Burung-Burung Origami
Selepas pagi burung-burung origami
pergi bermigrasi. Menggantungkan sepenggal mimpi
di bawah atap-atap putih.
Aku masih sibuk dengan kantuk
membolak-balik kepala ke dalam pejam.
Agar mimpi kembali
dan burung-burung origami tergantung lagi.
Tapi matahari, seperti halnya dalam kisah cinta buta,
selalu mengusik keremangannya.
Akhirnya tak bisa kutulis apa-apa
dan hanya sebuah nama,
yang akan menyimpan rahasia
sepanjang perjalanan cinta.
2013
Burung-Burung Gereja di Antena
Meski musim layang-layang
berganti gegundu,
kau masih saja memainkan
sepasang sayapmu,
di tengah halaman madrsah.
Kau pun lelah, lalu beristirah
di tangkai-tangkai antena,
sebelah rumah.
Dalam kamar
gambar televisiku bergetar
hatiku naik pitam
hingga datang petir menyambar,
Astaga, kebahagianku terbakar.
2013
Garis Tangan
Bersyukur menjalani air
sebagai takdir
kelok bukit muram
dan berbatu jagal
kubasuh dengan tenang
Bersyukur hanya kau
yang sanggup mengukirku
jadi penyair
penolak kafir
Bersyukur dari fajar
kembali fajar
limbah-limbah kulewati
dengan tabah
Bersyukur menjalani air
sebagai takdir,
mencukupi sawah-sawah
yang tak henti tengadah
2013
Puisi Pertama
Di sinilah ayah,
mula luka yang kini kita rasa,
udara yang tak pernah kita
tahu warnanya,
tanah yang tak pernah kita
duga baunya,
desir yang tak pernah kita
dengar,
dan bahasa yang selalu
kita tunda maknanya.
2013
-----------------------
Ahmad Musabbih, puisinya pernah masuk di beberapa antologi bersama seperti KSI Award (2011) dan Pukau Kampung Semaka (2011), dan media cetak seperti Bali Pos dan Minggu Pagi. Juga pernah meraih juara II lomba puisi nasional Batu Bedil Award Lampung (2011). Kini, alumnus mahasiswa Sastra Indonesia UNY ini bekerja di Jakarta.
Lampung Post, Minggu, 23 Februari 2014
Selepas pagi burung-burung origami
pergi bermigrasi. Menggantungkan sepenggal mimpi
di bawah atap-atap putih.
Aku masih sibuk dengan kantuk
membolak-balik kepala ke dalam pejam.
Agar mimpi kembali
dan burung-burung origami tergantung lagi.
Tapi matahari, seperti halnya dalam kisah cinta buta,
selalu mengusik keremangannya.
Akhirnya tak bisa kutulis apa-apa
dan hanya sebuah nama,
yang akan menyimpan rahasia
sepanjang perjalanan cinta.
2013
Burung-Burung Gereja di Antena
Meski musim layang-layang
berganti gegundu,
kau masih saja memainkan
sepasang sayapmu,
di tengah halaman madrsah.
Kau pun lelah, lalu beristirah
di tangkai-tangkai antena,
sebelah rumah.
Dalam kamar
gambar televisiku bergetar
hatiku naik pitam
hingga datang petir menyambar,
Astaga, kebahagianku terbakar.
2013
Garis Tangan
Bersyukur menjalani air
sebagai takdir
kelok bukit muram
dan berbatu jagal
kubasuh dengan tenang
Bersyukur hanya kau
yang sanggup mengukirku
jadi penyair
penolak kafir
Bersyukur dari fajar
kembali fajar
limbah-limbah kulewati
dengan tabah
Bersyukur menjalani air
sebagai takdir,
mencukupi sawah-sawah
yang tak henti tengadah
2013
Puisi Pertama
Di sinilah ayah,
mula luka yang kini kita rasa,
udara yang tak pernah kita
tahu warnanya,
tanah yang tak pernah kita
duga baunya,
desir yang tak pernah kita
dengar,
dan bahasa yang selalu
kita tunda maknanya.
2013
-----------------------
Ahmad Musabbih, puisinya pernah masuk di beberapa antologi bersama seperti KSI Award (2011) dan Pukau Kampung Semaka (2011), dan media cetak seperti Bali Pos dan Minggu Pagi. Juga pernah meraih juara II lomba puisi nasional Batu Bedil Award Lampung (2011). Kini, alumnus mahasiswa Sastra Indonesia UNY ini bekerja di Jakarta.
Lampung Post, Minggu, 23 Februari 2014