepara, Jawa Tengah, 28 Juli 2012
Dua Penunggu di Kereta
ada yang tertinggal di kereta kita menyusuri ingatan
kau, dengan diam yang kian terbata-bata seolah ingin katakan
bahwa perjalanan tak lebih dari penungguan yang bernyawa
diam-diam kita menyusun cerita di jendela yang basah oleh sisa hujan kemarin sore
"tak perlu berhenti menunggu, teruslah berjalan dengan rindu-rindu yang selalu tunas pasca jarak yang menua"
kulihat bibirmu terbakar oleh kemarau yang tiba-tiba menyusup lewat jendela
kita akan terus menunggu
hingga waktu benar-benar mati
hingga apa yang menghidupi kita habis oleh kemarau yang tak pernah sampai ke matamu itu
sebab di perjalanan ini, kita adalah dua penunggu yang tersesat di gerbong yang sama
saling menulis cerita di jendela
aku dengan rindu retak di saku
kau dengan kemarau yang terbawa-bawa
hujan kembali tiba di luar jendela
membawa kita pada kemarin yang begitu rapuh
kita hanya bertemu dalam penungguan tak bertuju
di kereta kita saling menunggu masa lalu kita sendiri-sendiri
Lampung Selatan, 8 Februari 2012
Pasang Surut
ketika waktu telah mencatat kemudian lompat pada jarak yang sempat terhenti,
kurasa kita telah samasama belajar memahami detail makna sebuah persudahan.
tentang jika tiba-tiba hujan datang menggelar jembatan, menyajikan ingatan
: merindu dan seketika angin mendesau menabur-hambur pasir ke sela karang yang terlampau tegar. dan hujan mereda.
Tak ada lagi yang tinggal hingga ombak kembali bergulunggulung.
Lampung Selatan, 4 Agustus 2010
----------
Destaayu Wulandari, lahir pada 14 Desember 1991 dan besar di Lampung. Sempat tinggal dan “berproses” selama empat tahun di Semarang dan menggondol gelar sarjana humaniora (2013) dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Beberapa puisinya termuat dalam antologi bersama, Kota dan Orang-Orang Gila.
Lampung Post, Minggu, 9 Februari 2014
Malam hampir menua
Wajahnya yang penuh kerutan kian pucat menelan angin yang mampir ke jendela
Di sebuah lubang, di balik sebatang kerinduan yang sungsang di halaman belakang
Di getirnya kesepian di ketiadaan
Aku tinggal jendela
Setiap malam kutelan diam-diam pesanmu yang sesenggukan menahan angin
Setiap diam kutikam jarak yang menjauhkanmu dari kenyataan
Semu. Semua yang kau kirimkan adalah kepura-puraan yang memaksa
Omong kosong
Tinggal aku jendela
Di pintu, pernah pesanmu meringkuk sendiri dilayati angin yang kedinginan
angin yang kepayahan
Pesanmu tak bisa sampai lewat pintu depan. Pintu yang sudah mati kehilangan kunci
Lalu kupungut. Kupungut lalu kumasukkan lewat jendela. Aku jendela
Tapi pesanmu tak bisa terbaca
Jendela tinggal aku
Tinggal aku yang sesekali sempoyongan menahan angin.
Aku tinggal. Tanpa pintu tanpa ruang tengah
Di jendela, pesanmu tak pernah sampai. Tak ada suara di ruang tengah
Pesanmu seharusnya sudah sampai di sana, dan kau baca:
Tak ada lagi rumah. Tak usah pulang.
Semarang, 18 Mei 2012
Tak
Tak ada yang tersisa dari setangkai jalanan yang terbelah menjadi dua helai ketiadaan
Saat pagi memang telah cukup renta untuk sekadar menuangkan embun dari matanya yang tuli tertutup dingin
Tak ada yang mampu memahami
Bahkan kita hanya saling membodohi diri dengan memetik akar yang menggantung di pucuk perjalanan
Kita lupa bagaimana cara menyirami kuncup yang tak juga mekar
Kita hanya tahu bahwa ada pisau yang kerap bertunas di setiap menjelang akhir malam
Tak ada kah yang mampu kita ingat?
Atau setidaknya berpura-pura mengingat.
Jepara, Jawa Tengah, 28 Juli 2012
Dua Penunggu di Kereta
ada yang tertinggal di kereta kita menyusuri ingatan
kau, dengan diam yang kian terbata-bata seolah ingin katakan
bahwa perjalanan tak lebih dari penungguan yang bernyawa
diam-diam kita menyusun cerita di jendela yang basah oleh sisa hujan kemarin sore
"tak perlu berhenti menunggu, teruslah berjalan dengan rindu-rindu yang selalu tunas pasca jarak yang menua"
kulihat bibirmu terbakar oleh kemarau yang tiba-tiba menyusup lewat jendela
kita akan terus menunggu
hingga waktu benar-benar mati
hingga apa yang menghidupi kita habis oleh kemarau yang tak pernah sampai ke matamu itu
sebab di perjalanan ini, kita adalah dua penunggu yang tersesat di gerbong yang sama
saling menulis cerita di jendela
aku dengan rindu retak di saku
kau dengan kemarau yang terbawa-bawa
hujan kembali tiba di luar jendela
membawa kita pada kemarin yang begitu rapuh
kita hanya bertemu dalam penungguan tak bertuju
di kereta kita saling menunggu masa lalu kita sendiri-sendiri
Lampung Selatan, 8 Februari 2012
Pasang Surut
ketika waktu telah mencatat kemudian lompat pada jarak yang sempat terhenti,
kurasa kita telah samasama belajar memahami detail makna sebuah persudahan.
tentang jika tiba-tiba hujan datang menggelar jembatan, menyajikan ingatan
: merindu dan seketika angin mendesau menabur-hambur pasir ke sela karang yang terlampau tegar. dan hujan mereda.
Tak ada lagi yang tinggal hingga ombak kembali bergulunggulung.
Lampung Selatan, 4 Agustus 2010
----------
Destaayu Wulandari, lahir pada 14 Desember 1991 dan besar di Lampung. Sempat tinggal dan “berproses” selama empat tahun di Semarang dan menggondol gelar sarjana humaniora (2013) dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Beberapa puisinya termuat dalam antologi bersama, Kota dan Orang-Orang Gila.
Lampung Post, Minggu, 9 Februari 2014
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
ReplyDeleteSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^