Mata Gunting
sepasang kembaran di hadapan lembar surat lelang
tajam dan menyakitkan bagai lontaran batu rajam
apabila dikedipkan keduanya, artinya perang sudah diumumkan
tangan yang gemetar oleh amarah dan darah yang mekar
seperti kubis mawar
orang di rumah menunggu bunyi renyah dari lembar yang terbelah
meski sangsi apakah bersiap mengungsi atau memilih mati
di atas surat, tanggal telah tercatat, juga tanda tangan yang pucat
bagai kain pengikat mayat
maka tak ada yang bisa ingkar dari jalan melingkar ini
jurang membentang di hadapan, sedang di belakang sekumpulan anjing hutan
mengancam dengan gigi dan cakar berkilauan
kulihat tangan paman mengusap sepasang kembaran itu,
mereka saling menatap, seakan sama-sama sepakat
pada kedipan pertama tak ada yang boleh meratap
sebab setelah ini ketetapan akan lengkap; sebuah keluarga
harus keluar dari surga, menuju dunia di luar sana
(2013)
Parang Paman
bagian ini dimulai dari surat orang pandai
surat yang sarat oleh andai dan umpama
lalu paman, dengan lengan yang terbiasa
memikul cangkul, menggaru tanah baru,
datang bagai banteng di depan benteng
paman meminta tanah dengan parang
paman menawarkan perang sebagai penukar
sudah lama aku menderita, katanya
dan takkan kubiarkan siar dusta ini mengambil
seinci pun dari apa yang aku punya
waktu itu sore seperti sore kapan saja
kampung hampir rampung dari kerja
dan orang bersiap menatap gelap
seorang keliang tiba
berusaha menimbang muasal tanah
tepat saat paman mengacungkan parang
dan bagian ini berakhir dalam rumah
saat kami mendengar hantu-hantu ladang
bersiul di kejauhan
(2013)
Rencana Membunuh Paman
kadang kami membenci paman. kami percaya paman sejenis jahanam
dan tempat yang pantas untuknya adalah dalam nampan panas
paman gemar mengasah parang dan samar di matanya kilatan mata parang
bagai taring ular yang berbaring di kerimbunan belukar
kami ingin paman dipatuk ular saat sedang duduk di ladang
tapi sekarang jarang ada ular melingkar, ular takut pada bubuk putih
yang diserpih menjelang tumbuhnya biji-biji kacang
jadi kami tak bisa membayangkan apa yang kami bayangkan bakal terjadi
lalu kami berembuk bagaimana jika bubuk putih itu kami seduh
membiarkannya larut sebelum melepuh di perut paman
mulutnya berbusa, ototnya melorot dengan tulang-tulang rontok
kami bersorak, riang bagai katak di musim penghujan
merasa telah mengusir bagian paling menyedihkan dari sebuah kisah
tapi itu terjadi hanya dalam bayangan kami. sampai kelak paman mati
diam-diam kami memendam sesal, kenapa bukan kami yang memberinya ajal
(2013)
---------
Kiki Sulistyo, bekerja di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Buku puisinya: Hikayat Lintah (2014).
Lampung Post, Minggu, 28 September 2014
sepasang kembaran di hadapan lembar surat lelang
tajam dan menyakitkan bagai lontaran batu rajam
apabila dikedipkan keduanya, artinya perang sudah diumumkan
tangan yang gemetar oleh amarah dan darah yang mekar
seperti kubis mawar
orang di rumah menunggu bunyi renyah dari lembar yang terbelah
meski sangsi apakah bersiap mengungsi atau memilih mati
di atas surat, tanggal telah tercatat, juga tanda tangan yang pucat
bagai kain pengikat mayat
maka tak ada yang bisa ingkar dari jalan melingkar ini
jurang membentang di hadapan, sedang di belakang sekumpulan anjing hutan
mengancam dengan gigi dan cakar berkilauan
kulihat tangan paman mengusap sepasang kembaran itu,
mereka saling menatap, seakan sama-sama sepakat
pada kedipan pertama tak ada yang boleh meratap
sebab setelah ini ketetapan akan lengkap; sebuah keluarga
harus keluar dari surga, menuju dunia di luar sana
(2013)
Parang Paman
bagian ini dimulai dari surat orang pandai
surat yang sarat oleh andai dan umpama
lalu paman, dengan lengan yang terbiasa
memikul cangkul, menggaru tanah baru,
datang bagai banteng di depan benteng
paman meminta tanah dengan parang
paman menawarkan perang sebagai penukar
sudah lama aku menderita, katanya
dan takkan kubiarkan siar dusta ini mengambil
seinci pun dari apa yang aku punya
waktu itu sore seperti sore kapan saja
kampung hampir rampung dari kerja
dan orang bersiap menatap gelap
seorang keliang tiba
berusaha menimbang muasal tanah
tepat saat paman mengacungkan parang
dan bagian ini berakhir dalam rumah
saat kami mendengar hantu-hantu ladang
bersiul di kejauhan
(2013)
Rencana Membunuh Paman
kadang kami membenci paman. kami percaya paman sejenis jahanam
dan tempat yang pantas untuknya adalah dalam nampan panas
paman gemar mengasah parang dan samar di matanya kilatan mata parang
bagai taring ular yang berbaring di kerimbunan belukar
kami ingin paman dipatuk ular saat sedang duduk di ladang
tapi sekarang jarang ada ular melingkar, ular takut pada bubuk putih
yang diserpih menjelang tumbuhnya biji-biji kacang
jadi kami tak bisa membayangkan apa yang kami bayangkan bakal terjadi
lalu kami berembuk bagaimana jika bubuk putih itu kami seduh
membiarkannya larut sebelum melepuh di perut paman
mulutnya berbusa, ototnya melorot dengan tulang-tulang rontok
kami bersorak, riang bagai katak di musim penghujan
merasa telah mengusir bagian paling menyedihkan dari sebuah kisah
tapi itu terjadi hanya dalam bayangan kami. sampai kelak paman mati
diam-diam kami memendam sesal, kenapa bukan kami yang memberinya ajal
(2013)
---------
Kiki Sulistyo, bekerja di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Buku puisinya: Hikayat Lintah (2014).
Lampung Post, Minggu, 28 September 2014