Kuasa Makna Pengembara
:Eman Hermawan
Sia-sia aku berjalan
Jikalau kaki-kaki melangkah
Jejaknya penuh kutukan
Lengking serapah melampaui kerasnya doa
Di mulut-mulut suci kaum rohaniawan
Sebab aku hanya memiliki puisi dan prosa
Kepada jiwa-jiwa di alam benda
Kucurahkan segenap cibiran orang-orang
Biar hidup yang hina-dina ini tetaplah papa
Menjadi santapan keangkara-murkaan
Setiap tidur dan terjaga aku berdamai
Dengan segala yang hadir dan pergi
Sering kali aku teriakkan derita pada puisi
Dan prosa yang kehilangan makna-makna dan arti
Bahkan hanya selesai dalam catatan harian sunyi
Sesekali kuhadapkan tubuh ringkih padamu
Kudekatkan pikir dan rasa di gema nalar kuasamu
Tanpa sekalimat bahasa kecuali kuatnya daya cipta
Aku pun takluk tertunduk pada tatapan mata dewa
Yang kau tusukkan tepat di kedua bola mataku
Batapa kerdil diri ini patuh di hadapmu
Sementara api nurani kian berkobar di tungku kemanusiaanku
Dan betapa kebodohan telah mengucilkanku dari kehidupan
Lalu mendorongku ke jurang curamnya tipu daya
Tetapi engkaulah saksi: jika aku akan melakukan sesuatu!
Kenang dan atau lupakan puisi dan prosa dalam riwatku
Lantaran engkau akan terus berlari, menyeret sepasukanmu
Engkau akan terus bernyanyi di altar-altar kekuasaan
Dan akan semakin bergoyang di atas semesta kemanusiaan
Sementara puisi-puisi dunia akan kau singgahi akhirnya.
Yogyakarta, 21 Oktober 2013
Menyulut Api Peperangan
:Kaisar Abu Hanifah
Lelaki semampai berjaket kulit bertanya dengan tatap tegas
Perihal tugas ksatria dan kewajiban para pendekar
Wajahnya coklat menerawang ke pusar cahaya
Senyum manis mencari kunci-kunci rahasia dalam kitab-kitab
Ratusan bab peperangan di lembar-lembar sejarah
Menabuh genderang dan terompet tertiup di telinganya
Dan kemabukan pada isyarat dan tanda-tanda kebijaksanaan
Melempar ruh jiwanya ke pusat kota penuh propaganda dunia
Keributan bertabrakan dengan beragam dendam berdarah
Gempanya meruntuhkan benteng jiwanya yang kekar pengetahuan
Kemudian ambisi membius dirinya sendiri dalam kealpaan
Kini, tegap tubuhnya berhadapan dengan bentang cakrawala
Menantang badai timah dari perut matahari yang membara
Saksikanlah, peperangan berapi terjadi di gerbang kekuasaan
Jakarta, 09 Oktober 2013
------------------
Selendang Sulaiman, lahir di Pajhagungan, Madura. Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Lampung Post, Minggu, 19 Januari 2014
:Eman Hermawan
Sia-sia aku berjalan
Jikalau kaki-kaki melangkah
Jejaknya penuh kutukan
Lengking serapah melampaui kerasnya doa
Di mulut-mulut suci kaum rohaniawan
Sebab aku hanya memiliki puisi dan prosa
Kepada jiwa-jiwa di alam benda
Kucurahkan segenap cibiran orang-orang
Biar hidup yang hina-dina ini tetaplah papa
Menjadi santapan keangkara-murkaan
Setiap tidur dan terjaga aku berdamai
Dengan segala yang hadir dan pergi
Sering kali aku teriakkan derita pada puisi
Dan prosa yang kehilangan makna-makna dan arti
Bahkan hanya selesai dalam catatan harian sunyi
Sesekali kuhadapkan tubuh ringkih padamu
Kudekatkan pikir dan rasa di gema nalar kuasamu
Tanpa sekalimat bahasa kecuali kuatnya daya cipta
Aku pun takluk tertunduk pada tatapan mata dewa
Yang kau tusukkan tepat di kedua bola mataku
Batapa kerdil diri ini patuh di hadapmu
Sementara api nurani kian berkobar di tungku kemanusiaanku
Dan betapa kebodohan telah mengucilkanku dari kehidupan
Lalu mendorongku ke jurang curamnya tipu daya
Tetapi engkaulah saksi: jika aku akan melakukan sesuatu!
Kenang dan atau lupakan puisi dan prosa dalam riwatku
Lantaran engkau akan terus berlari, menyeret sepasukanmu
Engkau akan terus bernyanyi di altar-altar kekuasaan
Dan akan semakin bergoyang di atas semesta kemanusiaan
Sementara puisi-puisi dunia akan kau singgahi akhirnya.
Yogyakarta, 21 Oktober 2013
Menyulut Api Peperangan
:Kaisar Abu Hanifah
Lelaki semampai berjaket kulit bertanya dengan tatap tegas
Perihal tugas ksatria dan kewajiban para pendekar
Wajahnya coklat menerawang ke pusar cahaya
Senyum manis mencari kunci-kunci rahasia dalam kitab-kitab
Ratusan bab peperangan di lembar-lembar sejarah
Menabuh genderang dan terompet tertiup di telinganya
Dan kemabukan pada isyarat dan tanda-tanda kebijaksanaan
Melempar ruh jiwanya ke pusat kota penuh propaganda dunia
Keributan bertabrakan dengan beragam dendam berdarah
Gempanya meruntuhkan benteng jiwanya yang kekar pengetahuan
Kemudian ambisi membius dirinya sendiri dalam kealpaan
Kini, tegap tubuhnya berhadapan dengan bentang cakrawala
Menantang badai timah dari perut matahari yang membara
Saksikanlah, peperangan berapi terjadi di gerbang kekuasaan
Jakarta, 09 Oktober 2013
------------------
Selendang Sulaiman, lahir di Pajhagungan, Madura. Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Lampung Post, Minggu, 19 Januari 2014
No comments:
Post a Comment